Perawakannya tinggi besar, lebih dari dua meter. Kulit coklat legam. Rambut hitam tebal. Sepasang matanya melotot. Gigi runcing dengan taring lengkung menyembul dari gusi. Kuku-kuku jari tangannya panjang kumal. Sungguh mahluk aneh yang menyeramkan.
“Masih perlu dipoles agar karakter raksasanya semakin kuat,” ucap Putu Okayadi, siang itu di wantilan pura Dalem Purnajati, Tanjung Priok, Jakarta.
Ya, Bli Putu adalah salah seorang perencana sekaligus pembuat ogoh-ogoh. Dalam proses penggarapan Sang Kala Tiga, nama ogoh-ogoh tersebut, tentu tidak sendirian. Demi mengejar tenggat waktu, hampir setiap hari, siang bahkan sampai larut malam, anak-anak muda Suka Duka Hindu Dharma Banjar Jakarta Utara, membantu dengan suka cita. Mulai dari merakit kerangka hingga terwujud seperti sekarang. Termasuk penyediaan baju kaos khusus bagi pengarak, sekeha Beleganjur, dirancang dengan serius. Ogoh-ogoh ini dipersiapkan untuk acara pengerupukan Tawur Kesanga sebagai rangkaian perayaan menyambut Hari Raya Nyepi, tahun baru Saka 1942.
Sesuai rencana, ogoh-ogoh akan dipawaikan di Lapangan Banteng dan seputaran jalan Thamrin. Tahun sebelumnya diadakan di Monas. Tapi khusus tahun ini, Monas sedang sibuk berbenah, berkaitan dengan persiapan ajang international, balap mobil formula 1 dengan segala kontroversinya. Akhirnya, pemda DKI Jakarta mengakomodir kegiatan umat di Lapangan Banteng. Tentu, setelah melalui audensi para pihak.
Sekadar informasi, ogoh-ogoh pertama kali dipawaikan di Monas tahun 2010, tahun baru saka 1932. Pawai dilepas langsung oleh Bpk. Fauzi Bowo, gubernur Jakarta pada waktu itu. Beliau menyampaikan dalam sambutannya bahwa pawai ogoh-ogoh yang diadakan di Monumen Nasional ini sebagai bentuk kepedulian pemerintah dan seluruh warga kota dalam berpartisipasi pada perayaan tahun baru Saka. Sejalan dengan kian diakuinya eksistensi umat Hindu di Jakarta dan sekitarnya maka kegiatan tersebut menjadi agenda tahunan. Bahkan, pada tahun 2013 ogoh-ogoh dilombakan untuk memperebutkan piala gubernur.
Setelah semua persiapan mendekati rampung, tiba-tiba ada kabar mengejutkan. Mewabahnya ‘coronavirus disease’ (COVID-19) di beberapa negara termasuk Indonesia. Apalagi setelah presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa sudah ada pasien positif, yakni kasus-1 dan kasus-2. Kabar ini tentu saja berdampak luas dalam kehidupan masyarakat, pisik dan psikologisnya.
Seperti diketahui, virus mematikan ini, pertama kali terdeteksi di Wuhan, China. Pergerakan jumlah korban yang begitu cepat, drastis, membuat paramedis kewalahan. Dalam tekanan situasi, pemerintah China bertindak cepat dengan membangun rumah sakit tambahan guna menampung membludaknya pasien. Video-video dramatis dan mengharukan pun bertebaran di medsos dan televisi.
Memang, masifnya penyebaran virus dengan masa inkubasi 14 hari ini membuat dunia internasional tersentak, cenderung gagap. Semua golongan dengan status sosial berbeda-beda bisa terjangkit. Media memberitakan bagaimana bintang film terkenal, peraih 2 piala Oscar, Tomk Hanks beserta istrinya positif terpapar. Pejabat negarapun tak luput. Menteri Dalam Negeri Australia, Petter Dutton. Menteri Kebudayaan Perancis, Franck Riester. Wakil Presiden Iran, Masoumeh Ebtekar. Wakil Menteri Kesehatan Iran, Irav Haririchi. Menteri Perhubungan Indonesia, Budi Karya Sumadi. Walikota Bogor, Bima Arya.
