13 April 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Esai

Musim Layangan di Negeri Para Mullah, Afganisthan

dr. Ketut Suantara by dr. Ketut Suantara
June 3, 2020
in Esai
53
SHARES

Banyak orang mengisi hari-harinya di tengah pandemi dengan kegiatan yang cenderung “malas”. Mereka yang tinggal di gunung seperti saya, menghabiskan waktu dengan memancing di sungai yang kebetulan deras sehabis hujan panjang. Sebagian yang bermukim di dataran rendah melewatkan sore di lsetiap tanah lapang dengan bermain layangan. Dan memang tak ada yang salah dengan itu, karena khitah kita sebagai manusia sebagai makhluk yang suka bermain, seperti orang Yunani bilang Homo Ludens.

Akhir pekan kemarin saya menyempatkan pulang menengok orang tua di kampung, di dataran selatan pulau Bali. Dan memang setiap sore langitnya dihiasi beraneka warna layang layang ditengah derasnya hembusan angin yang bersahabat. Iseng saya lewat bersama keponakan saya, yang tak ikut bermain bersama temannya.

“Putu, kenapa tak ikut bermain bersama teman temanmu ?” tanya saya menyelidik.

”Males, Paktut, saya tak suka permainan ini, lebih baik di rumah saja main HP lebih seru”. Jawaban pendek namun cukup mengusik ingatan saya.

Tak salah kalau dia tak suka permainan ini, karena kami sebagai pendahulunya pun begitu. Dia karena godaan teknologi, kami dulu karena didikan orang tua. Sebagai kaum perantau di daerah yang agak jauh dari tempat asal, orang tua menganggap kegiatan seperti ini hanya membuang buang waktu tanpa faedah yang jelas. Saya masih ingat jelas saat suatu sore bapak memarahi kakak saya yang datang dari memancing sambil mencincang habis kail bambu yang dibawanya.

Begitupun dengan bermain layang layang, kami mesti kucing kucingan dengan bapak biar tak diketahui sedang merakit sebuah layangan. Tapi beliau juga cukup sportif, kalau urusan permainan yang lain, kami dibebaskan. Jadi setiap sore kami bisa pergi ke lapangan untuk bermain sepak bola ataupun bulu tangkis. Jadi beliau menarik batas yang tegas, antara olahraga, dengan aktifitas yang dianggap main main tanpa tujuan.

Tapi hari itu saya tak ingin mengulangi kesalahan bapak yang lalu. Sesampainya di rumah saya memberi nasehat pada keponakan saya. “Putu, sekali waktu ikutlah temanmu bermain layangan, atau pergi memancing bersama pakyan mu, jangan sampai nanti setelajh besar kau menyesalinya, karena melewatkan hari hari indah itu, seperti kami, kedua pamanmu ini.“

Tak bisa dipungkiri banyak hal positif yang kita dapatkan dari berolahraga. Semangat, kerja keras, kerjasama dan jiwa sportif adalah sebagian diantaranya. Tapi kenyataan hidup membuktikan kita juga butuh kesabaran dan keberuntungan yang diajarkan oleh hobby memancing. Dan khusus untuk main layangan, imajinasi dan keberanian meletakkan impian di langit, saya rasa adalah poin utama yang bisa kita pelajari dari sana. Sambil mengenang bulan kelahiran bapak bangsa kita Bung Karno, tak ada salahnya kita mengingat petuah beliau, ”Gantungkan cita citamu setinggi langit, andaipun kau terjatuh, kau akan terdampar di hamparan awan biru”.

                Dan memang layang layang bukanlah permainan yang hanya dimainkan disini, dia bersifat universal. Hampir di seluruh dunia permainan ini dilakukan. Salah satunya di Afganisthan, negeri para mullah. Negara yang tak lekang dilanda perang, baik karena serbuan pihak  asing maupun diantara sesama anak bangsa mereka sendiri. Sebuah negeri dengan kaum fundamentalis yang tega menghancurkan warisan budaya maha agung, patung Budha terbesar di wilayah Bamiyan. Yang seharusnya masih bisa dinikmati anak cucu kita nanti. Hari ini hanya tinggal cerita, pengantar tidur kita.

