Alunan nyanyian tonggeret dan kicauan burung-burung bersahut-sahutan meramaikan luasnya hamparan perkebunan tumpang sari. Di perkebunan tumpang sari itu, hiduplah pohon duren, pohon manggis, salak, pisang, ceruring, langsat, dan kopi. Bahkan di antara mereka, hidup beberapa pohon singkong. Pohon cabai pun ikut berjuang ingin hidup di antara mereka. Mereka hidup saling bergotong-royong dan saling mengasihi. Tatkala buah-buah mereka mulai masak, banyak kehidupan bernapas panjang dari ulat, burung-burung sampai tupai.
Suatu senja tatkala para petani mulai merapikan semua perkakasnya dan siap pulang ke rumah yang berada di ujung perkebunannya, Si Tupai keluar dari sarangnya. Ia bersiap menelusuri mengikuti bau buah masak yang sempurna. Ia tak harus waspada menghidari peluru ketapel Pak Tani. Sebab, Pak Tani sudah berada di peraduan memimpikan masa panen yang indah akan datang. Para pembeli berebut memilih buah-buahan hasil panen mereka.
“Hai, Platuk. Ternyata kamu sudah duluan di sini,” sapa Tupai bertengger di ranting pohon duren.
“Ya, aku lagi bahagia hari ini,” jawab Pelatuk yang masih asik mematuk buah duren.
“Mengapa sebahagia ini kamu, Platuk?” tanya Si Tupai terheran dan mulai menghedus-hendus buah duren dari satu ranting ke ranting yang lain.
“Ada kabar yang mengembirakan. Tuk tuk tuk tuk,” jawab Pelatuk yang semakin lebar membuat lubang di buah duren. Bau duren semerbak berhembus di balik kulit berdurinya.
“Kabar gembira apa, Platuk?” tanya Si Tupai semakin penasaran.
“Ada kabar gembira karena….”
“Seeeeet, sembunyi! Ada Pak Tani,” ucap Si Tupai secepat kilat memotong ucapan Platuk dan sembunyi di balik daun duren yang rimbun.
Benar saja, Pak Tani bersama cucunya terlihat dari kejauhan dari atas pohon duren itu. Mereka berdua menebarkan wangi sampo sebagai tanda baru selesai mandi di sungai yang tidak jauh dari rumah mereka.
“Kek, lihat itu ada Tupai dan burung Pelatuk! Ia ada di pohon duren kita. Mana ketapelnya, Kek?” ucap cucu Pak Tani.
“Sudah, biarkan saja. Tak ada guna juga mengusir mereka sekarang,” sahut Pak Tani, suaranya terdengar lesu.
“Kenapa, Kek? Bukankah biasanya Kakek selalu mengusirnya?”
“Biarkan mereka menikmati buah-buah itu. Buah-buah itu sekarang tidak ada yang membelinya. Toh, kalau ada yang membelinya, buah-buah itu akan dibeli dengan harga yang sangat murah,” ucap Pak Tani memberikan penjelasan kepada cucunya.
“Mengapa begitu Kek? Aku pernah bersama Ayah beli duren di kota harganya mahal, tetapi tidak seenak duren yang ada di kebun Kakek.” kata cucu Pak Tani terheran.
“Nak, sekarang orang-orang diam di rumah. Mereka tidak boleh keluar rumah agar tidak terkena penyakit menular yang mematikan. Saudagar-saudagar buah pun tak ada yang datang membeli buah kita. Mereka harus tetap diam di rumah,” terang Pak Tani kepada cucunya.
“Kok bisa begitu, Kek?” tanya cucu Pak Tani yang masih bingung.
“Nak, konon, dalu kala mahluk bermahkota yang sangat kecil dan tak bisa dilihat oleh mata kita telah bangun dari tidur panjangnya. Ia bisa masuk ke tubuh kita. Di dalam tubuh, mahluk itu bisa menghentikan pernapasan kita. Ia bisa berpindah-pindah dari satu orang ke orang lainya. Makanya, orang-orang tak berani keluar rumah,” terang Pak Tani.
Cucu Pak Tani itu hanya mengangguk-ngangguk mendengar penjelasan kakeknya seolah-olah sudah memahami semuanya.
“Sekarang ini, cucuku, kita memetik buah di kebun hanya untuk kita nikmati sekeluarga. Sisanya, biarkan buah-buah itu kembali menjadi pupuk untuk dirinya sendiri,” ucap Pak Tani mengakhiri rasa kebingungan cucunya.
Pak Tani dan cucunya telah semakin jauh mendekati rumah mereka meninggalkan lambaian daun-daun hijau perkebunan yang diiringi lantunan kicauan burung-burung senja. Burung-burung yang hendak menuju ke peraduan bunga mimpi yang indah tanpa gengaman tangan pemburu. Percakapan mereka pun mulai terdengar sayup-sayup menghilang di telingan para binatang-binatang di kebun itu.
“Kamu dengar percakapan Pak Tani itu, Tupai?” ucap Platuk santai.