Dari dunia sepak bola, Mikel Arteta, pelatih Arsenal juga positif. Bek Tengah Juventus, Daniele Rugani adalah pemain top pertama yang terkena. Pemain bola lain yang juga terkena adalah Manolo Gabbiadini dari klub Sampdoria dan Timo Hubbers dari klub Hannover 96. Menghadapi kenyataan ini, beberapa klub sepak bola akhirnya mengkarantinakan para pemain dan official-nya. Diantaranya Juventus, Inter Milan, Arsenal, Manchester City dan Real Madrid. Seperti halnya ratusan WNI, mahasiswa-mahasiswi yang belajar di Wuhan yang dengan susah payah, karena ketatnya birokrasi, dipulangkan ke tanah air untuk menjalani masa karantina di Natuna.
Kegentingan ini dipertegas lagi oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) bahwa COVID-19 berstatus pandemi. Di Indonesia, khususnya Jakarta, juga menunjukan jumlah suspect dan pasien positif terus bertambah. Nah, untuk memutus sebarannya maka Anies Baswedan, gubernur DKI Jakarta menyerukan agar kegiatan-kegiatan bersifat massal, baik itu kegiatan keagamaan , sosial dan budaya dibatalkan atau ditunda. Hal ini sejalan dengan terapan ‘social distancing’ dari pemerintah pusat . Menghindari kerumunan adalah salah satu cara agar tidak bersentuhan dengan pembawa virus yang susah diidentifikasi secara kasat mata. Harapannya ini dapat memutus mata rantai penyebaran.
Hari Senin, 17 Maret 2020, PHDI pusat, sebagai induk organisasi umat Hindu telah mengadakan rapat terbatas dengan Ditjen Bimas Hindu dan panitia Nasional Nyepi. Dengan memperhatikan arahan Bapak Presiden serta mencermati secara seksama situasi yang berkembang maka pada tanggal 19 Maret 2020 PHDI pusat mengeluarkan Surat Edaran No. 310/PHDI Pusat/III/2020, perihal Pedoman Pelaksanaan Hari Suci Nyepi. Salah satu poin pentingnya adalah secara tegas meniadakan arak-arakan/pawai ogoh-ogoh.
Konsekwensinya, sebagai umat yang menghormati desa kala patra sekaligus ketaatan kepada Guru Wisesa, dalam hal ini pemerintah sebagai bagian dari Catur Guru. Maka, keputusan tersebut harus diterima dengan dada lapang. Rasa kecewa, tentu saja ada. Banyak komponen banjar yang berkontribusi apalagi anak-anak muda sudah mengorbankan waktu, tenaga, pemikiran demi berdirinya ogoh-ogoh. Namun melihat fakta bencana kemanusiaan sudah seyogyanya kita turut prihatin. Mari kita yakini, masih ada pawai ogoh-ogoh tahun depan. Bisa jadi lebih meriah lagi.
Sekarang kita siapkan jasmani dan rohani untuk menyambut Nyepi dalam kesunyian, keheningan. Kesunyian, keheningan kerap membuka jalan untuk ‘terhubung’ dengan Sang Parama Kawi. Kita laksanakan Catur Brata Penyepian sebagaimana mestinya. Mari berusaha menempatkan spiritualitas dan rasionalitas pada takaran yang seimbang. Biarlah sejarah mencatat, pergantian tahun baru Saka kali ini diselimuti duka mendalam. Alam semesta selalu menjaga keseimbangan dengan rahasianya. Semoga tragedi ini cepat berlalu dan sisi kemanusiaan kita semakin peka sebagai mahluk tak sempurna sekaligus tak berdaya dihadapanNya.
Selamat Hari Raya Nyepi Saka 1942.