Oleh: Ni Nyoman Tjandri
I. Pengantar
Fenomena kesenian tradisional seperti Dramatari Arja dewasa ini telah menimbulkan wacana memperihatinkan akibat berbagai perubahan yang terjadi telah banyak mengalami distorsi dalam berbagai aspeknya. Pengembangan kreativitasnya telah menuai polemik karena dianggap melampaui batas-batas kepantasan sehingga disinyalir mengaburkan pakem dramatari Arja klasik yang telah memiliki pakem tersendiri. Fenomena yang kini menonjol adalah beberapa pelaku seni dari komunitas seni Arja terlalu condong larut dalam selera pasar. Demi memenuhi kebutuhan pasar terutama memanjakan penonton dengan gelak tawa, berbagai pakem didobrak dengan gerak “genjrang-genjring” dan bahkan mengarah pada gerak-gerak dan wacana porno yang vulgar.
Selain itu tata rias dan busana beberapa tokoh juga kadang-kadang diplesetkan dan lebih fatal lagi terkadang mengarah pada pelecehan seperti Mantri Buduh menggunakan gelungan Mantri tetapi menggunakan saput tentu tidak dapat diterima, dianggap suatu hal yang telah menyimpang dari tatanan pekemnya. Sehubungan dengan hal tersebut upaya pemerintah provinsi Bali melalui Dinas Kebudayaan untuk menggagas workshop Arja klasik seperti sekarang ini tentu merupakan hal yang sangat positif sebelum hal-hal yang lebih parah terjadi dan menimpa seni dramatari Arja yang kita banggakan.
Tulisan ini ingin mencoba mengungkap kembali tentang Pakem Arja klasik berdasarkan apa yang telah diwariskan oleh para maestro terdahulu berdasarkan aloran pemikirannya yang masih kuat memegang teguh prinsip-prinsip estetika seni pada pakem pearjaan. Sekilas juga akan disinggung tentang asal mula perkembangan, Struktur Arja secara umum dan Pakem Dramatari Arja Style Singapadu.
Dramatari Arja adalah seni pertunjukan berbentuk dramatari menggunakan tembang macapat sebagai unsur pokok dalam dialog. Merujuk pada buku ensiklopedi Tari Bali karya I Made Bandem (1983:10) istilah arja diduga dari kata reja bahasa Sansekerta yang mendapat awalan “a” sehingga menjadi “areja”. Oleh karena kasus pembentukan kata, istilah areja berubah menjadi arja yang berarti sesuatu hal yang mengandung keindahan.
Dramatari ini dilihat dari tata rias dan busananya tampaknya merupakan perkembangan lanjut dan mendapat pengaruh dari Gambuh. Hal ini tampak jelas pada bagian unsur gerak antara gerak-gerak putri pada pagambuhan dengan gerakan pepeson galuh pada dramatari Arja tidak jauh berbeda hanya saja ketika berdialog pada galuh sudah menggunakan bahasa Bali. Sementara Putri Gambuh menggunakan dialog berbahasa Jawa kuno (Bali Kawi).
II. Perkembangan Dramatari Arja
Dalam beberapa literatur dramatari Arja ini diduga berkembang dari Arja Dadap. Arja Dadap diduga muncul tahun 1775-1825, yaitu pada pemerintahan I Dewa Gde Sakti di Puri Klungkung, saat diadakannya upacara Pelebon yang dilakukan oleh menantu Beliau yang bernama I Gusti Ayu Karangasem. Upacara Pelebon untuk suami dan madunya dilakukan secara besar-besaran dihadiri oleh berbagai kalangan, termasuk raja-raja seluruh Bali dan membawa seni dari daerah masing-masing. Pada saat itulah I Dewa Agung Manggis asal Gianyar dan Dewa Agung Jambe menginisiasi pergelaran Arja untuk pertama kalinya. Ketika itu Arja dikenal dengan nama Dadap dan lakon yang dipertunjukkan adalah “Kesayang Limbur” (Bandem, 1983:10-11). Dadap adalah nama sejenis pohon dan juga berarti perisai. Pohon dadap adalah kayu sakti, sebagai lambang pembersihan atau alat penyucian yang selalu digunakan dalam setiap upacara di Bali.
