*Ini merupakan kutipan obrolan WA pagi ini bersama seorang anak muda yang serius bertanya soal lontar pada saya. Saya masukkan dalam Catatan Harian.
____
Saya hanya memilih mendalami karya lontar terbatas pada beberapa naskah.
Q: Kenapa?
Karena tidak banyak waktu. Juga karena ketertarikan batin dan pikiran.
Secara umum saya banyak membaca berbagai lontar-lontar di Bali.
Dari pengalaman membaca lontar maka saya melihat lontar itu terbagi ke dalam 2 pokok:
1.Informasi-pengetahuan luar diri
2.Informasi-pengetahuan dalam diri
Contoh:Kakawin Atlas Gumi ini yang berisi informasi tentang peta dunia dan negara-negara, itu pengetahuan luar diri.
Usada (pengobatan herbal) menarik karena pengetahuan-informasi alam tapi buat merawat tubuh dan menjaga kebugaran dalam diri
Kalau yang murni di luar diri bisa dikatakan itu bisa disaingi atau dipelajari secara modern. Contoh Kakawin Atlas Gumi tersebut di atas. Atau soal murni tumbuhan saja, maka banyak riset modern telah membuka tabir atau telah dibuka oleh pengetahuan modern
KalauUsada Taru Pramana sangat menarik, karena konon kabarnya sang Mpu Kuturan mampu mendengarkan suara tumbuhan. Hal ini tidak nonsense. Ini seperti manusia yang punya “the animal instinct”. Seperti anjing pelacak membaui. Bisa tahu dalemannya
Jadi kapasitas kita tidak melulu membesarkan logika dan pikiran. Bukan hanya lewat nalar mengumpulkan data. Tapi lewat instinct, dalam belajar Usadaini menjadi sangat penting.
Lontar yang berisi infomasi dalam diri itu seperti: Aksara Ring Angga Sarira, Pasuk Wetu, Hredaya-Sastra, Kadyatmikan, Kamoksan, Jnanatattwa, Adnyanatattwa, dan berbagai genre tutur dan tattwa.
Hal-hal ini masih jauh dari sentuhan riset pengetahuan modern. Mereka masih sibuk mengumpulkan informasi alam dan nalar dengan alat ukur.
Kalau masuk dalam diri, maka alat ukurnya ya diri sendiri. Jadi harus ada pemurnian diri. Harus ada kejujuran. Tidak boleh manipulasi diri. Tidak akan paham kalau masih sibuk berdebat dengan informasi luar yang kadang tidak tepat dijadikan acuan. Memasukinya harus lewat diri. Tidak mungkin masuk diri hanya dengan baca referensi. Tidak mungkin memasuki diri lewat debat dan diskusi.
Informasi diri dalam lontar pintunya keheningan diri.
Q: Kawisesan termasuk?
Ini pernyataan bagus. Kawisesan termasuk.
Memasuki diri ada beberapa jenis tergantung tujuannya:
1.Mendapatkan kesaktian (kawisesan)
2.Mendapatkan informasi kesehatan diri
3.Mendapatkan esensi kejiwaan dan lapis-lapis kesadaran diri
Yang nomor 1 ini bagi mereka yang punya motif dendam (aji wegig), atau ingin berkuasa (pangungkul), wibawa (pangalah, kawibawan), dstnya.
Yang nomor 2 ini bagi yang dirinya terpanggil untuk menjadi penyembuh. Ini bisa memasuki pangusadan (pengobatan herbal dan aternatif) dan pamunah(penghapus teluh, leak, guna-guna dll). Yang keduannya ini masuk dalam kategori Balian yang Panengen (ilmu kanan). Ini lawannya Pangiwa(ilmu kiri). Pangiwa membuat sakit, Panengen membebaskan sakit dari kiriman orang.
Yang nomor 3 ini menjadi ketertarikan saya. Isinya esensi kejiwaan manusia. Lapis-lapis kesadaran diri. Dari panca indera, ego, budi, pakerti, jiwa-atma, sampai kesadaran tidur, mimpi, tidur tanpa mimpi, dan seterusnya.
Saṅ Hyaṅ Tattwajñāna yang saya terjemahkan isinya masuk kelompok nomor 3 ini.
Ini bukan hanya pengajaran psikologi diri, tapi juga pemahaman mendalam bagaimana mentransformasikan diri lewat pemahaman mendalam psikologi dan aspek keilahian dalam diri.
Jika pencak silat adalah orah tubuh atau kanuragan, maka kelompok 3 ini berisi bagaimana olah batin, atau pemahaman diri menjadi alat menemukan esensi diri terdalam.
Q: Mendalam sekali penjelasannya, banyak belajar saya 🙂
Jadi pengetahuan diri dalam tatwa itu bersifat transformatif.
Ketika seseorang memasukinya bukan sebatas hafalan untuk diperdebatkan, tapi dibaca menjadi peta navigasi diri, maka dengan lembut hati kita diketuk, makin dalam memasuki keheningan, meninggalkan keributan pikiran, dan masuk dalam sunya.
Apa yang ada di pusat sunya dalam diri, itu juga yang menjadi pusat sunya alam semesta.
Kita kadang masih lebih suka memperdebatkan isi jenis ke 3 sebagai bagian karya ilmiah, padahal keilmiahannya justru ketika dikaryakan di dalam diri.
“Ilmiah” sebagai pengalaman diri, dimasuki sendiri, memasuki diri sendiri, memasuki dunia diri. Terus dimasuki, ia bukan pikiran bergerak, tapi melampauinya, dimana kita berjumpa dengan angkasa atau “akasa” dalam diri. Dimana pikiran bisa ditonton dan tidak mempengaruhi “pengelihatan”.
Pikiran adalah awan dan angin di dalam diri. Dia labil. Bergerak ke sana kemari. Kadang putih, kadang pekat, lalu bertiup atau menjelma jadi puting beliung, mengamuk atau cemberut.
Pikiran adalah awan dan angin di dalam diri. Diri kita adalah angkasa di mana awan dan angin pikiran kita senantiasa mengamuk dan berduka. Angkasa (diri kita yang mendalam) tidak terpengaruh bahkan tidak tersentuh oleh gerak angin, awan, musim, cuaca, purnama, bulan mati, terik hari, gerhana, pelangi, dan seterusnya. Semuanya itu tidak membuat angkasa yang tiada terbatas berduka. Angkasa (diri kita yang tiada terbatas) bukan angin dan awan dkk itu yang terus berubah. Diri kita angkasa yang tanpa batas, hening, maha sunyi yang tidak terkena duka dan tiada terkena kala (waktu). Ini bukan konsep diri yang terbatas, ini diri kita yang tidak terbatas, aspek terdalam kemanusiaan dan kehidupan kita yang berada di luar batas ruang-waktu. Ia non-self, non-space, non-time. [T]
Catatan Harian, 16 Maret 2020