Menerima kematian tidak semudah menerima surat cinta. Seperti yang tiga bulan terakhir ini kurasakan. Aku tidak bisa menerima sepenuhnya kematianku sendiri. Aku gentayangan, terbang melenggang di atas jalan gang di mana jasadku masih belum dikuburkan oleh orang-orang.
Pencopet yang waktu itu memperkosaku bersama dua orang temannya entah lari ke mana. Mungkin dia masih belum tertangkap oleh warga. Ya, aku yakin itu. Dan sampai sekarang aku masih menaruh dendam kesumat pada mereka bertiga. Beminggu-minggu aku menunggu waktu yang tepat untuk menarik nyawanya keluar dari tubuhnya. Menemaniku gentayangan di sela-sela perkampungan ini.
Pagi hari, setelah tiga bulan lebih seminggu kebergentayanganku di gang ini, aku mencoba memberanikan diri untuk jalan-jalan setidaknya untuk tidak terlalu meratapi kematian di depan tubuhku sendiri yang mulai membusuk. Aku mencoba menelurusi jalanan sempit, mungkin saja ada kucing sekarat yang bisa kuhantui. Setidaknya, latihan menakut-nakuti binatang sebelum menakuti manusia.
Ah, kebetulan, ada anak kucing sedang berjalan terseok-seok. Terlihat di kakinya ada luka parah, parah sekali. Aku menghampirinya, tapi bukan untuk menakut-nakuti.
“Apa yang kau lakukan di sini?” Ucap kucing itu sambil menoleh.
Ku kira dia tidak merasakan keberadanku, ternyata dia sudah tahu.
“Eee, tidak apa-apa, aku hanya bosan tak ada kerjaan, daripada diam ya jalan-jalan saja.”
“Oh ya sudah.” Lalu kucing itu lanjut berjalan.
Kucing tadi sepertinya cuwek sekali. Dia langsung pergi begitu saja tanpa mau ngobrol walau sekejap. Semakin jauh saja aku melihatnya tertatih-tatih berjalan dengan baban luka parah di kakinya.
Aduh, kasihan sekali kucing itu. Aku jadi menyangka kalau itu pasti ulah manusia. Yap, meski dulunya aku juga manusia tapi sekarang aku hanyalah arwah gentayangan dari seorang manusia yang dibunuh oleh sesama manusia. Aku jadi semakin benci pada manusia.
“Tunggu dulu, kau menyesal karena menjadi manusia?”
Tiba-tiba ada suara dari belakang, aku terperanjat. Ah, tunggu dulu, mengapa aku takut, kan aku arwah gentayangan. Ok, aku mencoba menolehkan kepalaku ke asal suara yang barusan itu.
Ternyata itu seekor tikus. Eh, lebih tepatnya tikus yang besar. Matanya picik sebelah seperti terkena sayatan benda tajam. Pandangannya, ya pandangan yang penuh amarah dan dendam tertuju ke arahku seperti ingin menerkam.
“Enggak juga sih. Menjadi manusia ada asyiknya juga. Tapi setelah kematianku beberapa bulan lalu, aku jadi sedikit menyesal kenapa dulu harus menjadi manusia,” ucapku pada tikus besar bermata picik itu.
“Bertahun-tahun lalu aku juga adalah manusia,” ucap tikut itu sedikit garang.
Aku agak terkejut, ada seekor tikus yang mangaku bahwa dulunya dia adalah seorang manusia. Kok bisa ya?
“Maksudmu kau menjelma menjadi tikus gitu?” tanyaku padanya.
“Tidak, aku mati ketika dua orang sedang mencoba memperkosaku. Aku melawan dan meronta, tapi pada akhirnya aku tertusuk golok yang dibawa oleh salah satu dari mereka berdua.”
Entahlah, apa yang dimaksud tikus bermata picek itu nyata atau hanya menakut-nakutiku saja. Tapi mendengar ceritanya, aku jadi kembali teringat kematianku setelah diperkosa oleh tiga orang lelaki bejat. Ah, aku jadi seperti mengingat masa lalu kelam meski kini aku sudah menjadi arwah gentayangan.
