Cerpen: Pandu Kalam
Lima menit menjelang adzan, Marbot Li belum juga tiba di masjid. Jika ia mengulur waktu adzan hanya untuk menunggu datangnya Marbot Li yang tidak diketahui di mana rimbanya, maka dosa seluruh warga kampung yang tidak menunaikan sholat tepat waktu akan ditimpakan kepadanya. Karena hanya ia yang ada di masjid, tak ada yang bisa diandalkan. Dikumandangkanlah adzan dengan nada yang datar saja. Suara penuh serak hingga tak jarang membuatnya batuk-batuk di tengah melafadzkan kalimat adzan. Semua itu mewakili usianya yang renta.
Rupanya tak ada satu pun jama’ah yang datang setelah ia mengumandangkan adzan, bahkan selang beberapa menit setelah itu pun masih tak ada juga. Pada akhirnya ia juga yang melafadzkan iqomat, dan menjadi imam bagi dirinya sendiri pada satu-satunya masjid yang ada di kampung itu.
Sang takmir kalap karena pengalaman sholat shubuh tadi. Apa sebab warga kampung tak ada yang mau sholat di masjid? Pikirnya. Hal ini menjadi beban pikiran terbesar dan tentu memberi isyarat bahwa ada tanda-tanda ketidakbecusannya sebagai takmir masjid. Empat bulan berjalan dipercaya menjadi takmir, apa kiat yang dilakukan sebagai langkah untuk memakmurkan masjid? Saat ini makin tak masuk akal saja. Bukannya jama’ah bertambah malah sekarang tak ada sama sekali jama’ah? Ia membayangkan apa yang akan dilaporkannya ke hadapan Tuhan saat di Padang Mahsyar kelak. Di sana akan diminta pertanggungjawaban oleh Tuhan atas segala yang dilakukan oleh ummat manusia selama hidup di dunia. Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, Camat, Kepala Desa, Ketua RT, Ketua RW, dan ketua-ketua yang lain tak luput dari persaksian Tuhan. Bukan main, bisa-bisa saya tenggelam dengan keringatku sendiri!!, pikirnya lagi.
Dan, Marbot Li? Ke mana perginya ia sekarang? Tak ada yang tahu.
***
Di rumah, Bapak akhir-akhir ini lebih suka menyendiri. Duduk diam di muka pintu dengan tatapan mata yang jauh dan kosong. Kata Mamak, Bapak sedang dilanda gelisah. Marbot Li yang bertugas membersihkan masjid dan mengumandangkan adzan itu belum diketahui di mana rimbanya. Tujuh hari sudah warga kampung tak ada yang mau sholat berjama’ah di masjid. Dan akhirnya, Bapak yang mengumandangkan adzan, melafadzakan iqomat, dan menjadi imam bagi dirinya sendiri.
Tentang ketiadaan Marbot Li, Bapak sudah melaporkannya ke pihak kepolisian namun tampaknya polisi tak mempunyai minat mengurusnya. Polisi hanya datang melakukan pemeriksaan di hari itu saja. Selebihnya tidak lagi. Warga kampung juga sama sekali tak ada yang mau membantu mencari. Bapak saja yang mencari.
Mungkin karena jengkel dengan sikap warga kampung yang tak mau sholat berjama’ah di masjid, suatu kali Bapak mengumandangkan adzan tidak pada waktunnya. Saat itu waktu menunjukkan pukul 08:00, waktu ketika Bapak sering melaksanakan sholat Dhuha’di masjid, sendirian. Gemparlah warga seisi kampung mendengar adzan yang dikumandangkan oleh Bapak. Reaksinya beragam, anak kecil awalnya heran kemudian ketawa terbahak-bahak. Orang dewasa hingga orang tua menganggap Bapak sudah gila dan kemudian tertawa pula.
Bapak melakukan itu karena ingin menyadarkan warga kampung agar kembali melakukan sholat berjama’ah di masjid. Pikirnya setelah ia membikin gempar warga kampung dengan adzan pukul 08:00 itu, bisa membuat warga datang ke masjid dan menanyakan apa yang dia lakukan. Nyatanya tak sesuai dengan dugaan, apa yang Bapak lakukan itu tak berpengaruh sama sekali, warga kampung tak satu pun datang ke masjid. Saya kasihan melihat Bapak kepayahan. Apa pula sebab warga kampung tak mau sholat di masjid? Heran saya. Inikah tanda-tanda akhir dari umur dunia?
Saya kemarin membaca buku berjudul Huru-Hara Hari Kiamat, memang sempat kuingat salah satu tanda-tanda kiamat yang dijelaskan oleh penulis di dalam buku itu; Orang-orang akan disibukkan dengan urusannya masing-masing. Maka bertambah yakinlah saya dengan kejadian yang terjadi di kampungku ini. Untuk urusan sholat berjam’ah di masjid, bukanlah sesuatu yang menjadi prioritas. Susah-payah Bapakku melakukan berbagai cara dan menyeru warga kampung untuk memakmurkan masjid. Karpet-karpet yang usang diganti dengan yang baru. Sebelum Marbot Li hilang, ia selalu menyemprotkan karpet itu dengan wewangian. Tapi jama’ah makin berkurang saja. Sudah keterlaluan! Benar-benar kiamat akan tiba dalam waktu dekat. Dan saya harus segera menghafal sepuluh ayat pertama Surah Al-Kahfi, tentu saja.
