Desa Jagaraga, Kecamatan Sawan, Buleleng, terletak sekitar sebelas km dari kota Singaraja. Di desa ini pernah terjadi perang besar melawan Belanda, yang dikenal dengan Perang Jagaraga. Pura Dalem Segara Madu, Pura Desa, Merajan Agung Triwangsa, Pura Pande, bekas Puri, Setra dan bekas benteng pertahanan, adalah antara lain yang merupakan saksi bisu Perang Jagaraga. Pura Dalem merupakan Markas Komando laskar Bali dalam Perang Jagaraga, silam. Sementara Pura Desa merupakan lintasan dan tempat diaraknya senjata yang akan digunakan berperang melawan pasukan Belanda, usai di ”pasupati” di Merajan Agung. Di Desa ini Jero Jempiring – istri Patih Agung I Gusti Ketut Jelantik – bertahan dan menghadang serangan musuh, ketika benteng Jagaraga diduduki Belanda.
Jero Jempiring dikenal luas lantaran berhasil mengatur jalannya pertempuran di sekitar Pura Dalem Jagaraga pada 1848. Selaku komando dan penyala semangat laskar Bali saat menghadapi Belanda. Konon wilayah Buleleng atau Bali utara kerap dikatakan sebagai wilayah yang senantiasa bergolak sejak abad ke-17 hingga ke-20. Kehidupan masyarakatnya yang dinamis menyentuh pergaulan multikultur. Saat itu kerajaan Buleleng memiliki rakyat yang dalam komunitas kehidupannya sangat heterogen dibanding wilayah-wilayah di kabupaten lain, misalnya bisa disebutkan adanya etnis Bugis, Cina, Arab, Jawa, Madura, dan Makassar di kawasan ini.
Akan halnya desa Jagaraga, dulu sempat kondang sebagai ajang proses pembinaan dan penciptaan kreasi tari dan tabuh. Di antaranya tarian “Teruna Jaya” dan tabuh “Palawakya” yang diciptakan oleh Pan Wandres bersama Gde Manik. Jauh sebelumnya merupakan sebagai tempat berdirinya benteng Jagaraga yang dibangun oleh pahlawan Nasional, Patih I Gusti Ketut Jelantik menjelang perang Jagaraga kedua. Mungkin lantaran kondisi geografis yang strategis, Desa Jagaraga telah berfungsi sebagai titik persinggahan pada akhir abad ke-18. Tempat di mana laskar-laskar kerabat kerajaan dari Kabupaten lain, bergerak dari ibukota mereka ke Buleleng.
Desa yang diapit sungai (tukad) Gelung Sangsit di sebelah barat dan Tukad Daya di sebelah timurnya ini, berada pada ketinggian sekitar 100 meter dari permukaan laut dan berjarak hampir 5 km dari pantai pesisir laut utara. Di sebelah selatan desa ini — yang kedudukan tanahnya kian meninggi – terletak Desa Sawan, Menyali, Bebetin, Sekumpul dan Lemukih. Selain adanya benteng pertahanan yang dibuat ketika itu, sejatinya Desa Jagaraga sudah merupakan benteng alami, dikitari banyak pebukitan kecil dan sungai.
Di zaman silam, untuk mencapai Jagaraga dari Singaraja mesti melintasi empat sungai yang relatif besar dan curam. Strategisnya desa ini juga lantaran gampangnya lintasan ke daerah Batur ketika itu. Baik melalui Desa Galungan dan Lemukih maupun lewat jalan Pakisan. Desa ini pun merupakan simpul pertemuan antara desa Bungkulan dan Menyali. Kini, dengan adanya perkembangan prasarana dan sarana transportasi, Jagaraga dapat dicapai dengan mudah dari segala arah.
Membangun Benteng
Tak kurang sejak 40 tahun sebelumnya, hingga pecah Perang Buleleng 1846, proses penyatuan komunitas Jagaraga berjalan damai dan lestari. Bisa jadi mayoritas tetua moyang kalangan Bangsawan punya peran penting dalam Perang Jagaraga. Mereka berdomisili di desa ini sejak kekuasaan wangsa Karangasem berjaya di Singaraja, di awal abad ke-19. Lantas bersama-sama rakyat desa setempat berjuang menentang penjajah.
Alkisah, di saat Singaraja jatuh pada pertengahan tahun 1846, Patih Agung I Gusti Ketut Jelantik memindahkan markas perlawanannya ke Desa Jagaraga. Idenya muncul untuk membangun benteng yang strategis sebagai markas pertahanannya. Benteng ini terletak hanya sekitar 200 meter dari Pura Dalem Jagaraga. Kedekatannya dengan lokasi Pura Dalem ini boleh dikata sebagai perwujudan sistem pertahanan duniawi-rohani, religius-spiritual. Posisi benteng Jagaraga dianggap sebagai lini terdepan dalam kawasan kekuasaan sakti Dewa Siwa – manifestasi Tuhan – yang melambangkan kehancuran dan pralina bagi musuh atau Belanda yang berani menyerbu desa ini. Sementara istana berada di pusat desa, di muka Pura Desa.