Arja Dadap digelar dengan tata cara wayang lemah untuk upacara pelebon, dengan memakai dahan dadap sebagai tiang kelir. Sejalan dengan wayang lemah maka tokoh-tokoh Arja pun dibagi menjadi dua golongan, yaitu golongan yang baik dan yang buruk. Ketika itu Arja tidak diringi gamelan tetapi penari-penarinya menari dengan menggunakan “tembang Lelawasan”, sejenis kidung upacara yang ada sekarang. Berpangkal dari Arja Dadap ini maka muncullah Arja di daerah dengan berbagai lakon yang berbeda-beda.
Di Singapadu muncul Arja Doyong atas prakarsa tokoh-tokoh Gambuh Singapadu antara lain Nang Turun dan Cokorda Rai Panji. Semua tokoh diperankan oleh pria, dengan rias busana yang sederhana. Mereka bernyanyai bersahut-sahutan seperti halnya berpantun dewasa ini. Setelah Arja Doyong berkembang cukup lama maka muncullah Arja dengan lakon Pakang Raras di Banjar Tameng Sukawati yang diprakarsai oleh tokoh-tokoh penari legong seperti Dewa Rai Perit memerankan Putri, Anak Agung Raka memerankan Mantri, I Kecar memerankan Penasar, dan yang lainnya. Arja Pakang Raras ini sudah diiringi dengan gamelan Geguntangan yaitu seperangkat gamelan yang terdiri dari sepasang kendang krumpungan, klenang, kajar, cengceng ricik, tawa-tawa, guntang dan suling. Instrumen guntang ada dua jenis yang ukurannya lebih kecil berfungsi sebagai pemegang matra dan guntang yang lenbih besar sebagai finalis (gong).
Di Singapadu kemudian muncul Arja dengan lakon Sampik Ing Tai, dengan memasukkan unsur-unsur budaya Cina ke dalam format Pearjaan seperti pepantunan, nyanyian, property dan kostum. Dalam waktu bersamaan muncul Arja di Blahbatuh dengan penari galuhnya yang terkenal bernama I Wayan Purna yang mahir menyajikan tembang Slopog. Tak lama kemudian di Keramas muncul Arja di Banjar Palaklagi dan kehidupannya didukung oleh tokoh-tokoh beken seperti I Karas, Ida Aji Gederan, I Klebit, dan I Reken.
Setelah populernya Arja di Bali Tengah sekitar tahun 1915-1920 di Singapadu muncul Arja dengan Lakon Jayaprana. Cerita ini konon dibawa oleh seorang pedagang Candu dari Liligundi Buleleng. Arja Jayaprana diperkenalkan oleh penari-penari I Made Tokolan, Nang Turun, dan I Gusti Ngurah Keceb. Keahlian Nang Turun diwarisi oleh I Wayan Geria dan I Made Kredek. Ketika I Wayan Geria dan I Made Kredek menjadi pembina Arja di Singapadu maka ditampilkan tokoh-tokoh wanita dalam pengembangan Arja Jayaprana di Singapadu dengan tokoh-tokoh wanita seperti Ni Nyoman Rindi (Ibu dari Prof. Wayan Dibia) Ni Made Senun, A.A. Rai Tangi, dan Ni Jero Sebita.
