4 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Soekarno: Pemimpin yang Mendengarkan Ahli Bahasa dan Sastra

Putu Eka Guna YasabyPutu Eka Guna Yasa
June 6, 2020
inEsai
Soekarno: Pemimpin yang Mendengarkan Ahli Bahasa dan Sastra
223
SHARES

Soekarno merupakan representasi pemimpin revolusioner yang memberikan tempat khusus kepada ahli bahasa. Dalam pidatonya tentang Pancasila, tanggal 1 Juni 1945 ia menyatakan bahwa Pancasila yang diusulkannya sebagai dasar negara telah mendapatkan petunjuk dari seorang ahli bahasa.

“Saudara-saudara! “Dasar-dasar Negara” telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca dharma? Tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedangkan di sini kita membicarakan dasar. Saya senang dengan kata-kata simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai panca indria. Apalagi yang lima bilangannya? (salah seroang menjawab: Pendawa lima). Pendawapun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip; kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula bilangannya. Namanya bukan Pancadharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman ahli bahasa-namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal, abadi. 

Kita tidak tahu pasti figur ahli bahasa yang dimaksud Soekarno dalam pernyataan di atas karena pergaulannya yang luas dari berbagai kalangan. Dalam guyub masyarakat intelektual Soekarno sangat dihormati karena pemikirannya yang besar, sedangkan di kalangan rakyat akar rumput kesahajaannya sangat dicintai. Namun demikian, di antara jamaknya pergaulan Soekarno itu, dua di antara sahabat dekatnya yang begitu meminati bahasa adalah Moh. Yamin yang berasal dari Sumatra dan IGB Sugriwa dari Bali.

Moh. Yamin yang mengiringi Soekarno dari awal perintisan dasar negara, pancasila, dan sumpah pemuda juga adalah seorang sastrawan. Dari tangan-tangan kreatifnya pada dekade tahun 1920-an lahir sejumlah karya sastra seperti Tanah Air, Tumpah Darahku, Drama Ken Arok dan Ken Dedes, serta sejumlah terjemahan sastrawan seperti William Shakespeare dan Rabinrath Tagore. Sementara itu, I Gusti Bagus Sugriwa yang secara nasional sempat menjadi Dewan Nasional Alim Ulama Hindu Bali pada tahun 1957 melahirkan berbagai terjemahan karya sastra klasik yang tak begitu diminati kalangan luas. IGB Sugriwa mengalihbahasakan karya-karya sastra monumental dalam sejarah peradaban Nusantara seperti Kakawin Ramayana, Arjuna Wiwaha, Rama Tantra, Sang Hyang Kamahayanikan, Dharma Shunya, dan yang lainnya terutama Kakawin Sutasoma. Peminat sastra klasik pasti tahu persis bahwa pada karya yang ditulis oleh Mpu Tantular itulah istilah Pancasila ditemukan. Terjemahan Kakawin Sutasoma yang dilakukan oleh IGB Sugriwa itu pula yang digunakan sebagai dasar penyuntingan oleh Suwita Santoso (1975) ketika menulis disertasi Sutasoma dan terbitan Kakawin Sutasoma oleh Dwi Woro Retno Mastuti dan Hasto Bramantyo (2018).

Dua sahabat Soekarno itu memang memilih untuk menekuni kancah bahasa yang berbeda. Moh. Yamin lebih banyak menulis karya sastra berbahasa Melayu Klasik dan Melayu Modern, sedangkan IGB Sugriwa terkonsentrasi pada Sastra Jawa Kuno dan Bali. Untuk menerjemahkan sastra Jawa Kuno, pada saat yang bersamaan Sugriwa juga menguasai bahasa Sanskerta. Sebab, dari sekitar 25.500 kosakata bahasa Jawa Kuno, sekitar 12.500 atau setengahnya adalah serapan dari bahasa Sanskerta (periksa Zoetmulder, 1994). Jika istilah Pancasila berasal dari serapan kosakata bahasa Sanskerta dalam bahasa Jawa Kuno mungkinkah figur yang kita bicarakan terakhir ini adalah ahli bahasa yang dimaksud? Tidak tahu. Yang jelas, dari pengakuan Soekarno bahwa dirinya mendapatkan petunjuk seorang ahli bahasa, kita tahu bahwa Sang Putra Fajar sangat berhati-hati ketika memperhitungkan ketepatan istilah yang akan menjadi fondasi besar rumah bersama yang bernama Indonesia.