Persiapan perang yang dilakukan laskar Bali di bawah pimpinan Patih Jelantik kala itu dapat dikatakan sebagai upaya membangun kekuatan melalui ranah religius spiritual berlandaskan ajaran agama Hindu yang diyakininya. Dalam kondisi genting seperti itu, keberadaan Pura Dalem memiliki keterkaitan sangat erat dengan Pura Desa dan Merajan Agung milik kalangan Brahmana, komunitas Pande Besi di Banjar Pande dan keberadaan Patih Jelantik di bilangan belakang Pura Desa Jagaraga.
Prosesi itu bertujuan membangkitkan spirit perjuangan dalam rangkaian upacara masupati(memberi kekuatan gaib dan kesucian) yang dilakukan oleh Patih Jelantik bersama para pejuang di Merajan Agung. Usai di-pasupati, senjata-senjata itu secara magis “dihidupkan” kembali, dan siap digunakan. Lantas, berbagai senjata itu – dari tempat penyimpanannya, diarak menyeberang jalan di muka Pura Desa, melintasi Puri, bergerak ke depan hingga tiba di wilayah belakang perbentengan (dekat Pura Dalem Jagaraga), seterusnya menempati posisi masing-masing memperkuat benteng Jagaraga. Pasukan bersenjata yang sudah di-pasupati itu pun bergerak melingkar ke arah kanan (searah putaran jarum jam). Dalam mitologi Hindu kerap dinamakan gerakan pradaksina. Pola serangan melingkar itulah diterapkan di medan pertahanan Jagaraga.
Singkat cerita, Perang Jagaraga berakhir menjelang senja pada 16 April 1849, dengan menelan banyak korban di kedua belah pihak. Konon Raja Buleleng I Gusti Made Karangasem beserta para pengikutnya juga bermarkas di Pura Dalem ini selama terjadinya pertempuran. Solidnya pertahanan ketika itu juga diperkuat oleh pasukan pecalang yang dikoordinir Jero Jempiring. Seorang perempuan, istri patih yang patriotik, pejuang andal nan gagah berani. Peran dan kontribusinya dalam kemenangan pihak Bali pada Perang Jagaraga I sangat besar, menyebabkan strategi perbentengan Patih Jelantik hidup dan berfungsi dengan baik ketika itu.
Pura Dalem Jagaraga yang lokasinya berseberangan jalan dengan kuburan (setra) ini merupakan bagian dari Pura Kahyangan Tiga yang ada di Desa Jagaraga. Pura ini menghadap ke Barat. Tapak atau site-nya memanjang dari barat ke timur. Padajaba sisi – sebelum memasuki jaba tengah – terdapat candi kurung atau gelung kori yang khas bentuk maupun ragam hiasnya. Relief atau pepatraan-nya sangat otentik dan memiliki ciri tersendiri. Liang takikan ukiran tidak dalam, tapi melebar dan cenderung meruncing.
Di kiri kanan dari gelung kori atau candi kurungini terdapat betelan (pintu samping kecil) yang bagian dalam atasnya melengkung. Jarak antara gelung korimaupun betelan terhadap tepi jalan amat dekat – kurang dari dua meter. Memasuki jaba sisi, di dalam halamannya terdapat bangunan bale gong yang berdenah segi empat panjang dan beratap seng, serta bale pawaregan yang juga beratap seng. Uniknya, sebelum memasuki halaman jeroan inilah baru bisa ditemui candi bentar. Di kiri kanannya juga terdapat pintu betelan, bentuknya nyaris serupa dengan betelan di luar yang membatasi jaba sisi dengan jaba tengah. Lubang pintu bagian atas berbentuk lengkung. Pada halaman jeroan inilah berdiri antara lain palinggih Sapta Petala di area kelod kangin, gedong Prajapathi, padmasana dan gedong Ida Betara Dalem yang semuanya berjajar di timur. Di sebelah baratnya masing-masing terdapat bale pengaruman dan bale piasan.
Keunikan yang dimiliki oleh arsitektur Pura Dalem Jagaraga ini merupakan salah satu aset arsitektur dengan ragam hias yang unik dan otentik. Begitu pula kehidupan sosio-religius masyarakatnya. Semua dinaungi oleh denyut-denyut pelestarian tradisi yang dijiwai nilai-nilai patriotisme, kebersamaan dan persatuan dalam berkehidupan atau bermasyarakat. Terlebih keberadaan pura ini juga menyimpan nilai-nilai historis perjuangan rakyat Buleleng melawan penjajah (Belanda) tempo dulu.