Ketika perkembangan dramatari Arja mulai meningkat sekitar tahun 1930, I Made Kredek mengajarkan Arja dengan aliran pemikirannya ke desa-desa di Bali seperti Kerambitan (Tabanan), Apuan (Bangli), Peliatan Ubud Gianyar, Kedaton dan Renon (Denpasar), bahkan sampai ke Pujungan Pupuan (Tabanan). Berkembangnya Arja di daerah-daerah maka kemudian berkembang istilah Arja Sebunan yakni sebuah group atau komunitas seni Arja yang berasal (nyebun) dari sebuah Banjar atau Desa Adat.
Sekitar tahun 1940-an berkembang istilah Arja Gede yaitu group Arja yang jumlah penari-penarinya relatif besar. Seperti menggunakan Mantri 17 orang penari untuk melakonkan Sayembara Drupadi. Dalam perkembangnnya pentolan-pentolan Arja Sebunan menghimpun diri dalam sebuah pementasan secara profesional yang disebut Arja Bon Bali. Dalam perkembangannya Arja Bon Bali kemudian disebut dengan Arja Roras karena terdiri dari dua belas (12) orang penari. Setelah sebutan Arja Roras pudar kemudian muncul istilah Arja telu aji siu karena ongkos yang diterima seorang penari Rp 1000,00 dibagi tiga yakni Rp 333, 33 tiga ratus tiga puluh tiga rupiah dan tiga puluh tiga sen). Setelah terjadi perubahan nilai mata uang, istilah arja telu aji siuberubah menjadi Arja Ri karena tokoh-tokoh idola penarinya diawali dengan nama Ri seperti Ribu, Riuh, Rinun, dan Rideng.
Tahun 1968 Arja RI bergabung dengan Arja Candra Metu Keluarga Kesenian Bali (KKB) Radio Republik Indonesia (RRI) Stasiun Denpasar dengan memilih cerita Pakang Raras sebagai lakon utama. Arja ini dibintangi oleh penari-penari seperti Ni Nyoman Tjandri, Ni Made Suci, Cok Istri Rai Partini, Ni Wayan Ribu, dan Ni Made Rusni. Kemunculan Arja Candra Metu RRI Denpasar membawa perubahan dalam hal iringan yakni menggunkan gamelan Gong Kebyar, untuk mendapat kebebasan dalam hal kreativitas.
Ni Nyoman Tjandri sebagai pewaris langsung gaya I Made Kredek, hingga kini masih aktif mewariskan ilmunya dalam bidang tembang dan seni klasik Pearjaan kepada beberapa generasi muda di Desa Singapadu terutama di Banjar Mukti, Abasan, dan sekitarnya. Bahkan juga menghimpun anak-anak berbakat. Hasil binaannya beberapa kali telah mampu menampilkan arja klasik dan arja inovatif melalui Sanggar Makaradhwaja, Singapadu, Gianyar. Beberapa inovasi dilakukan tidak saja terhadap lakonnya juga bentuk iringannya, dan kemasan struktur dramatiknya. Dalam konteks yang lebih luas juga masih aktif membina komunitas dari beberapa Seka Arja dari pelosok Bali dan juga murid-murd dari berbagai negara seperti Eropa, Jepang, dan Amerika.
Dilihat dari unsur-unsurnya Arja merupakan seni teater yang bersifat kerakyatan dan sangat kompleks karena merupakan perpaduan dari berbagai jenis kesenian yang hidup di Bali, seperti seni tari, seni drama, seni vokal, seni instrumental, puisi, seni peran, seni pantomim, seni busana, seni rupa dan sebagainya. Semua jenis seni yang bersatu dalam Arja dapat saling menyatu dan padu, sehingga satu sama lain tidak saling merugikan. Perpaduan ini amat menyatu dan padu, seperti halnya seni suara baik vokal (tembang) maupun bunyi gamelan yang bertangga nada slendro/pelog menjadi sajian yang sangat merdu dan menarik, sedangkan sebagai pendukung dan penegasan ceritera dilakukan melalui monolog dan dialog.