***
Lama sekali aku berbincang dengan tikus itu. Berbagai macam hal dia ceritakan. Mulai dari pertemuannya dengan bangsa binatang-binatang kolong jembatan yang bergerombol di tempat jorok sampai pada cerita di mana dia memilih berubah wujud menjadi seekor tikus got.
Sebenarnya aku tak tertarik berbincang dengannya. Tapi meski raut wajahnya yang sangat menakutkan itu, aku merasa ketika dia bercerita seperti ada yang sangat ingin dia luapkan. Mungkin berupa emosi atau juga kekecewaannya menjadi manusia, aku tak tahu. Yang jelas dia tikus yang sangat ekspresif kukira.
Dan matanya itu, ya matanya yang picek sebelah tersayat sesuatu. Katanya, mata itu picek karena tindakan balas dendamnya pada orang yang telah memperkosanya. Bertahun-tahun dia mencari orang itu sampai kemudian dia menemukannya. Dia membawa gerombolan. Ya, gerombolan tikus yang sudah dia kumpulkan untuk membunuh orang yang selama ini dia cari. Dia dan pasukan tikusnya itu menyerbu dan mengerubung orang yang ingin dibunuhnya. Orang itu meronta, sesekali melawan dan mengibas-ngibaskan pisau yang selalu dibawanya. Kau tahu, aku membayangkan tikus-tikus itu seperti rombongan semut-semut pada sebuah remahan roti. Mereka menerjang, berhamburan, menggerogoti orang yang diincar.
Sebelum akhirnya orang itu benar-benar tewas dan dagingnya terkoyak-kotak gerombolan tikus, sebilah pisau tanpa sengaja mengenai seekor tikus yang aku temui tadi sehingga matanya jadi picik. Begitulah dendam, pasti menyisakan sesuatu. Tapi kini tikus itu seperti sudah tidak menyimpan amarah sama sekali. Orang yang dulu memperkosanya sudah mati di tangannya sendiri. Demdam sudah terlaksanakan.
Mendengar cerita dari tikus itu, hasrat untuk membalaskan dendamku kepada tiga orang yang sudah memperkosa dan membunuhku semakin membara. Aku semakin geram dan makin bersemangat untuk dapat menemukan mereka bertiga. Dan ketika aku menemukannya, aku akan dengan senang hati membunuhnya sebagai ganti kematianku. Bagaimanapun caranya meski kini aku hanya seorang arwah gentayangan. Nyawa harus dibayar dengan nyawa, bukan begitu!?
***
Malam-malam, aku keliling terminal yang ada di kotaku, masih dalam wujud arwah. Ketika itu hujan deras. Aku berharap bisa menemukan dan memergoki ketiga orang yang sudah merenggut kehormatan dan kehidupanku di sekitar gang-gang sempit di sana.
Hujan terus menerjang tubuhku. Kau tahu, air hujan itu menembus tubuhku. Ya, seperti cerita-cerita mistis yang berkembang di masyarakat, arwah atau makhluk halus bisa menembus apa saja, begitu pula air hujan yang menembus dan lewat begitu saja di tubuhku. Aku tak perlu khawatir masuk angin, aku tak akan basah oleh air, tak akan pula akan tertimpa pohon tumbang. Tapi aku tak kebal perasaan dendam, aku tetap bisa merasakan dendam, bahkan lebih membara, meski dalam wujud tak kasat mata ini.
Kala itu terminal lumayan sepi. Maklum, sudah tengah malam dan hujan turun deras sekali. Tenda-tenda warung makan pun tak ada orang. Si sana hanya ada seorang satpam dan petugas kebersihan yang sedang tidur berdua di musholla pojok terminal. Fix, di sini sepi. Biasanya dalam kesepian seperti ini tiga orang itu beraksi. Membawa seorang wanita muda ke lokasi yang tak biasa didatangi orang untuk mereka gerayangi bersama.
