Tidak sedikit orang yang mengeluhkan, membaca karya terjemahan tidak seperti karya dari bahasa aslinya. Apalagi jika karya tersebut merupakan sebuah buku yang ditulis dengan bahasa sastrawi. Meskipun penerjemahnya adalah seorang profesor yang mengajar filologi.
Sebab bisa jadi seorang penterjemah abai dalam menafsirkan apa yang tersirat dari teks yang diterjemahkannya. Atau, celakanya, penerjemahnya tidak betul-betul menguasai bahasa dari karya yang diterjemahkan.
Seperti misalnya beberapa penerjemah yang menerjemahkan surat-surat Kartini yang dibukukan oleh JH Abendanon dengan judul “Door duisternis tot licht“. Buku fenomenal tersebut diterjemahkan oleh dua penerjemah Indonesia.
Yang pertama oleh Armyn Pane pada tahun 1938 dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang.” Yang kedua adalah Prof. Sulastin Sutrisno, dengan judul “Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya”.
Menurut Joss Wibisono dalam bukunya “Maksud Politik Jahat” pada Bab 5, judul “Habis Gelap Terbitlah Terang” tidaklah benar-benar mengandung makna yang sama dengan versi aslinya. Judul aslinya yang menggunakan bahasa Belanda, bermakna perjuangan dalam gelap untuk mencapai terang. Jadi terang dicapai setelah berjuang dan bahkan menderita dalam kegelapan (halaman 98).
Joss mengungkapkan bahwa terjemahan judul Door duisternis tot licht menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang dimulai dari mereka yang menamakan dirinya “Empat Saudara”. Bukunya sendiri sudah terbit tahun 1911. Buku terjemahan Armijn Pane juga menggunakan judul yang sama. Fakta ini bisa jadi tidak banyak diketahui oleh masyarakat umum.
Terjemahan yang kedua oleh Prof. Sulastin Sutrisno, di mana buku terjemahan mulai dicetak sejak tahun ’70-an hingga akhir tahun ’80-an, dengan beberapa perubahan. Dia membuat judul buku yang diambil dari sub judul buku tersebut, yaitu “Gedachten over en voor het Javasche volk”, yang diterjemahkan menjadi “Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya”.
Menurut Joss, terjemahan itu juga tidak tepat. Kenapa? Karena “gedachten” artinya pemikiran atau pikiran, bukan renungan. Dalam bahasa Belanda, kata renungan itu adalah “overpeinzingen”.
Yang lebih fatal lagi adalah kesalahan Armijn Pane dan Sulastin Sutrisno dalam menterjemahkan beberapa surat dalam buku tersebut. Bahkan Joss mengatakan dua penerjemah itu sudah melakukan kesalahan sejak pada bagian awal (halaman 109).
Oleh Armin Pane, ik gloei pada kalimat kedua alinea pertama surat pembuka bertanggal 25 Mei 1899, diterjemahkan menjadi “Bernjala-njala hati saja”. Sedangkan dalam terjemahan Sulastin Sutrisno menjadi “Hati saya menyala-nyala”.
Menurut Joss dari dua terjemahan itu terbaca bahwa hanya hati Kartini saja yang menyala-nyala (menginginkan jaman baru), bukan pribadi secara keseluruhan.
Terjemahan Sulastin Sutrisno, yang dilakukan pada saat Orde Baru masih berkuasa. Di mana penguasa saat itu sangat sensitif jika berkaitan dengan Tuhan dan komunisme. Dalam kalimat “waarop zij een en dezelfde God dienen” diterjemahkan menjadi “Tuhan Yang Esa dan Yang Sama” (halaman 118).
Joss tegas mengatakan ini terjemahan yang bombastis, sebab Sulastin menggunakan tiga kata lain selain Tuhan. Celakanya, kata itu tidak pernah ditulis oleh Kartini dalam bahasa Belanda. Menurut Joss ini karena penterjemahnya dipengaruhi oleh rezim kanan Orde Baru bertangan besi yang sangat anti komunis. Di mana rezim tersebut mengidentikkan komunisme dengan tidak bertuhan.
Joss menduga terjemahan kalimat tersebut untuk menetralisir keraguan Kartini terhadap agama. Dan Kartini sudah dikompromikan dengan ideologi anti komunisme Orde Baru. Bisa dipahami kenapa dalam Bab 5 yang banyak membahas tentang terjemahan surat-surat kartini itu, diberi judul “Politik Terjemahan”.
Dalam Bab 5 ini juga, Joss tidak hanya memuji Ben Anderson, guru dan sahabatnya itu, tapi juga mengkritisinya. Dalam bab yang paling tebal tersebut, Joss mempertanyakan kenapa Ben Anderson tidak menulis satu artikel pun tentang Kartini.
Ben Anderson, menurut Joss, memang menulis tentang putri Jepara itu, tapi hanya sebatas menyebut nama dan judul bukunya “Door duisternis tot licht”. Nama Kartini dan judul buku tersebut dituliskan dalam artikel tentang Soetomo yang berjudul “A Time of Darkness and a Time og Light”.
Yang menarik dalam buku ini, selain ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami, Joss juga menyajikan data-data yang masih belum banyak diungkapkan oleh penulis lain.
Satu hal lagi. Dalam Bab 5 ini Joss sedang ‘insyaf’, tidak lagi menulis “Orde Baru”, dengan “orde bau”, seperti dalam berbagai artikelnya yang lain. Entah karena diedit oleh editornya, atau memang dia sengaja menulis seperti itu. Mungkin ini hal sepele, tapi bukan kebiasaan Joss Wibisono dalam mengolok-olok rezim despotik yang berkuasa selama 3 dasawarsa itu. [T]