Sebagai pertunjukan tradisional, Arja memerlukan penonton yang intim. Antara penari dan penonton sering saling berinteraksi untuk membangun komunikasi yang mampu menghidupkan suasana pertunjukan. Lelucon-lelucon yang baik bukan berdasarkan hafalan tetapi idealnya menurut Made Kredek muncul dari ide cerita. Jika gagal minimal alur cerita di dapat, namun jika lepas dari cerita, besar kemungkinan istilah Bali “tengal”. Dan untuk mendukung keakraban antara penari dan penonton penari harus cerdas dan bernas dalam memainkan diksi-diksi yang aktual. Oleh karena demikian maka model panggung yang dibutuhkan berbentuk kalangan.
Sumber lakon Arja yang utama adalah ceritaPanji(Malat), yang merupkan kisah perburuan cinta antara Raden Inu Kerta Pati dengan Galuh Candra Kirana. Panji sebagai tokoh sentral sering dianggap sebagai culture hero (pahlawan budaya), yang berpetualang untuk memperjuangkan cintanya dengan berbagai rintangan dan ujian-ujian. Seringkali untuk mencapai tujuannya ia harus melakukan penyamaran-penyamaran (nyineb wangsa), atau mengalami perubahan wujud tertentu.
Siklus cerita seperti ini yang kemudian mampu memperkaya khasanah cerita dalam berbagai versinya seperti cerita Bandasura, Pakang Raras, Linggar Petak, I Godogan, Made Umbara, Cilinaya, I Made Ulangun, Kantong Bolong, dan Dempu Awang yang telah dikenal secara luas oleh masyarakat. Dalam perkembangannya cerita yang berkembang di masyarakat kerap menjadi sumber lakon seperti Jayaprana, Rare Angon, Japatuan, Cupak Gerantang, dan Basur. Epik Mahabaratha dan Ramayana yang begitu mengakar dalam kehidupan masyarakat Bali juga tidak luput menjadi sasaran lakon Arja seperti Senepati Salya, Sayembara Drupadi. Fleksibilitas Arja juga mampu mengadopsi cerita yang bersumber dari novel, cerpen Bali Modern, dan fenomena alam. Waluh Kambang adalah lakon Arja yang ide ceritanya terisipirasi dari fenomena gelombang Tsunami tahun 2004.
Koreogreafer andal I Wayan Dibia juga menggagas lakon Arja dengan mengambil sumber cerita dari Novel Romeo dan Juliet, kemudian novel karya Sastra Bali Modern karya I Made Sanggra sehingga lahir kemudian Arja berjudul Ketemu di Tampak Siring. Tahun 2015 Komang Sudirga menyusun naskah Arja berjudul Tresna di Air Sanih dengan mengadaptasi Novel Bali Modern karya I Jelantik Santa, yang dipentaskan tahun 2015 oleh Group Arja dari Desa Singapadu Tengah sebagai Duta Gianyar. Kemasan lakon baru adalah salah satu bentuk pengembangan dramatari arja dalam berbagai inovasinya untuk memberikan semacam kemasan sajian alternatif.
Lakon apapun yang dibawakan Arja selalu menampilkan tokoh-tokoh utama yang meliputi Inya, Galuh, Desak (Desak Rai), Limbur, Liku, Panasar, Mantri Manis, Mantri Buduh dan dua pasang punakawan atau Panasar kakak beradik yang masing – masing terdiri dari Punta dan Kartala.
Sebagai seni pertunjukan, Arja mempunyai fungsi untuk pendidikan. Biasanya masyarakat sesudah menonton Arja berhari-hari akan menirukan nyanyian dan lelucon yang ditampilkan oleh kelompok yang baru saja mereka tonton. Gerakan-gerakan lucu atau ungkapan tentang kejadian-kejadian yang menggelitik akan mereka ulangi dalam pergaulan sehari-hari. Dengan demikian Arja merupakan suatu media komunikasi yang sangat ampuh untuk menyampaikan pesan.