Ada sebuah novel yang ditulis oleh seorang diaspora Afganisthan di Amerika yang sangat memikat berjudul Kite Runner. Disana diceritakan dengan indah tentang permainan ini, tradisi tahunan di musim berangin.Terlukiskan kegembiraan seorang anak saat bisa mendapatkan layangan yang putus sehabis pertarungan, dengan perjuangan keras dan penuh pengorbanan. Juga kebanggan orang tua saat layangan anaknya dapat menjadi pemenang dalam kompetisi antar layangan.

Sebuah penggambaran yang utuh dan memikat tentang sebuah permainan, yang sayangnya tak saya temukan tulisan serupa yang menggambarkan kemeriahan  pestival ataupun lomba layang yang tak kalah megah di lapangan Padang galak Sanur misalnya. Dimana rombongan pengantar layang-layang biasanya cukup panjang dan memacetkan jalan yang dilewati.

Akhirnya memang sesuatu akan terasa lebih indah dan layak dikenang saat itu dituliskan, karena memang menulis sendiri adalah jalan keindahan, menuju keabadian.

                Selain tentang layang layang, buku ini menurut saya juga sebuah penggambaran yang utuh tentang bangsa Afganisthan. Bangsa yang tak bisa dikalahkan oleh kekuatan adikuasa manapun. Uni Soviet dulu, dan Amerika beberapa tahun yang lau, meninggalkan negeri  ini dengan muka tertunduk karena tak bisa menakklukkan rakyat Afganisthan. Sebuah negeri yang pluralis, dengan suku Pasthun sebagai mayoritas.

Ada kutipan menarik tentang puak ini ditulis, “saat kau dalam kesulitan, berbahagialah kau terlahir sebagai orang Pasthun, Semua temanmu pasti tak sampai hati untuk meninggalkanmu”. Bangsa yang setia kawan, mempunyai kesetiaan tinggi pada nilai nilai yang mereka yakini. Saat ada kematian seorang yang dihormati, mereka mengikat kepalanya dengan kain hitam selama beberapa hari sebagai tanda berduka cita. Tapi tetap ada pihak yang mesti dijadikan sasaran ketidak adilan .

Kaum minoritas Hazara menjadi pihak yang didiskriminasi dalam kehidupan sehari hari mereka, meskipun mereka satu keyakinan. Dan dari literatur lain yang saya baca, suku ini merupakan keturunan orang Mongol, ratusan tahun yang lalu menginvasi wilayah Asia ten gah termasuk Afganisthan. Jadi ada dendam turun temurun di alam bawah sadar suku lainnya bahwa orang Hazara adalah orang lain. Hampir sama dengan nasib sebuah suku di tanah air kita sendiri, yang kehadirannya dianggap belum sejajar dengan anak bangsa dari puak lainnya.

                Apa yang perlu kita ambil hikmah dari cerita dari novel ini dan bisa kita jadikan cermin untuk kita bersatu sebagai suatu bangsa cukup banyak. Penyesalan dari tokoh yang terpaksa melarikan diri ke luar negeri karena situasi bangsanya yang dilanda perang tak berkesudahan. Kota Kabul yang indah dengan tradisinya yang menarik, seperti festival layangan tadi. Saat ini sudah kehilangan segalanya, sudah menjadi kota yang ditinggalkan.

Dan itu semua berawal dari perpecahan diantara anak bangsanya sendiri, yang sampai mengundang pihak asing untuk datang membantu.Yang ujungnya pasti mencari keuntungan atas situasi buruk yang dialami pemilik asli negeri itu. Situasi terakhir di perumit dengan hadirnya kelompok fundamentalis yang membawa kebenarannya sendiri, dan menafikan keberadaan orang lain yang dianggap tak sepaham dengan mereka. Lengkap sudah status Afganisthan, sebagai the sick man of middle Asia.