Bapak masih saja seorang diri yang sholat di masjid. Adzan yang dikumandangkan tidak pada waktunya kini sudah sering Bapak lakukan. Hari ini terhitung sudah sepuluh kali adzan dikumandangkan. Warga kampung tak satu pun yang menyahut. Benar-benar gila! Sedangkan kabar Marbot Li masih belum jelas. Keadaan ini cukup membuat Bapakku hilang akal. Bisa-bisa ia dicap sebagai takmir sekaligus imam masjid yang gagal, dan gila.
Di kampungku takmir merangkap jabatan sekaligus sebagai imam masjid. Bapak dipilih oleh warga sebagai takmir. Tapi kenapa Bapak malah dicampakkan oleh warga kampung pula? Apa sebab? Ah, saya benar-benar bingung.
Kini makan pun Bapak tak mau. Kalau pun makan, itu Mamak yang paksa. Bapak tak mau makan kalau tidak dipaksa. Bapak benar-benar berubah. Tak ada yang dipedulikan. Saya bingung harus berbuat apa. Bapak lebih sering duduk diam termenung dengan mata memandang jauh dan kosong. Saya khawatir Bapak benar-benar akan menjadi gila seperti yang kemarin Pak Koce katakan.
“Eh, Ati! Apa Bapakmu sudah gila? Hari ini adzan sudah sepuluh kali dikumandangkan olehnya. Siapa yang mau sholat di masjid kalau begitu jadinya?”
Untuk mengobati perasaan Bapak, saya diajak Mamak sholat ke masjid. Kami bertiga berjalan beriringan, tanpa sepatah kata keluar dari mulut. Bapak berjalan paling depan. Sepanjang jalan Bapak mengajak anak-anak yang main di pinggir jalan untuk sholat di masjid, tapi anak-anak pada lari ketakuatan seperti dikejar maling.
Saya bergidik ketika Bapak mengumandangkan adzan maghrib. Suara Bapak memang tak pantas untuk mengumandangkan adzan, jelek. Apa mungkin karena suara Bapak yang tak sedap didengar sehingga membuat warga kampung tak ada yang mau sholat berjama’ah di masjid? Ah tak masuk akal. Sebelum hilang, Marbot Li yang selalu mengumandangkan adzan, walau dengan suara yang sama tak sedapnya dengan suara Bapak. Mungkin warga kampung juga jengkel dengan suara adzan Marbot Li. Tapi tidak dengan Bapak. Bapaklah yang menunjuk Li untuk menjadi Marbot. Kini belum sampai dua bulan menjadi marbot, ia sudah hilang bagai ditelan bumi.
Apa yang terjadi kemudian cukup membuat Bapak terkejut. Saya dan Mamak juga ikut terkejut melihat Bapak. Bapak kemudian menangis. Tapi saya dan Mamak tak ikut menangis. Ada pengumuman mengejutkan menggunakan toa balai desa. Dari suaranya yang penuh wibawa, dapatlah saya mengenali orang yang berbicara itu. Kepala Desa, ya betul Kepala Desa.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh!! Untuk sementara waktu, tempat untuk melaksanakan sholat berjama’ah dialihkan dari masjid ke aula balai desa!!” Suaranya lantang.
“Sekali lagi! Untuk sementara waktu, tempat untuk melaksanakan sholat berjama’ah dialihkan dari masjid ke aula balai desa. Pengumuman ini berlaku mulai besok pada waktu Sholat Shubuh!”
Maka mulai saat itu saya lihat Bapak sudah benar-benar seperti orang gila. Diam termenung dengan mata yang memandang jauh dan kosong. Makan tak mau. Minum tak mau. Istri dan anak tak dihiraukan. Bahkan ke masjid pun enggan. Mamak selalu menangis melihat Bapak. Seringkali Mamak membujuk Bapak untuk makan atau hanya sekadar mengajaknya ngobrol pun tak disahut. Saya juga ikut menangis melihat Mamak kewalahan membujuk Bapak. Mamak hari ini akan ke dokter; memanggil dokter untuk memeriksa—menyembuhkan Bapak. Namun setelah diperiksa, Bapak tidak memiliki suatu penyakit apapun.
“Bapak hanya perlu istirahat yang cukup saja,” kata dokter.
Belakangan ini kuketahui dari seorang sahabat penyebab warga kampung tak lagi mau sholat berjama’ah di masjid. Saya senang bukan main. Begini kata sahabat saya.