Menurut fungsinya Arja digolongkan ke dalam kelompok tari balih-balihan (hiburan) berbentuk teater. Arja merupakan seni teater yang sangat kompleks karena merupakan perpaduan dari berbagai jenis kesenian yang hidup di Bali, seperti seni tari, seni drama, seni vokal, seni instrumental, puisi, seni peran, seni pantomim, seni busana dan seni rupa. Sesungguhnya Arja adalah perpaduan antara dua pendukung teater, yaitu gagasan yang datang dari para pendukung (pemain) dan penonton.
Sebagai bentuk seni teater, Arja ini sangat komunikatif dengan masyarakat penikmatnya. Dari perkembangan selama ini dapat dikatakan bahwa Arja masih sangat populer di masyarakat Bali. Hal ini dapat dilihat dari kemauan masyarakat untuk berbondong-bondong meramaikan festival yang diadakan setiap tahun. Arja di Bali masih tersebar di banyak wilayah, seperti Denpasar, Bangli, Klungkung, Gianyar, Karangasem, Badung, Tabanan, dan Jembrana.
III. Struktur Arja
Pengertian struktur dalam kaitan adalah susunan atau urutan dari adegan-adegan dalam pertunjukan Arja. Secara umum dramatari arja klasik memiliki struktur seperti berikut.
Babak I
Diawali dengan pepeson tari ngugal oleh masing-masing tokohnya. Seperti Condong, Galuh, Desak Rai, Limbur, dan Liku. Secara individual masing-masing tokoh selain menarikan pepeson ngugal juga akan diselingi dengan penyerita sebelum mengakhiri adegannya. Masing -masing tokoh ini menggunakan materi tembang yang berbeda untuk pengugalnya dan hal tersebut menjadi identitas karakternya seperti Condong menggunakan Tembang Pangkur, Galuh menggunakan tembang Dangdang atau Adri.
Desak Rai juga menggunakan tembang Dangdang namun pola wewiletannya lebih lincah sehingga karakter tembangnya lebih nglatir (genit). Limbur menggunakan Tembang Sinom lumrah namun agung dan berwibawa secara ambitus suara berada pada posisi vocal placement dengan nada register rendah (suara di madyaning lidah). Pada bagian penyerita Limbur biasanya melakukan monolog dengan ungkapan-ungkapan yang dipetik dari bait-bait karya sastra kakawin, kidung atau prosa yang dilagukan (palawakya).
Sementara Liku juga menggunakan tembang pangkur namun banyak di deviasi (penyimpangan). Tokoh ini sangat norak, ceplas-ceplos, dan gandrung akan hal-hal yang tidak sesuai dengan kemampuannya sehingga sering memanfaatkan segala cara untuk mewujudakan kehendaknya.
Babak II
Diawali dengan penasar manis, menggunakan tembang Durma untuk pepeson ngugalnya. Gerak-geraknya luwes, agung dan berwibawa. Setelah melakukan penyerita ia akan memanggilnya adiknya yang bernama Kartala. Tembang pepeson Kartala biasanya menggunakan Ginada, Ginanti, atau Pucung tergantung kemampuan penarinya. Usai melakukan dialog-dialog pemaparan situasi tertentu tentang kondisi istana dan junjungannya segera ia menghadap tuannya. Keluar Tokoh Mantri Manis dengan menggunakan Tembang Sinom Lumrah sebagai pengugalnya. Sinom yang dinyanyikan dengan suara nyaring, tinggi dan merdu. Posisi suara berada di tungtunging lidah.
Dalam penyerita Mantri Manis akan menggambarkan perasaan hatinya yang rindu akan kekasihnya, dan meminta kedua abdinya untuk tetap setia menemaninya. Penyerita Mantri Manis umumnya menggunakan Ginada Lumrah atau Sinom Wug Payangan. Untuk mengakhiri percakapan dan mengubah suasana yakni mengangkat suasana dari melankolis ke suasana yang lebih dinamis/tegang biasanya digunakan frase pendek “durung puput bebawosan” sebagai penciri perubahan adegan menuju pada alur cerita berikutnya. Bababk ini diakhiri dengan masuknya semua pemain ke dalam rangki (out stage).