Jasmerah: Pola Hubungan Pemimpin dan Sastrawan 

Terlepas dari figur yang memberi petunjuk penggunaan istilah Pancasila, sikap Soekarno yang memperhatikan pertimbangan ahli bahasa itu mengingatkan kita pada pola-pola hubungan antara para raja dengan sastrawan di masa Jawa Kuno. Sastra adalah puncak seni penggunaan bahasa. S.O. Robson (1978) bahkan menyatakan bahwa sastra tidak akan pernah ada tanpa bahasa. Oleh karena itu, seorang sastrawan sejatinya adalah Mpunya bahasa. Di tangannya, kebenaran tersaji dalam bingkai keindahan yang tak pernah kering untuk membasuh dahaga batin. Persenggamaan antara kebenaran (satyam) dan keindahan (sundaram) itulah yang melahirkan kesucian. Maka dari itu, sastra klasik menyebutkan sastra sebagai Sang Hyang Sastra.

Kembali ke hubungan antara pemimpin dengan sastrawan sebagai ahli bahasa, pada masa kepemimpinan raja Dharmawangsa Teguh Anantawikrama Uttunggadewa (991-1016 M) para sastrawan bahkan disponsori untuk membahasajawakunakan karya-karya Bhagawan Byasa. Proyek prestisius yang disebut sebagai “mangjawakna byasa matta” itulah ibu kandung yang melahirkan delapan parwa seperti Adiparwa, Wirataparwa, Udyogaparwa, Bhismaparwa, Asramawasaparwa, Mosalaparwa, Prastanikaparwa, Swargarohanaparwa, dan satu cerita Ramayana berjudul Uttarakanda. Tidak hanya menjadi sponsor kelahiran parwa-parwa dalam bahasa Jawa Kuno, raja Dharmawangsa Teguh juga hadir dalam pembacaan karya sastra tersebut yang menghabiskan waktu selama 1 bulan, kurang 1 hari. Dalam karya sastra itu pula terang disebutkan, sang raja pernah absen 1 kali karena ada urusan kenegaraan (ekonatri ṅ ṣad rātri diwasanya, kuraṅ sawĕṅi kamnā yāwakaniṅ salek, riṅ kapiṅ lima rahadyan saṅ hulun kasĕlaṅan tan pagosti, kewyandeni karyyanta).

Tidak jauh berbeda dengan Dharmawangsa Teguh, raja Erlangga (1009-1042 M) pendiri kerajaan Kahuripan di Jawa Timur yang merupakan putra dari Raja Udayana dan Mahendradata juga menjadi patron-pengayom lahirnya Kakawin Arjuna Wiwaha. Karya sastra yang diakui sebagai puncak keindahan karya sastra kakawin dari segi komposisi ceritanya itu digubah oleh Mpu Kanwa. Mpu Kanwa di bagian akhir karyanya menyatakan bahwa karya sastra itu adalah karya pertamanya yang ditulis dalam keadaan terburu-buru karena akan mengiringi raja berperang.

Alir konsisten hubungan antara raja dengan sastrawan juga masih berlanjut hingga masa kejayaan Majapahit. Kala Hayam Wuruk (1350-1389 M) berkeliling ke berbagai wilayah kekuasaannya, sang  raja mengajak Mpu Prapanca untuk mencatat daerah-daerah yang dikunjunginya. Catatan itu tidak tersaji dalam bentuk prasasti, tetapi sebuah candi bahasa berjudul Desawarnana atau juga populer dengan sebutan Negarakretagama. Tanpa karya sastra sejarah itu, pengetahuan kita mengenai kejayaan Majapahit tidak akan mampu dijamah dengan lebih terang oleh para ahli purbakala.

Tiga contoh di atas kiranya cukup untuk menunjukkan pola-pola hubungan antara pemimpin dengan ahli bahasa atau sastrawan yang dilanjutkan oleh Soekarno kala menggulirkan istilah Pancasila sebagai dasar negara. Sesungguhnya tidak hanya itu, ketertarikan Soekarno terhadap dunia sastra juga tercermin sewaktu ia menonton wayang Sutasoma di Bali. Suatu hari  pada bulan purnama tahun 1962, ketika Ia berkunjung ke Bali tepatnya di Ubud-Gianyar, Soekarno secara khusus mengundang seorang dalang bernama I Nyoman Granyam dari Sukawati untuk mementaskan lakon Wayang Sutasoma atau Purusadasanta. Usai menonton pertunjukan tersebut, Soekarno memberikan apresiasi kepada dalang dengan pernyataan “saya sangat terkesan dengan ucapan Sutasoma tadi”. Ucapan Sutasoma yang dimaksud oleh Soekarno muncul ketika fragmen Sutasoma akan menyerahkan dirinya sebagai ganti dari raja-raja lainnya untuk dijadikan tumbal kepada Bhatara Kāla. Ia menyatakan hana pamintaku uripana sahananiṅ rātu kabeh “ada permintaanku hidupkanlah raja-raja itu semua” (Agastia, 2009:27-28). Entah apa yang membuat Soekarno haru melihat “kulit diukir” itu.