Aku terus mengitari terminal dan menghampiri lokasi-lakasi yang menurutku biasa digunakan oleh mereka bertiga. Di belakang gedung, di sekitar tempat pembuangan sampah, sampai di kamar mandi aku menelusuri semuanya. Tapi tak ada siapa-siapa di sana. Aku hanya melihat beberapa ekor tikus yang berlari hilir mudik di sela-sela selokan. Aku tak menemukan siapa-siapa. Hasrat dendamku semakin membara karena kejengkelan. Aku berjalan, ah tidak sebenarnya aku melayang dan tak menyentuh tanah. Mencari-cari di segala tempat sampai ketemu, ya sampai aku bisa melihat ketiga orang itu.
Sampai akhirnya kehabisan akal, aku kembali ke gang di mana dulu jasadku berada. Kini jasadku sudah hilang ditelan bumi. Tapi aku sudah menganggap gang itu sebagai rumahku, lebih tepatnya sebagai kuburanku. Kau tahu, arwah gentayangan pasti akan pulang ke kuburannya setelah capek menghantui orang-orang.
Sesampainya di sana, di gang itu, aku terkejut, ternyata ketiga orang yang aku cari selama ini sudah ada di sana dengan sesosok perempuan yang sudah lemas sebab mereka gerayangi. Nafasnya berat ngos-ngosan. Aku kasihan melihatnya demikian. Mukanya lusuh dan rambutnya berantakan. Dia mencoba merangkak menjauhi ketiga lelaki yang sudah memperkosanya. Dia ngesot sekuat tenaga dengan sehelai kain yang dia apit ke dadanya mencoba sebisa mungkin menutupi auratnya. Ketiga lelaki yang memperkosanya juga terkapar lunglai, tak punya tenaga sehabis meluapkan birahi. Setan, mereka sudah memakan korban lagi.
Amarahku makin membara, aku jadi ingin cepat-cepat mengakhiri hidup ketiga lelaki bejat itu. Aku menuju mereka, dan aku tahu mereka tak akan menyadari keberadaanku karena aku adalah arwah yang tak kasat mata. Aku melihat ada pisau tergeletak di samping salah satu dari ketiganya. Ya, akan kugunakan pisau itu untuk mengakhiri nyawa mereka. Ah tidak, aku akan menyiksanya terlebih dahulu. Memotong jari-jarinya, telinganya, atau bahkan juga kemaluannya sebelum akhirnya akan kutikam jantung mereka.
Cepat-cepat aku menuju pisau yang tergeletak itu. Aku merunduk dan tak menghiraukan perempuan yang sudah diperkosa tadi. Tujuanku bukan dia, tapi ketiga lelaki itu. Pisau yang kulihat sudah ada di depan mata. Ya, inilah saatnya dendamku terbalaskan dan aku berjanji tak akan gentayangan lagi setelah ini.
Aku mencoba meraih pisau itu. Semakin dekat tanganku semakin kencang dan membara pula hasrat balas dendam di dadaku. Ketika aku mencoba meraih pisau itu, ah, tanganku menembus benda itu. Sekali lagi mencobanya, tetap, benda itu menembus tanganku. Sial, Seperti melewati asap saja, pisau itu tak bisa kugenggam. Sekali lagi kucuba, ah sial, aku malah menembus pisau itu. Aku tak bisa menyentuhnya apalagi menggenggamnya. Aku tersadar, aku adalah arwah yang bisa menembus segalanya. Aku tak kasat mata dan semua benda bisa kutembus begitu saja, termasuk pisau itu.
Aku tak bisa membalaskan dendamku sekarang. Padahal ini adalah waktu yang tepat. Aku kesal, kesal sekali. Aku mencoba memukul-mukul mereka bertiga, tapi apalah daya, tanganku malah menembus tubuh mereka. Seperti udara saja. Berkali-kali kucoba, tetap. Aku tak bisa menyentuh mereka apalagi memukul-mukulnya.
Ya, wujud arwahku memang tak bisa membalaskan dendam dan membunuh siapapun. Aku harus menjelma menjadi sesuatu agar tubuhku bisa mengenai mereka, atau menjadi tikus, atau menjelma anjing jadi-jadian, atau, kembali menjelma jadi manusia. [T]