Babak III
Diawali dengan Pengugal tokoh Penasar Buduh dengan mengunakan pupuj Durma namun denga gerak-gerak yang lebih keras, dengang, dan sombong. Analogi tokoh ini dalam pewayangan tidak jauh berbeda dengan Tokoh Delem. Usai pernyerita ia memaggil adiknya bernama Wijil, biasanya menggunakan tembang Sinom Kalangwan, atau pupuh lainnya tergantung kemampuan penarinya. Watak tokoh Wijil ini tak ubahnya Sangut dalam pewayangan, yang sangat cerdas dan pintar mencari aman untuk dirinya. Adegan ini biasanya lebih kocak dan wacvana tentang aktualisai fenomena dan kritik sosial yang dijadikan wacana adu silang pendapat antara Punta dan Wijil.
Dialog ini akan diakhiri ketika tiba-tiba tuannya memanggil-manggil, aka tetapi saking asyiknya mereka berpura-pura tidak mendengar. Setelah diyakinkan yang memanggil junjungannya barulah mereka kaget dan siap siaga. Mantri Buduh sebelum menari pepeson akan menyanyi dalam krebeng dengan pupuh Pangkur Jawa. Selama dalam krebeng Punta dan Wijil melakukan demonstrasi beratraksi gerak improvisasi merespon nyanyian yang ditembangkan oleh Mantri Buduh. Adegan pengugal Mantri Buduh dimulai dengan Tembang Durma Manis sebagai tembang pengugalnya.
Dalam adegan ini suasana tetap kocak karena Punta dan Wijil secara bergantian diminta menemani Tuannya untuk menari bersama (ngayah). Usai adegan pepeson ngugal dua orang parekannya mengabaikan tuannya dengan asyik bercerita tanpa peduli, sampai akhirnya mereka kena demprat. Sampai-sampai Tuannya ngambek barulah mereka mau menemai kembali untuk memasuki adegan penyerita.
Babak IV
Adalah struktur dramatik tentang alur cerita yang sebenarnya. Pada adegan ini berbagai konflik dan ketegangan dibangun, melalui taktik yang licik, fitnah, provokasi, asutan, dan tipu ,uslihat lainnya suasana diinversi, wacana dimanipulasi yang mengakibatkan kesedihan, penderitaan, kejengkelan, dan berbagai perasaan yang terkadang membuat penonton, marah, iba, jengkel dan kecewa. Namun pada akhirnya ketegangan mengendor menuju pada penyelesaian masalah yakni kebenaranlah pada akhirnya yang menang. Dan terjadi instropeksi diri tentang tindakan yang khilaf menuju penyadaran bathin akan hal kebenaran dan kekuatan cinta sejati.
IV Style (Gaya) Singapadu
Berbicara mengenai styleadalah bicara mengenai gaya yakni suatu bentuk penampilan yang khas yang dapat dikaji dari bentuknya sebagai penciri. Bicara mengenai style juga tidak lepas bicara mengenai ciri khas yang menjadi habitus dalam sebuah penyajian. Sesuai konsep “desa kala patra” (tempat waktu dan situasi), “desa mawa cara” (setiap desa memilki tata cara masing-masing) dan negara mawa tatwa” (setiap negara memiliki falsafahnya masing-masing), maka dalam persoalan style atau gaya, konsep ini dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu gaya daerah (provinsi, kabupaten, desa), gaya kelompok atau komunitas, dan gaya individu. Terkadang dari gaya individu kemudian bisa berkembang menjadi gaya daerah.
