Karya-karya dalam pameran ini tidak akan menyinggung persoalan wabah corona maupun isu-isu yang terbangun karenanya. Ini adalah pernyataan sekaligus sikap yang dipilih oleh Putra Wali (Aco), Yusuf (Ucup) Faizal, Joning Prayoga dan Yoga Satyadhi (Mamang) ketika berpameran virtual.
Pameran virtual itu sendiri sudah dimulai 4 Juni di situs artsteps.com.
Dengan nada sarkastik sambil bercanda masing-masing dari mereka melepaskan uneg-uneg mereka tentang bagaimana belakangan karya seni di era ini begitu seragam dan terkesan menakut-nakuti. Hampir segala objek dalam karya yang mereka temui dalam media sosial dibaluti masker, tampak dikerumuni virus bermahkota, pun hanya sebagian kecil yang coba menampilkan optimisme, sisanya (mungkin) sedang malas menggambar bibir, hidung dan bagian lainnya.
Bagi mereka adalah sebuah kesulitan untuk mengulangi hal yang sudah menyeragam. Sebagai anak muda mereka bisa dibilang tipe yang nyeleneh dan lebih senang melawan dibanding mengikuti kemauan banyak orang.
“Dulu sekali gambar masker ya menarik bisa dibaca dengan tafsiran macam-macam, tapi hari ini setelah banyak orang mengulangi dan sebagiannya tidak punya usaha memberi wacana lebih dibaliknya, ya itu akhirnya menjadi biasa-biasa saja,” kritik Yusuf.
Mereka setuju bahwa seni selayaknya adalah sebuah kebebasan untuk tiap pelakunya, tidak ada pendiktean apalagi pemaksaan makna didalamnya. Oleh karena itu ya bukan masalah pula jika kali ini mereka juga mengesampingkan perkara kontekstual dalam karya-karya mereka.
Baik Aco, Ucup, Joning dan Yoga memilih untuk menampilkan karya mereka apa adanya tanpa ada imbuhan isu apapun di dalamnya. Sebagai gantinya mereka mengusahakan karya-karya mereka dapat terbaca dan menggugah secara indrawi dengan menampilkan ciri khas kepribadian masing-masing, lewat keterampilan teknis, wahananya, hingga cara mereka memainkan unsur-unsur intrinsik secara unik dan usil.
Mereka bukannya kaum formalis, apalagi apatis, beberapa kali mereka kerap menghadirkan isu-isu sosial dan lingkungan di dalam karya-karya mereka. Hanya saja keempat orang yang “kepingin jadi seniman” ini mengaku sedang lebih tertarik mengeksplor bentuk-bentuk dan teknik baru dalam kekaryaan mereka.
Terlaksananya pameran ini didukung oleh munculnya rasa bosan dalam diri mereka masing-masing. Rasa bosan atau jenuh ini tidak sepenuhnya diindikasikan keempat orang ini pada keseharian yang mereka jalani. Namun juga pada apa yang terus-menerus mereka temui di dalam layar ponsel mereka misalnya.
Informasi atau berita yang melulu itu-itu saja, hingga bagaimana aktivitas seni rupa berlangsung amat mainstream ditengah ke-chaos-an hari ini, semua tadi adalah salah satu pemicu munculnya kebosanan dan kejenuhan mereka. Rasa bosan inilah yang kemudian menjadi pengantar mereka untuk hadir ditengah-tengah publik sambil mengumandangkan kebebasan ekspresi mereka.
Sebagai sebuah aktivitas kolaborasi-kolektif, mereka berempat tidak menawarkan gagasan yang teramat spesial seperti kelompok-kelompok lainnya. Tujuan mereka dalam pameran ini sederhana, yaitu untuk bisa menunjukkan hasil eksplorasi di dalam karya mereka.
Karya-karya yang mereka hadirkan dalam pameran ini berwujud dua dimensi, sebagian merupakan hasil kerja di media digital dan sebagian lagi dikerjakan dengan teknik tradisional. Beberapa diantaranya merupakan karya kolaborasi antar Aco-Ucup dan Joning-Yoga, serta karya kolaborasi yang dikerjakan oleh mereka berempat. Eksplorasi-eksplorasi yang tampak dalam karya-karya ini beragam mulai dari teknik hingga bahasa atau teks visual yang dipakai.
Aco misalnya, secara sadar meminjam objek-objek yang ia rasa cukup universal atau dikenali banyak orang seperti salah satunya Medusa, Centaurus, Dewi Sarasvati, dan sebagainya. Ia kemudian dengan seenaknya mengolah kembali bentuk objek-objek tadi yang semula telah dianggap mapan oleh orang-orang. Transformasi pada objek-objek tersebut ia lakukan dengan cara menghilangkan, mengganti hingga menambahkan bagian-bagian tertentu. Aco mengungkapkan bahwa obsesinya dalam memanipulasi muncul sebagai manifestasi idenya terhadap keindahan yang ideal.
Sama-sama mengolah bentuk, Joning merekam keseharian manusia di dalam karyanya menggunakan karakter-karakter fantatif menyerupai bentuk hewan yang ia ciptakan. Dalam karya-karyanya ia cenderung menggunakan pendekatan imajinatif yang terbangun lewat pengalaman-pengalamannya saat menikmati film kartun semasa kecil bahkan hingga sekarang. Ketertarikannya tersebut membuatnya terus menerus melakukan eksplorasi pada bentuk-bentuk hewan dengan imbuhan aktivitas dan ekspresi yang jenaka.
Melihat karya Ucup mengingatkan kita pada wujud tembok pyramid atau dinding gua primitif. Ia mendominasi karya-karyanya dengan garis-garis yang tebal secara spontan. Garis-garis serupa coretan asal ini membentuk simbol-simbol yang kadang abstrak dan ia anggap dapat mewakili wujud ketidaktahuannya atas dirinya sendiri.
Dalam bidang gambarnya yang penuh juga ia sengaja menyembunyikan simbol-simbol tertentu yang ia manfaatkan sebagai wahana untuk bermain bersama penikmat karyanya. Eksplorasi dalam karyanya juga tampak pada bagaimana Ucup coba menghadirkan elemen utama karyanya yaitu garis ditengah panel-panel warna yang cerah dan berani.
Yoga yang akrab disapa Mamang juga turut merayakan pameran ini dengan goresan-goresan ekspresifnya. Karya drawing yang ia hasilkan menggunakan berbagai macam pulpen menggambarkan macam-macam bentuk yang ia akui muncul begitu saja dalam pikirannya. Alam bawah sadarnya seolah menyediakan objek secara acak ketika ia mulai menarik garis hingga ia akhirya menghasilkan sebuah objek yang utuh.
Objek-objek dalam karyanya berupa figur-figur yang menyerupai patung, tengkorak, hewan, hingga bentuk yang tidak umum. Paduan antara bidang kosong, warna dan garis-garis luwes dan dinamis adalah yang ingin ditonjolkan Mamang dalam karya drawingnya.
Mereka berempat dalam pameran ini terbaca lebih mempersoalkan bentuk atau teks visual dibanding apa yang ingin mereka kemukakan. Meski demikian, karya-karya mereka tidak menutup kemungkinan untuk ditafsir lebih dalam dan rinci.
Maka pameran virtual “Bosan.. Bosan.. Bosan.. Kami Mulai Bosan” dan melalui karya-karya yang ditampilkan walaupun tidak mempersoalkan isu yang serius, kami harap dapat sedikit tidaknya melepas lara dan memberi hiburan. Sesederhana itu. Terima kasih dan selamat mengapresiasi!
Singaraja Mei 2020,