“Mereka tak suka seruan Tuhan itu diperantarai oleh Marbot Li. Masa bekas orang gila bisa mewakili seruan Tuhan Yang Maha Mulia untuk memanggil orang-orang waras? Apalagi dalam urusan agama? Sah-kah seruan Tuhan itu diperantarai oleh bekas orang gila? Urusan agama jangan dianggap main!” kata mereka.”
Dia berpikir sejenak, dan saya hanya manggut-manggut mendengar sahabat ini berbicara. Sahabat ini menelan ludah dan melanjutkan.
“Kata mereka, ini semua ulah Bapakmu. Mereka benci pada Marbot Li sekaligus kepada Bapakmu. Karena Bapakmu yang menunjuk Marbot Li untuk menjadi marbot. Kalau kamu menyaksikan beberapa hari lalu bagaimana Marbot Li dibikin resah oleh ulah warga kampung, saya bisa pastikan kamu akan ikut malu! Semua karena Bapakmu!”
Saya sedikit terkejut.
“Marbot Li dipermalukan di depan orang banyak oleh anak-anak kecil atas suruhan para orang tua. Sekali saya melihat, Marbot Li sedang meminta sumbangan beras dari rumah ke rumah untuk keperluan kas masjid dengan ember ukuran sedang diletakkan di atas pundaknya. Datanglah anak kecil dari belakang menarik sarung Marbot Li. Dan itu, kalau kamu lihat kamu akan malu!! Mana Marbot Li tak pakai celana dalam pula.”
“Orang yang melihat saja sudah malu, apalagi orang yang mengalami. Spontan ia melepaskan tangannya yang menopang ember di atas pundaknya itu untuk menaikkan sarungnya yang ditarik tadi. Dan itu, ember di atas pundaknya tadi, jatuh dan beras tumpah-ruah ke tanah!! Serentak orang-orang yang melihat menyoraki dengan tawaan sinis. Saya tak bisa membantunya, bisa-bisa saya dianggap cem-ceman Marbot Li.”
“Marbot Li dibully habis-habisan oleh warga kampung. Ia dikatai sebagai orang gila. Orang gila tak pantas menjadi marbot. Karena tugas marbot tak hanya membersihkan masjid dan meminta sumbangan untuk kas masjid, juga bertugas mengumandangkan adzan. Adzan adalah seruan Tuhan. Seruan Yang Maha Mulia. Dan seruan Tuhan tak boleh diwakilkan oleh bekas orang gila. Tidak sah!!, kata mereka.”
Saya asyik menyimak.
“Semua karena Bapakmu.”
Sebentar lagi masuk waktu Sholat Maghrib, Bapak tak kunjung mau dibujuk untuk sholat ke masjid lagi. Dan yang lebih menyayat hati, Bapak disoraki sebagai orang gila oleh anak-anak nakal yang berjalan di depan rumah kami setiap sore hari.
Tahu-tahu terdengar suara adzan di masjid. Sebelumnya suara adzan terdengar lantang di balai desa. Tapi kali ini suara adzan di balai desa tak terdengar. Suara itu nampaknya berpindah ke masjid. Suara adzan yang mengesankan kemenangan baru saja diraih. Tinggi melengking dengan nada yang elok didengar. Nada yang tak pernah dipakai oleh siapapun sebelumnya. Tentu Bapak kaget mendengar adzan itu.
“Marbot Li! Itukah Marbot Li?” katanya takjub. “Indah betul adzannya kini!”
Bapak bergegas memakai sarung dan mengambil peci hitam yang biasa digantung di tiang rumah. Ia segera menuju masjid, memenuhi panggilaan sholat dari Tuhan semesta alam yang diperantarai oleh marbot pilihannya, marbot kesayangannya, yang beberapa hari lalu pergi menghilang entah ke mana. Dengan sigap ia turun dari tangga rumah, posisi pecinya tampak belum terlalu bagus, miring. Mamak terharu melihat Bapak segirang itu. Dan saya juga ikut terharu melihat Mamak.
“Pak! Makan dulu!” teriak Mama
Tapi Bapak sudah hilang dari pemandangan.
Tak lama waktu berselang, Bapak kembali dengan wajah kuyu dan badan lunglai. Ia berjalan dengan pandangan mata yang tak lepas dari kedua kakinya. Mamak bertanya ada apa gerangan, namun sama sekali tak disahut oleh Bapak. Kini Bapak berbalik badan, berjalan mundur menaiki tangga rumah dan duduk pada anak tangga yang paling atas dengan padangan mata yang jauh dan kosong.
Bapak tak habis pikir, kenapa Ba Sedo, anak buah Kepala Desa yang dulu jadi tim sukses di Pilkades itu, bisa menirukan lengkingan adzan Marbot Li dengan begitu mirip. [T]
*Cerpen ini hasil workshop penulisan cerpen
sehari dalam acara Mahima March March March, 14 Maret 2020 di Rumah Belajar
Komunitas Mahima.