Peneguhan dramatari Arja styleSingapadu bisa jadi bermula dari aliran pemikiran seseorang (inidividu) menandai gaya daerah dalam hal ini desa Singapadu. Persoalan gaya dalam dramatari Arja, dapat dicermati melalui beberapa aspek salah satunya adalah hubungan frase musikal dengan gerak tarinya. Di Singapadu berkembang adagium jika penari Arja harus mampu “ngigel nuwutin gending” dan “ngendingin igel” artinya “menari mengikuti nyanyian” dan “bernyanyi mengikuti irama tari”.
Ungkapan tersebut mengandung maksud bahwa seorang penari tidak semata-mata hafal dengan bentuk tembangnya tetapi ia harus tahu bagaimana menari berdasarkan tembang tersebut berapa baris, berapa suku kata pemenggalannya harus diperhitungkan betul sesuai dengan angsel-angsel struktur tarian dan juga pedumkarangnya (koreografinya). Sebaliknya dia tidak hanya sekedar menembang tetapi bagaimana bernyanyi agar sesuai dengan irama tarian secara harmonis, sebaliknya dengan mengikuti irama nyanyian sudah terbayangkan bentuk tariannya. Sinkronisasi antara nyanyian dan gerak tentu sesuatu yang tidak mudah oleh karenanya bagi pemula seringkali penggalan baris-baris tembang itu mesti dipolakan dengan hitungan-hitungan tertentu secara frasering sesuai rasa musikal sebagai semacam pembakuan, untuk memudahkan sistem komunikasi baik antara penabuh maupun penari.
Gerak dalam dramatari Arja masih tetap mengacu pada konsep gerak tari Bali yaitu agem, tandang, tangkis, tangkep sesuai dengan tokoh yang diperankan. Kekhasan gerak masing-masing tokoh tampak jelas pada adegan struktur papeson. Selama masa menarikan tari papeson struktur formal tarian tetap dipertahankan seperti agem dan aspek lainnya. Penari diperkenankan mulai seolah-olah ngelebang igel (lepas menari) ketika memasuki adegan pendramaan. Namun demikian hal yang tidak dapat diabaikan adalah takeh atau tangkepdi atas panggung. Hal ini penting untuk menguatkan ekspresi dan maksud pesan yang ingin disampaikan.
Dalam struktur tarian Dramatari Arja style Singapadu seorang pemeran tokoh dramatari Arja harus menguasai uger-uger bentuk tembang secara fasih. Bagaimana tidak untuk kepentingan dialog di atas panggung mereka harus mampu mengarang tembang secara spontanitas sesuai dengan kebutuhan dialog. Demikiam pula untuk kepentingan struktur pepeson, mesti diperhatikan seberapa baris untuk bertembang di rangki, berapa baris mungkah lawang (seberapa suku kata untuk angsel bawak, angsel kado, dan angsel lantang), seberapa baris untuk ngilehin kalangan, kapan metanganan, apa kyu-kyu atau penanda untuk mencari angsel dan sebagainya. Terutama untuk ngeseh dan ngangsel dalam dramatari arja kyunya selalu datang dari penari. Dalam konteks ini terjadi tari mendominir musik.
Pembagian frase gending tiap-tiap penari tokoh antara penari satu dengan lainnya tentu tidak sama, hal ini disebabkan oleh karena bentuk tembang berbeda juga bentuk tabuh iringannya yang juga berbeda antara batel, tabuh dua, dan tabuh untuk gending Adri. Untuk jenis tembang pangkur, durma, umumnya menggunakan ukuran tabuh batel sehingga kyu angselnya terletak usai pukulan Gong (sir). Sementara untuk tabuh dua yang wataknya lebih tenang kyu angselnya umumnya usai jatuhnya pukulan tawa-tawa (pung), sedangkan untuk tembang Adri yang karakternya lebih lembut kyu angselnya jatuh pada pukulan tawa-tawa (pung) menuju Gong (sir).
