Apa yang membuat nama Nusa Penida (NP) menjadi tersohor seperti sekarang? Anda mungkin sepakat mengatakan karena “pesona geografisnya”. Ya, NP memiliki laut, teluk, tebing, dan pantai yang dikemas ke dalam “whisky pariwisata”. “Whisky pariwisata” (baca: pesona geografis) inilah yang mungkin memabukkan wisatawan baik domestik maupun mancanegara untuk meneguk keindahannya. Kemasan faktor geografis ini pula yang membuat pariwisata NP sering merasa jumawa. Jumawa menyebut diri sebagai satu-satunya yang paling berjasa mempopulerkan nama NP.
Padahal, jauh sebelum muncul “whisky pariwisata”, nama NP sudah dikenal lewat seni kriya yaitu produk tenun—baik dalam skala lokal Bali, nasional, bahkan mungkin internasional. Prestasi ini tidak lepas dari realita mutu tenun yang diproduksi oleh masyarakat NP. Tidak hanya berkualitas tinggi, beberapa kain tenun NP juga bernilai magis dan sakral. Contohnya, kain Lumlum dan Rangrang.
Popularitas NP dalam bidang kriya memang tidak bersifat instan. Sejak zaman kerajaan, produk tenun NP diakui oleh Bali daratan. Karena itu, ketika berada di bawah kendali Klungkung, NP dijadikan andalan dalam mengimpor kain tenun. Hal ini pernah disinggung oleh Sidemen ketika menjelaskan alasan NP dijadikan tempat pembuangan. Menurutnya, Klungkung memiliki kepentingan ekonomi terkait misi pembuangan tersebut karena NP terkenal dengan kerajinan tenun.
Artinya, leluhur NP sudah sejak lama memiliki skill menenun. Mungkin bukan hanya ketika zaman kerajaan di Bali. Jangan-jangan jauh sebelum zaman kerajaan Bali, tetua NP sudah memiliki keahlian menenun. Kemudian, mereka mewariskan dari generasi ke generasi. Tentu dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan dugaan tersebut.
Proses penggenerasian yang begitu panjang bisa jadi membuat masyarakat NP memiliki skill tinggi dalam menenun. Kemungkinan skill ini didukung pula oleh bahan mentah dan pewarnaan (kapas dan tanaman pewarna hasil bumi NP) yang mungkin berkualitas.
Karena itu, wajar saja produk-produk tenunnya diakui sejak dahulu hingga ke luar daerah NP. Salah satunya ialah kain Lumlum. Hampir semua masyarakat Bali daratan mengenal kain tersebut. Pasalnya, hingga sekarang kain Lumlum digunakan oleh hampir seluruh masyarakat Bali saat menggelar upacara manusia yadnya (potong gigi). Malah, saya baru tahu dari salah seorang dosen (asal Klungkung) yang mengajar saya ketika kuliah di STKIP Singaraja (Undiksha sekarang). Ia mengatakan bahwa konon (masyarakat Bali) wajib hukumnya menggunakan kain Lumlum ketika mengadakan upacara adat, potong gigi.
“You harus tanya kepada tetua di NP, kenapa saat metatah harus menggunakan kain Lumlum itu!” Begitulah kurang lebih pesan yang dikirimnya lewat messenger kepada saya. Saya mendadak menjadi mahasiswa lagi. Seminggu pasca kejadian itu, saya pulang kampung karena ada momen mlaspas dan mecaru di karang tua. Saya mencoba menanyakan kepada beberapa teman dan tetua yang hadir waktu itu. Jangankan jawaban ilmiah atau sekelumit historis, menduga-duga pun tidak ada yang berani. Mungkin mereka takut salah.
Kemudian, saya mencoba buka-buka google, mencari referensi tentang kain tenun NP. Siapa tahu ada petunjuk yang mengarah pada jawaban pertanyaan itu. Ah, saya hanya mendapatkan informasi terbatas tentang kain tenun cepuk Rangrang NP. Maklum, Rangrang memang nasibnya lebih bagus daripada Lumlum. Promosinya tidak hanya di tingkat lokal Bali, tetapi sudah ke tingkat nasional bahkan internasional.