Pendirian Monumen Perang Jagaraga
Sekarang, orang-orang yang berniat mengetahui kisah perjuangan rakyat Buleleng tersebut bisa mengenang kisah Perang Jagaraga melalui Monumen Perang Jagaraga yang dibangun di Desa ini. Meski sebelumnya tak sempat menyaksikan sisa-sisa peninggalan benteng Jagaraga yang saat perang dulu digunakan sebagai benteng pertahanan rakyat. Guna lebih mengenang peristiwa bersejarah itu lah maka pemerintah daerah setempat membangun Monumen Perang Jagaraga. Sebuah tanda bermakna untuk bisa dikenang peristiwanya oleh generasi generasi penerus.
Arsitektur Monumen yang mulai dibangun – di atas tanah seluas setengah hektar- pada Agustus 2016 ini memiliki ketinggian 15 meter dari permukaan tanah. Pada Monumen didirikan patung dua tokoh pejuang perang Jagaraga, Gusti Ketut Jelantik (Mahapatih Kerajaan Buleleng) dan Jro Jempiring. Sebelum memasuki areal monument, akan menemukan areal parkir cukup luas dikitari pepohonan yang asri. Di sisi kanan Candi Bentar terpahatkan tulisan “Monumen Perang Jagaraga”. Memasuki candi bentar yang besar dan kokoh, berbahan paras lokal dengan bahan yang sama ke seluruh bagian tembok penyengkernya.
Bagaimana pola sirkulasinya? Pencapaian ke monumen itu sendiri adalah sebagai pola sirkulasi langsung – linier. Sebelum masuk ke bangunan monumen, pengunjung melangkah melalui jalan setapak, di kiri kanannya berdiri dua patung Dwarapala (di bagian awal). Disusul dengan jejeran patung para pejuang perang Jagaraga. Di samping (kiri-kanan) nya diselimuti hamparan rerumputan.
Di sebelah-menyebelah gedung monumen terdapat kolam hias. Jenis ruang di lantai satu (dasar) terdiri dari: ruang Diorama, ruang Perpustakaan, ruang Pengelola, ruang Penunjang dan Toilet. Sementara di lantai atasnya adalah Patung sosok pejuang Patih Agung I Gusti Ketut Jelantik (Mahapatih Kerajaan Buleleng ketika itu) dan Jro Jempiring dalam wujud patung yang monumental. Tangan patung kedua pejuang tampak menghunus keris saat bertempur melawan penjajah Belanda. Kedua tokoh yang memegang peran penting dalam Perang Jagaraga ini ditonjolkan sebagai sosok yang memberikan semangat bagi masyarakat Bali pada waktu itu, untuk melawan arogansi Belanda yang ingin menguasai Bali.
Bentuk dasar lantai dan bangunan adalah segi delapan. Di lantai dasar ini tersedia ruang diorama, ruang pajang (tiga dimensi) yang memajang kisah perjuangan kedua tokoh tersebut bersama rakyat Jagaraga. Selain itu, juga dibuat stagedan tempat rekreasi serta balai-balai pertemuan sebagai tempat berdiskusi. Secara fisik pembangunan Monumen Jagaraga ini menggunakan bahan-bahan bangunan lokal Buleleng. Sementara itu pencahayaan dan penghawaan di dalam gedung berupa penghawaan alami dan buatan.
Zaman terus bergulir, tapi kadang melalui kenangan pula keberadaan wujud visual arsitektural turut memberi nilai-nilai pencerahan moral manusia, menuju peradaban yang lebih bijak dan mulia. Tempat di mana bercermin dan merefleksi diri, merenung sesaat atau berkontemplasi. Salah satunya, memberi makna akan keberadaan peninggalan-peninggalan arsitektur yang bernilai historis-religius. Penghargaan terhadap pelapisan makna yang tersingkap dan kandungan nilai-nilainya, adalah suatu upaya melanggengkan spirit patriotisme, kejujuran, kearifan pikir dan tindakan, serta meluhurkan budi pekerti, menuju pada kualitas moral manusia yang lebih baik. ***** [T]
BAHAN BACAAN:
- Agung Gde Agung, Ide Anak, Dr., Mr., (1989), “BALI PADA ABAD XIX, Perjuangan Rakyat dan Raja-Raja Menentang Kolonialisme Belanda (1808-1908)”, Gadjah Mada University Press.
- Sastrowardoyo, Soegianto, dr.,(1994), “PERANG JAGARAGA (1846-1849), Kisah heroik Patih Jelantik dari Bali, dalam melawan tentara colonial Belanda di Abad ke-XIX”, CV. Kayumas Agung.