Kita bangsa Indonesia perlu bersyukur dan tetap bersyukur mempunyai elemen perekat sebagai sebuah bangsa. Meski terdengar klise, Pancasila tak terbantahkan adalah tali kuat yang menyatukan kita. Terlepas dari beberapa penyelewengan yang dilakukan beberapa pihak dengan mengatasnamakannnya.

Di bulan Juni ini  bulan kelahiran Pancasila, kita semua bukan hanya pemerintah mesti mengejewantahkan kembali nilai nilai luhur Pancasila dalam kehidupan nyata sehari hari. Bukan hanya sebagai pemanis di bibir saja. Di tengah pandemi penyakit yang belum berkesudahan, para pemimpin muda yang tak amanah, dan wakil kita yang seperti tak punya nurani. Mari bersama kita simak sebait lagu dari iwan fals, terima sebagai sebuah kritik membangun, agar Pancasila bisa kembali Jaya.

                Dan coba kau dengarkan

                Pancasila itu bukanlah rumus kode buntut

                Yang hanya berisi harapan

                Yang hanya berisi khayalan

Tags: Afganistanlayang-layangnovelpermainan
dr. Ketut Suantara

dr. Ketut Suantara

Dokter. Lahir di Tista, Busungbiu, Buleleng. Kini bertugas di Puskesmas Busungbiu 2 dan buka praktek di Desa Dapdaputih, Busungbiu

MEDIA SOSIAL

  • 3.5k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Ilustrasi tatkala.co | Satia Guna
Cerpen

Utang | Cerpen Rastiti Era

by Rastiti Era
April 10, 2021
Sumber ilustrasi: bobmccoskrie.com
Esai

“Sesar atau Normal”, Tidak Mengurangi Keibuan Seorang Ibu

ENTAH siapa yang memulai sebuah pemikiran aneh-bin-ajaib-tapi-dianggap-mainstream ini. Sebuah pandangan risih sering diarahkan kepada ibu-ibu yang memilih ataupun terpaksa melahirkan ...

February 2, 2018
Nyoman Erawan #erACTion (2015)
Puisi

Muhamad Kusuma Gotansyah# Puisi: Kelabu, Warna, Hitam, Putih…

KELABU Di lorong masa lalu Ia menjelma abu Hilang dan kelabu Menjadi waktu Menjadi waktu adalah menu makan malam kegemarannya ...

February 2, 2018
Kegiatan relawan hingga malam hari di posko pengungsian Gunung Agung. /Foto: Kardian
Opini

Gunung Agung Terbangun, Solidaritas Orang Bali Mesti Terus Terbangun – Tanpa atau Sambil Selfie

  GUNUNG AGUNG tidak hanya bangun dari tidurnya , tapi juga membangunkan solidaritas orang Bali. Kira-kira begitu bunyi status facebook ...

February 2, 2018
Esai

Karikatur Menembus Zaman Now di Tengah Marak Swafoto

KETERIKATAN orang terhadap foto di zaman now selaras dengan kebutuhan primer. Naik kelasnya foto menjadi kebutuhan pokok bahkan dimensinya melebar ...

February 2, 2018
Penulis
Esai

Rasa Nano-Nano di Bulan Ramadhan ala Anak Kos

Tak terasa, bulan Ramadhan sudah bergerak beberapa hari di tahun 2019 ini. Sebelum kita membahas lebih lanjut lagi, kita ulas ...

May 28, 2019

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Anak-anak di Banjar Ole, Marga, Tabanan, mengikuti workshop yang digelar CushCush Galerry
Acara

Burung Menabrak Pesawat, Lele Dipatuk Ayam | Charcoal For Children 2021: Tell Me Tales

by tatkala
April 13, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Esai

Gejala Bisa Sama, Nasib Bisa Beda

by Putu Arya Nugraha
April 13, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (68) Cerpen (163) Dongeng (13) Esai (1456) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (11) Khas (352) Kiat (20) Kilas (203) Opini (481) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (10) Poetry (5) Puisi (108) Ulasan (343)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In