Awalnya kain ini juga digunakan pada saat upacara adat (potong gigi) atau keagamaan (tarian sakral) saja. Sama seperti kain Lumlum, kain ini juga diyakini dapat melindungi penggunanya, sehingga kain ini dipercaya sebagai kain suci. Rangrang merupakan warisan harta karun ratusan tahun lalu. Seiring perkembangan zaman, kain ini mulai diproduksi bahkan keluar wilayah Bali. Misalnya, Lombok dan Jepara.
Meski demikian, produk kain Rangrang NP tetap memiliki keunikan tersendiri dibandingkan produk-produk daerah lain. Rangrang NP memiliki motif dan warna yang berbeda dengan Rangrang di Bali daratan. Begitu juga dengan Rangrang Jepara. Perbedaannya terletak pada benang yang digunakan (kain Rangrang Jepara lebih tipis). Sementara itu, Rangrang Lombok mendekati sama. Hanya saja, perbedaannya pada penggunaan benang warna emas pada Rangrang Lombok (https://griyatenun.com).
Motif Rangrang awalnya hanya menggunakan 3 warna utama, yaitu merah, hitam, dan putih. Konon ketiga warna ini menggambarkan simbol hidup, mati dan kelahiran pada siklus hidup manusia. Namun, kini penggunaan warna pada motif Cepuk Rangrang sudah sangat dinamis, dengan menggunakan warna-warna lain. Bahkan, tak jarang menggunakan warna-warna cerah menyolok, seperti orange dan ungu. Salah satu ciri kain tenun ini yang tidak berubah dari dulu adalah motifnya sederhana, tidak rumit dan keberadaan garis tegas berbentuk zigzag atau bergelombang.
Tidak hanya pewarnaan, penggunaannya pun mulai meluas tak sebatas pada upacara keagamaan saja, tetapi juga acara-acara sosial lainnya. Kini, kain renggang yang konon bermakna (simbol) transparansi (jujur dan terbuka) ini lebih banyak digunakan sebagai fashion etnik. Bahkan, sekarang motif tenun Rangrang juga digunakan ke dalam berbagai bentuk karya seni dan produk seni turunan lainnya. Di Yogyakarta misalnya, motif tenun Rangrang digunakan sebagai motif untuk batik printing maupun tulis, tas, sepatu, dan produk-produk fashion lainnya.
Meskipun mengalami dinamika, tenun Rangrang tidak bergeser dari fungsi hakikinya. Jika dilihat dari fungsinya, kain cepuk Rangrang dibagi menjadi 6 jenis antara lain: (1) Cepuk Ngawis, hanyadikenakan saat menghadiri upacara pitra yadnya (misalnya, ngaben), (2)Cepuk Tangi Gede, dipakai oleh anak tengah yang seluruh kakak dan adiknya telah meninggal (pada saat upacara ngaben), (3) Cepuk Liking Paku, dipakai oleh laki-laki dalam upacara potong gigi, (4) Cepuk Kecubung, dipakai oleh para perempuan dalam upacara potong gigi, (5) Cepuk Sudamala, biasanya dipakai ketika melakukan ritual pembersihkan diri seperti melukat, dan (6) Cepuk Kurung, digunakan oleh masyarakat dalam hari-hari biasa (https://www.baliya.id).
Karya seni (Tenun), Media Sakral dan Upaya Pelestarian
Lalu, mengapa kriya (kain tenun) NP lebih banyak pemanfaatannya pada aktivitas upacara adat dan ritual keagamaan? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya terpaksa membuat pertanyaan bandingan. Mungkinkah lebih pantas kita gunakan ketika melakukan aktivitas pertanian? Ayo, Anda pilih yang mana?
Menurut saya, ya, lebih pantas ketika momen ritual adat dan keagamaan. Ketika masyarakat lebih dominan bekerja sebaga petani (agraris), upacara adat dan ritual keagamaan merupakan “panggung sosial” yang istimewa. Biasanya, masyarakat agraris memanfaatkan momen ritual adat dan keagamaan sebagai kesempatan unjuk “mepayas” (tampil cantik/ ganteng). Sebab, sehari-hari waktunya lebih banyak bergulat dengan aktivitas bertani (kotor/ dekil).
Sebagai “panggung sosial”, medan ritual adat/ keagamaan tidak dapat dilepaskan dari kerumunan massa. Kerumunan massa ini mungkin ibarat penonton. Penonton yang akan melihat dan menilai kain tenun (kriya) yang digunakan oleh orang yang punya “karya”.