V. Penutup
Berdasarkan uraian di atas maka Dramatari Arja telah mengalami masa perkembangan pasang surut selama tiga abad (1775-2020) sejak masa kemunculannya. Banyak hal yang telah terjadi selama tiga abad masa perkembangannya. Termasuk hadirnya Dramatari Arja di Singapadu tidak dapt dipisahkan dari peran sentral I Made Kredek sebagai pelanjut dari seniman-seniman besar sebelumnya yang telah berjasa meletakkan fondasi penting bagi perkembanag Dramatari Arja berikutnya. Setelah populernya Arja di Bali Tengah sekitar tahun 1915-1920 di Singapadu muncul Arja dengan Lakon Jayaprana. Cerita ini konon dibawa oleh seorang pedagang Candu dari Liligundi Buleleng. Arja Jayaprana diperkenalkan oleh penari-penari I Made Tokolan, Nang Turun, dan I Gusti Ngurah Keceb. Keahlian Nang Turun diwarisi oleh I Wayan Geria dan I Made Kredek. Ketika I Wayan Geria dan I Made Kredek menjadi pembina Arja di Singapadu maka ditampilkan tokoh-tokoh wanita dalam pengembangan Arja Jayaprana di Singapadu dengan tokoh-tokoh wanita seperti Ni Nyoman Rindi (Ibu dari Prof. Wayan Dibia) Ni Made Senun, A.A. Rai Tangi, dan Ni Jero Sebita.
Airan pemikirannya kemudian ditancapkan pada setiap seka binaannya di beberapa desa di Bali. Struktur Dramatari Arja dalam pementasannya terdiri dari sedikitnya empat Babak, yang kemudian masing-masing Babak memiliki sub-struktur yang disebut “igel ngugal” (tari pengenalan tokoh) oleh setiap pemain tokohnya. Style pakem Dramatari Arja Singapadu terletak pada hubungan antara gerak tari dan nyanyian, antara gerak dengan musik iringan, dan pemenggalan kata (frasering lagu) agar sesuai antara teks dan konteks dalam mengatur pedum karang (pembagian ruang menyusun koreografinya).
Selain hal tersebut salah satu yang menjadi ciri khas Arja Singapadu adalah penggunaan tembang Adri untuk papeson Galuh. Gerakan yang luwes menyerupai gerak penari Galuh dalam Pagambuhan. Karakternya sedikit berbeda dengan tembang Dangdang yang digunakan Galuh pada umumnya. Demikian pula karakter liku sangat proporsioal dalam hal serius dan pura-pura konyol bukan terus menerus diperlakukan seperti orang tidak waras. [T] [*]
_____
Tulisan ini adalah materi yang disampaikan dalam Kriyaloka (Workshop) Arja Klasik di Kalangan Angsoka, Taman Budaya Provinsi Bali, Selasa 3 Maret 2020. Workshop digelar Dinas Kebudayaan Provinsi Bali mengawali persiapan Pesta Kesenian Bali (PKB) XLII, tahun 2020.
***
Ni Nyoman Tjandri (Ninik Candri), Lahir di Singapadu, 31-12-1949, adalah penari arja dari Singapadu yang hingga kini masih tetap setia mengembangkan seni arja khas Singapadu, salah satu dengan mendidik anak-anak menari arja.
Mulai tahun 1964 diangkat sebagai tenaga honorer pada bagian Keluarga Kesenian Bali (KKB) RRI Denpasar. Tahun 1980 diangkat sebagai Dosen Luar Biasa di ASTI Denpasar untuk mengampu Mata Kuliah Tembang dan Seni Tari Klasik (Arja, Janger dan Calonarang).Tahun 1982 ditugaskan mengajar Tembang untuk mahasiswa D2 Unud. Tahun 1982 diangkat sebagai karyawan tetap RRI Stasiun Denpasar 31 Desember 2006 memasuki masa Purna Bakti sebagai PNS di LPP RRI Stasiun Denpasar.