“Ya, Platuk. Aku dengar percakapan Pak Tani itu,” sahut Tupai keluar dari persembunyiannya.
“Hal itu yang aku maksud. Aku pun bebas menjelajah kebun ini bersama-sama temanku. Kapan pun aku mau, aku bisa menikmati buah-buahan di kebun yang luas ini,” ucap Platuk bahagia.
“Ihh Platuk, aku pulang aja ke sarangku. Aku takut tertular juga nanti,” sahut Tupai sedang berancang-ancang melompat.
“Tertular apa yang kamu takutkan? Kamu ada-ada aja?” tanya Platuk menghentikan langkah si Tupai.
“Aku takut tertular penyakit seperti yang diceritakan oleh Pak Tani itu,” sahut Tupai serius.
“Taktuk taktuk taktuk,” Platuk tertawa mendengar ucapan Tupai.
“Mengapa kamu tertawa? Kamu lupa ya? Dulu, saudara-saudara sebangsamu kena flu yang mematikan. Tak ada yang bisa yang menyelamatkan mereka. Tak ada yang membawa mereka rumah sakit, bahkan mereka dibakar dan ditimbun dalam tanah agar tidak tertular ke manusia,” jawab Tupai kesal.
“Benar, ucapanmu tidak ada yang salah Tupai. Memang dulu saudara-saudaraku banyak yang tewas mengenaskan. Tapi, sudara-sudaraku yang tewas adalah sudaraku yang tak lagi memiliki kebebasan di alam. Ia dikurung untuk bisa bekembang biak berdasarkan imajinasi pemikiran manusia bukan berdasarkan siklus alam bebas,” jawab Platuk.
Tupai mendengarkan semua ucapan burung Platuk dengan serius. Rasa kesalnya mendadak menghilang begitu saja.
“Jangan-jangan dulu saudara-suadaramu berkeja sama dengan mahluk flu itu dalam misi bunuh diri sekaligus membunuh manusia yang merebut kebebasan mereka,” ucap Tupai mengungkapkan pemikirannya.
“Mungkin benar pemikiranmu, Tupai. Tapi, harus disadari bahwa kita hidup di dunia alam bebas maka hidup mati kita mengikuti hukum alam. Berbeda dengan hidup manusia. Semenjak pikiran manusia berkembang pesat, ia keluar dari dunia alam bebas. Ia menciptakan dunia berteknologi tinggi di atas dunia alam bebas kita. Maka dalam pemikiran canggih manusia, dunia alam bebas kita bukan bagian dari penghidup dunia mereka,” ucap Platuk
“Oh begitu ya,” Tupai mulai bergairah lagi menghendus-hendus keharuman wangi buah duren yang menandakan mulai matang. Ia mulai melobangi buah duren itu mencari celah yang aman di antara duri-duri.
“Nah, bigutu dong. Kita nikmati semua buah yang ada di sini. Sementara ini pikiran sakti manusia tak akan mengusik kita. Mereka sedang sibuk mengurus penyakit dular itu. Penyakit itu tidak akan menular ke sebangsa kita,” ucap Platuk bersemangat ketika melihat Tupai kembali menikmati buah durennya.
“Wuusssssss duuk,” batu peluru ketapel mengagetkan buru Platuk dan Tupai yang hampir menghantam mereka berdua.
“Ap itu?” ucap kaget Tupai.
“Lompat Tupai! Itu anak Pak tani tadi. Ia baru datang dari kota,” teriak Platuk yang sudah terbang agak menjauh dari tempat pohon duren itu.
“Katamu tidak ada yang akan mengusik kita,” sahut Tupai melompat ke pohon lainnya.
“Mungkin anak Pak tani itu sedang setres karena dirumahkan di dunia alam bebas kita,” teriak Platuk yang masih terbang berputar-putar di atas dekat pohon duren itu.
“Ayo kita pulang saja! Sebentar lagi juga akan gelap,” sahut Tupai yang sudah aman bersembunyi dari kemarahan anak Pak Tani itu.
“Sampai bertemu lagi Tupai,” ucap Platu.
Mereka pergi pulang meninggalkan anak Pak Tani sendiri dalam cengraman kemarahan di kebun itu.
“Kemana perginya Platuk dan Tupai itu? Aku pecahkan kepalanya. Dia tidak tahu kalau hidup sekarang lagi susah,” anak Pak Tani itu menggerutu sendiri.
Anak Pak Tani itu mendekati pohon duren itu. Ia mencari-cari buah duren itu yang mungkin dalam pikirannya sudah ada yang jatuh. Akhirnya, ia temukan dua buah duren tergeletak di antara rerumputan dengan lubang menganga akibat perbuatan Platuk dan Tupai. Dua buah duren itu pun dibawa pulang oleh anak Pak Tani itu.
“Masih ada beberapa juri yang bisa dinikmati durun ini. Awas kalau besok ketemu mereka lagi. Aku tidak akan memberi mereka ampun,” pikir anak Pak Tani itu. [T]