Profesi dokter dekat dengan stigma maupun stigmata. Dalam membuat sebuah diagnosis, seorang dokter sedemikian terobsesi untuk menemukan stigmata setiap penyakit yang dicurigainya. Stigmata dalam hal ini diartikan sebagai tanda khas atau tanda kardinal dari suatu penyakit. Kardinal sendiri adalah istilah untuk pemimpin gereja senior yang berperan penting dalam pengambilan keputusan dalam tradisi gereja Katolik.
Ambilah sebuah contoh, salah satu stigmata penyakit hati menahun adalah apa yang disebut dengan nama spider nevi. Spider adalah bahasa Inggris untuk laba-laba dan nevi adalah bentuk jamak dari nevus yang dalam bahasa Latin berarti bercak pada kulit. Dengan demikian spider nevi adalah gambaran berupa bercak-bercak kemerahan menyerupai pola sarang laba-laba yang tampak pada dada atau perut penderita penyakit liver kronis (menahun). Gambaran ini berasal dari perubahan struktur pembuluh darah kecil di permukaan tubuh karena kelainan hormon (estradiol) akibat gangguan metabolisme hormon yang bersangkutan pada kasus penyakit hati menahun.
Menemukan sebuah stigmata bagi seorang dokter adalah sebuah petunjuk kuat untuk menegakkan suatu penyakit sebelum melakukan berbagai pemeriksaan penunjang yang diperlukan sebagai konfirmasi diagnosis. Itulah kenapa, terlihat pola kerja yang sangat mirip antara seorang dokter dalam menemukan sebuah diagnosis dengan seorang detektif untuk memecahkan sebuah misteri. Keduanya bekerja secara metodis menggunakan suatu pendekatan deduksi yaitu menganalisa data-data yang dilihatnya sebagai petunjuk menuju sebuah kebenaran.
Seorang dokter atau detektif pada dasarnya tidak cukup hanya melihat sebuah temuan atau peristiwa, namun lebih jauh dari itu, ia harus mengamatinya. Hanya melihat saja, takkan mendapatkan banyak hal yang “kardinal”, jangan-jangan sebaliknya bisa salah lihat sebagai sebuah persepsi belaka. Dengan mengamati, siapapun diberikan manfaat untuk menyelami sebuah fakta atau persoalan sampai pada substatsi atau hakikatnya, tak cuma berhenti pada persepsi semu bahkan dapat saja palsu. Dari keengganan mengamati dengan cermat dan teliti itulah kemudian lahir berbagai kultur buruk macam hoax dan sudah pasti satu istilah paling kejam dan mengerikan bernama stigma.
Hari-hari ini, dokter dan masyarakat lagi-lagi dihadapkan dengan gelombang stigma, terkait wabah Covid-19. Satu situasi yang mengingatkan kita pada berbagai sikap deskriminasi yang terlebih dahulu mendera pasien-pasien kusta atau Aids. Stigma adalah noda. Ia akan semakin berat ditanggung di sebuah negeri yang bangsanya telah berlomba-lomba merasa suci. Dalam situasi seperti ini boleh dikatakan dokter dihadapkan pada dua musuh yang bersamaan yaitu penyakit yang mendera pasiennya dan stigma yang telah menginfeksi masyarakat sehat.
Dan stigma telah memberi tambahan diagnosis untuk seorang penderita Aids, kusta atau Covid-19. Selain ia harus berjuang melawan kuman yang menggerogoti tubuhnya ia pun harus bertarung dengan cemooh dan pengucilan oleh masyarakat. Jika virus atau bakteri yang fatal dapat merebut nyawanya maka stigma dengan mudah dapat merenggut hak-hak sipilnya bahkan tak sedikit yang memberi komplikasi terhadap keluarganya. Stigma, barangkali dapat lebih lethal ketimbang virus Corona atau HIV. Sebuah penelitian tentang stigmatisme di Yogyakarta (Finnajakh, 2019) telah menunjukkan hasil yang cukup mengagetkan. Disimpulkan bahwa, stigma masyarakat tak berhubungan dengan tingkat pengetahuan responden. Budaya stigmatisasi lebih ditentukan oleh persepsi yang telah mereka bangun sendiri.
Stigma telah meninggalkan begitu banyak puing-puing kepedihan dalam sejarah manusia. Dalam epos Ramayana dengan sangat gamblang diceritakan kisah kelam sang permaisuri Dewi Shinta yang distigma tak suci bahkan oleh suaminya sendiri, Sang Rama raja Ayodya Pura. Lantaran sekian lama tinggal di dalam istana raja raksasa Sang Rahwana di Alengka Pura.
Sebagai korban penculikan ia diragukan kesuciannya. Maka ia meminta Pangeran Laksamana adik Rama untuk membuat api unggun, lalu menceburkan tubuhnya ke dalam api yang berkobar sebagai pembuktian ia tak pernah melakukan dosa-dosa moral, dari pikiran dan hatinya sendiri. Maka seorang Dewi Shinta telah menanggung penderitaan sebagai korban penculikan sekaligus tuduhan atas cedera moralnya.
Sama saja dengan seorang penderita Covid-19 yang harus melawan virus maupun bangsanya sendiri. Dalam sejarah bangsa Indonesia, hingga kini stigma PKI pun tetap laten mengancam. Ia senantiasa menjadi virus dorman yang setiap saat bisa bangun untuk menyerang kepentingan lawan. Begitulah stigma dan stigmata bagai pistol revolver yang dapat digunakan untuk membunuh atau sebaliknya dapat melindungi sebuah kebenaran.[T]