Jadi, ritual adat/ keagamaan merupakan panggung yang efektif untuk mempromosikan atau memamerkan seni kriya (tenun) zaman dulu. Kalau yang membuat kriya tahu (hadir), tentu mereka bangga. Bangga karena kain garapannya diapresiasi (digunakan).
Sekarang, bayangkan ketika ke ladang menggunakan tenun bagus! Yang melihat siapa? Kalau nggak ayam, ya, babi, sapi dan sebangsanya. Mau? Artinya, kurang cocoklah karena rawan kotor, lecet dan robek, pun tak efektif sebagai ajang memamerkan. Kalau begitu, berarti kita kurang menghargai karya seni-lah.
Selain sebagai ajang promosi dan menghargai karya, wadah ritual adat dan keagamaan juga efektif untuk melestarikan karya seni (kriya). Memasukan seni kriya ke dalam upacara, membuat orang menjadi lebih bertanggung jawab menjaga dan melindungi karya seni tersebut. Karena ikatan sakral, ampuh membuat rasa tanggung jawab orang menjadi sangat kuat. Mereka tidak hanya bertanggung jawab kepada dirinya, tetapi juga kepada orang lain, leluhur dan terutama kepada Tuhan.
Lalu, bagaimana caranya menjaga tanggung jawab itu? Sederhana. Jadikan karya seni (kriya) itu sebagai bagian (pelengkap, keutuhan) upacara sakral. Orang otomatis akan berpikir bahwa karya seni itu tidak boleh punah. Ya, karena bagian dari upakara. Kalau tidak mau upakara kehilangan makna, eteh-eteh (karya seni) itu jangan sampai punah.
Begitulah mungkin cara leluhur kita melestarikan karya seni dulu. Zaman ketika tidak ada regulasi atau semacam hak paten untuk menjamin kelestarian karya seni. Maka, kekuatan sakral inilah yang mungkin dijadikan semacam regulasi pelestarian. Kondisi ini terjadi hampir di seluruh wilayah Bali.
Karena itulah, sulit memisahkan seni dan agama di Bali. Yudha Bakti dalam tulisannya yang berjudul Filsafat Seni Sakral pernah mengutip pendapat Ida Wayan Oka Granoka (tokoh seni yang berwawasan spiritual), yang berbunyi, ”Agama adalah seni dan seni adalah agama. Seni dan agama identik. Kreativitas kesenian adalah nyolahang úàstra”. Mungkin konsep ini berpijak pada esensi kata seni (sani, sansekerta) yang berarti pemujaan, pelayanan, donasi, permintaan atau pencarian dengan hormat dan jujur—yang tidak jauh berbeda dengan hakikat agama.
Dari statemen tersebut, Yudha mengemukakan bahwa seni dan agama di Bali dikatakan manunggal, sulit dipisahkan. Ia berkesimpulan bahwa seni tidak dapat ditiadakan dalam kegiatan keagamaan. Karena setiap penyelenggaraan yadnya pasti ada kesenian dan setiap pertunjukan kesenian pasti mengandung ajaran-ajaran agama. Pentas seni adalah pentas agama. Artinya pentas yang mengandung ajaran satyam (kebenaran), úivam (kesucian), dan sundaram (keindahan) yaitu proses pemahaman ajaran weda. Jadi, benarlah pentas seni adalah nyolahang úàstra dan seni adalah simbol penjabaran ajaran weda melalui konsep pemahaman satyam (kebenaran/tatwa), úivam (kesucian), dan sundaram berarti estetika/keindahan (http://yudhabaktiimade.blogspot.com).
Saking manunggalnya seni dan agama di Bali, sering kita kesulitan membedakan mana unsur agama dan unsur seni. Seolah-olah seni dan agama sudah dianggap satu organ kehidupan. Keduanya mendapatkan penghargaan (apresiasi) yang luar biasa di mata masyarakat Bali.
Saya sangat berharap perspektif ini terus terjaga di kalangan masyarakat Bali, termasuk di NP. Maksudnya, kriya NP (kain tenun) tetap diberikan ruang apresiasi baik oleh masyarakat lokal dan pemerintah setempat. Sehingga, ke depan kriya NP tidak semakin meredup justru di tengah laju pariwisata yang semakin meroket di NP. Karena belakangan ada kecenderungan, pemerintah dan pelaku pariwisata lebih menonjolkan pemasaran ”whisky geografis” NP dan mengabaikan ”whisky kriya” NP. [T]