Soekarno dan Pancasila: Proses Aktualisasi

Peristiwa menonton pertunjukan wayang Sutasoma yang dilakukan oleh Soekarno tersebut menunjukkan kedekatan hubungan ideologis antara Seokarno dengan karya Mpu Tantular itu. Meski terdapat perbedaan jabaran Pancasila antara Kakawin Sutasoma dengan dasar negara kita saat ini, penting rasanya kita menyimak konteks penggunaan istilah Pancasila itu dalam Kakawin Sutasoma. Barangkali dari perbedaan itulah kita dapat mengapresiasi galian Bung Karno.

Dalam karya sastra Kakawin Sutasoma, istilah pancasila muncul pada irama 4 bait kelima ketika Sutasoma diundang oleh Sri Mahaketu untuk menggantikannya menjadi raja. Saat itulah raja berpesan kepada Sutasoma agar ketika ia memegang tampuk kekuasaan semua pasukan harus melaksanakan Nitisastra [ilmu politik dan kepemimpinan], seluruh lapisan masyarakat dari berbagai jenjang umur [catur asrama] melaksanakan pancasila secara teratur[aṣtam saṅ caturaśrameka tarinĕn ring pañcasilakrama], dan seorang raja harus berpengatahuan, teguh melakukan pengendalian diri, serta malaksanakan tapa. Dengan cara itulah seseorang terhindar dari gangguan para raksasa yang merusak di zaman Kali. 

Tidak jauh berbeda dengan konteks pemakaian istilah pancasila dalam Kakawin Sutasoma. Karya sastra Negarakretagama juga menjelaskan pemakaian istilah pancasila dalam konteks ajaran yang dipegang oleh raja untuk menghadapi zaman Kali [bhuwana raksana gaweyani kālaning kali]. Karena zaman Kali penuh dengan huru-hara, Raja Majapahit dikatakan selalu sujud di bawah telapak kaki Sri Sakyasingha. Beliau juga teguh memegang pancasila, berlaku mulia, dan melaksanakan upacara suci [yatnā gĕgwani pañcasĩla krĕta sangskārā bhiṣekā krama].  

Dari dua konteks pemakaian istilah pancasila tersebut, kita mendapatkan satu kesan bahwa ajaran pancasila menjadi model untuk menghadapi berbagai tantangan pada zaman Kali yang penuh dengan huru-hara. Dalam karya sastra Kakawin Sutasoma gangguan zaman Kali itu ditandai secara simbolik dengan perilaku intelektual-spiritual yang penuh kepalsuan, para raksasa kanibal yang memakan manusia, Gajamuka yang rakus, harimau yang ingin memakan anaknya, dan ikatan pikiran negatif yang disimbolkan dengan naga.

Adakah Presiden Soekarno ingin mentransformasikan pancasila untuk menghadapi berbagai tantangan zaman Kali, ketika baru saja merdeka dari gangguan ‘raksasa-raksasa’ penjajah selama bertahun-tahun? Bisa jadi demikian. Akan tetapi, pengambilan istilah dari karya-karya sastra pada puncak zaman kejayaan Majapahit itu meninggalkan kesan bahwa Soekarno ingin merawat keberagaman sebagai jati diri bangsa seperti kerukunan agama Siwa dan Buddha yang hidup berdampingan pada zaman Majapahit. Barangkali pula Soekarno ingin agar bangsa Indonesia yang memiliki jejak historis kejayaan Majapahit bisa melanjutkan kejayaan tersebut di sebuah wilayah yang tanah dan natahnya tak berbeda. 

Dari interpretasi di atas, kita merasakan bahwa ajaran pancasila di masa lampau sangat penting. Lalu, apakah yang dimaksud dengan pancasila dalam konteks Kakawin Sutasoma tersebut? Di dalam Kakawin Sutasoma dan Negarakretagama sendiri hal itu tidak dijelaskan secara rinci. Akan tetapi, IGB Sugriwa, pancasila terdiri atas lima ajaran yaitu (1) tidak membunuh [ahimsa], (2) setia [satya], (3) tidak mencuri [asteya], (4) taat pada ajaran agama [brahmacarya], dan tidak mengacau [aparigraha]. Apabila dibandingkan, pancasila dalam pengertian spiritual tersebut, tentu berbeda dengan rincian pancasila yang menjadi dasar NKRI saat ini. Pancasila yang menjadi dasar NKRI termanifestasi dalam lima butir yaitu (1) ketuhanan yang Mahaesa, (2) kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) persatuan Indonesia, (4) kerakyatan yang dimpimpin oleh hikmad kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan (5) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jika benar istilah pancasila sebagai dasar negara terinspirasi dari ajaran yang terdokumentasi dalam karya-karya sastra Jawa Kuno di atas, maka perbedaan tersebutlah yang menyebabkan kita menaruh hormat kepada Soekarno karena ia telah ‘mencanggihkan’ ajaran spiritual menjadi dasar negara saat ini. Sejatinya tidak terlalu mengherankan apabila presiden pertama Indonesia itu melakukan pengembangan makna terhadap istilah pancasila yang semula lebih menitikberatkan ajaran moral-spiritual menjadi dasar negara. Sebab, semboyan bangsa Indonesia ‘bhinneka tunggal ika’ yang sudah pasti diambil dari karya sastra sebagai penunggalan ajaran Siwa-Buddha juga dikembangkan maknanya menjadi ‘berbeda-beda tetapi tetap satu’. Hal itu dilakukan sekali lagi untuk merawat perbedaan yang menjadi jati diri masyarakat Indonesia. Selamat ulang tahun Sang Putra Fajar! Semoga NKRI merdeka dan mahardika.  

Tags: BahasaBung KarnokemerdekaansastraSoekarno
Previous Post

Revolusi Tidur

Next Post

Buku “Sayong” Karya Nyoman Manda, Ada Bangli Era 90-an

Putu Eka Guna Yasa

Putu Eka Guna Yasa

Pembaca lontar, dosen FIB Unud, aktivitis BASAbali Wiki

Next Post
Buku “Sayong” Karya Nyoman Manda, Ada Bangli Era 90-an

Buku “Sayong” Karya Nyoman Manda, Ada Bangli Era 90-an

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Sumbangan Ketut Bimbo pada Bahasa Bali | Ada 19 Paribasa Bali dalam Album “Mebalih Wayang”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lonte!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Tidak Ada Definisi untuk Anak Pertama Saya

by Dewa Rhadea
June 4, 2025
0
Tawuran SD dan Gagalnya Pendidikan Holistik: Cermin Retak Indonesia Emas 2045

KADANG saya mencoba menjelaskan kepada orang-orang seperti apa anak pertama saya. Tapi jujur saja, saya tidak tahu bagaimana harus mendefinisikannya....

Read more

The Voices After Cak!: Keriuhan di Balik-balik Tubuh yang Diguncang

by Wulan Dewi Saraswati
June 4, 2025
0
The Voices After Cak!: Keriuhan di Balik-balik Tubuh yang Diguncang

MALAM di taman kuliner Ubud Food Festival sangat menggiurkan. Beberapa orang sudah siap duduk di deretan kursi depan, dan beberapa...

Read more

Susu dan Tinggi Badan Anak

by Gede Eka Subiarta
June 3, 2025
0
Puasa Sehat Ramadan: Menu Apa yang Sebaiknya Dipilih Saat Sahur dan Berbuka?

KALSIUM merupakan mineral utama yang diperlukan untuk pertumbuhan tulang kita, tepatnya untuk pertumbuhan tinggi badan. Kandungan kalsium tertinggi ada pada...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Menjaga Rasa, Menjaga Bangsa | Dari Diskusi Buku “Ragam Resep Pangan Lokal” di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Menjaga Rasa, Menjaga Bangsa | Dari Diskusi Buku “Ragam Resep Pangan Lokal” di Ubud Food Festival 2025

MATAHARI menggantung tenang di langit Ubud ketika jarum jam perlahan menyentuh angka 12.30. Hari itu, Minggu, 1 Juni 2025, Rumah...

by Dede Putra Wiguna
June 4, 2025
Lalapooh: Cinta, Crepes, dan Cerita di Tengah Pasar Senggol Pelabuhan Tua Buleleng
Kuliner

Lalapooh: Cinta, Crepes, dan Cerita di Tengah Pasar Senggol Pelabuhan Tua Buleleng

SORE menjelang malam di Pasar Senggol, di Pelabuhan Tua Buleleng, selalu tercium satu aroma khas yang menguar: adonan tipis berbahan...

by Putu Gangga Pradipta
June 4, 2025
Film “Story” dan “AI’r”: Tekhnologi dan Lain-lain | Catatan dari Layar Kolektif Bali Utara
Panggung

Film “Story” dan “AI’r”: Tekhnologi dan Lain-lain | Catatan dari Layar Kolektif Bali Utara

ADA enam flm pendek produksi devisi film Mahima Institute Indonesia (Komunitas Mahima) diputar di Kedai Kopi Dekakiang dengan tema “BERTUMBUH”,...

by Sonhaji Abdullah
June 4, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co