Rusaknya hutan yang merupakan habitat alami bagi burung dan satwa liar merupakan hal yang buruk bagi ekosistem. Kelangkaan satwa liar membuat masyarakat hanya dapat menyaksikan keunikan satwa melalui dunia virtual dan foto saja. Kekhawatiran bahwa anak cucu di masa depan tidak dapat menyaksikan keragaman hayati secara nyata patut disikapi serius karena ini akan membuat manusia semakin terasing dari alam karena yang dia saksikan lewan media kontras dengan kenyataan yang ada saat ini.
Karya Seni digital yang dibuat oleh I Gusti Putu Adi Supardhi dengan judul As Seen On Tv yang sempat dipamerkan di Bentara Budaya Bali dari tanggal 22 Oktober sampai 10 November 2019 mengandung ekspresi yang mengkhawatirkan. Bila mengamatinya, akan tampak emosi negative si pembuat. Ini ditandai dengan tanah dan pohon yang berwarna hitam dan udara yang kelabu. Warna hitam dan kelabu ini melambangkan kematian dan kesuraman. Hutan ditebang dan dibakar. Lalu seorang remaja berseragam pramuka datang ke kawasan hutan tempat dulunya dia berkemah yang disangkanya masih hijau. Dia pun meneropong sekelilingnya. Yang dilihat hanya kehampaan dan kesunyian saja. Foto berwarna warni ular melata, burung bertengger di pohon dan berkicau , monyet yang muncul dari balik batang dan tupai yang berjalan di dahan yang ada di depan pepohonan mati menandakan kemusnahan fauna di hutan tersebut sehingga remaja pramuka ini hanya mengamati dengan berimajinasi tentang keadaan lingkungan seperti yang ia lihat di TV.
Dalam kontek lingkungan hidup di Bali , sudah terlihat bahwa kicauan burung tidak seramai lima puluh tahun lalu. Saat melirik ke masa lampau, ekologi pulau ini mulai merosot dengan lenyapnya raja rimba dari gumi Bali delapan puluh tahun lalu akibat perburuan dan konflik dengan manusia yang dilandasi oleh factor ekonomi untuk mendapatkan keuntungan jangka pendek . Perlahan lahan banteng dan rusa hutan semakin sedikit populasinya. Semua orang di Bali hanya menyaksikan raja rimba, dan banteng dari video di Internet saat dulunya mereka masih ada. Di pesisir, duyung sudah tidak ada lagi. Masyarakat hanya dapat melihatnya di media elektronik saat ada berita heboh duyung terdampar di pantai Gerokgak bulan Maret tahun 2017(1). Tahun berikutnya berita heboh tersebut ada lagi di pantai padang galak (2).
Mengapa muncul fenomena duyung terdampar di situ? Di sepanjang pantai utara dan timur Bali hingga Sanur terdapat padang lamun yang sayangnya telah terdegradasi akibat pembangunan, dan pencemaran. Dapat diperkirakan bahwa tujuh puluh tahun yang lalu keberadaan duyung itu lebih banyak lagi di pulau Dewata sebelum degradasi karena sumber makanannya masih terjaga. Laut Bali masih jernih saat itu.
Film film tentang alam dan satwa liar yang dijadikan promosi pariwisata sering menampilkan hutan bakau yang rimbun dan keindahan bawah laut di Bali. Ekologi bawah laut divideokan kaya dengan ikan dan berbagai jenis mahluk laut dengan aneka warna yang seindah kebun bunga. Saat ini hutan bakau menyusut akibat reklamasi pulau Serangan dan dijadikan tumbal untuk akomodasi pariwisata massal. Terumbu Karang di Bali Timur dan Bali Utara rusak akibat limbah dari kapal laut, snorkeling dan sampah plastik. Ekosistem “pelangi” di lautan Bali ini hanya 55% yang berkualitas baik(3). Berarti hampir setengahnya tidak layak.
Di tepi pantai, dua puluh lima tahun yang lalu, masih mudah menjumpai gurita kecil, siput laut, dan omang omang besar. Penyu lebih sering terlihat bertelur di sana. Kemudian, pesisir dikapling dan dijadikan resort. Ini menyebabkan penyu enggan bertelur di situ. Sampah plastik yang menjadi wabah di Bali turut menurunkan populasi hewan ini. Bali yang di televise disebut pulau surga pada kenyataannya tercemar.
Dari tragedi di atas ada usaha yang sedikit meredakan kekecewaan yaitu konservasi penyu, pemulihan terumbu karang dan penanaman bakau. Dengan berpijak pada kondisi saat ini dan upaya tersebut, untuk menciptakan masa depan yang lebih asri, pemulihan ekologi dan satwa liar harus diintegrasikan dengan keadilan sosial dimana masyarakat penghuni kawasan yang dijadikan zona restorasi ekologi dijadikan sebagai subjek yang aktif. Prinsipnya konservasi lingkungan harus menyatu dengan kelayakan hidup penduduk setempat dan demokratis dalam arti diberi kesempatan berpartisipasi .
Restorasi ini harus mempertimbangkan kelayakan hidup mereka yang hidup dari hutan atau lautan. Hasil hasil laut atau hutan bakau diolah oleh masyarakat setempat dan diperdagangkan dengan adil dimana pengrajin atau nelayan memperoleh harga jual yang sesuai dengan hasil usaha mereka sehingga semakin aktif memulihkan ekosistem tersebut untuk menjalankan penghidupan bagi dirinya secara berkelanjutan dan regenerative (memperbaharui). Akhirnya, suatu saat nanti alam Bali akan pulih mendekati seperti yang dahulu pernah dilihat di video, tinggal berapa lama hal itu akan terwujud. Salah satu paradigma yang harus diubah adalah kompetisi untuk kepentingan sementara menjadi kooperasi untuk jangka panjang demi keberhasilan penerapan gagasan ini. [T]
Sumber:
- Nusa Bali. 21 Maret 2017. https://www.nusabali.com/berita/11823/ikan-duyung-25-meter-terdampar-di-gerokgak. Diakses tanggal 5 Maret 2020
- I Putu Suyatra. Ada Duyung Terdampar Penuh Luka dan Ekor Terikat. ( Juli 2018. https://baliexpress.jawapos.com/read/bali/09/07/2018/ada-duyung-terdampar-penuh-luka-dan-ekor-terikat. Diakses tanggal 5 Maret 2020
- Ni Putu Eka Wiratmini. Hanya 55% Terumbu Karang bali yang Berkualitas Baik. 29 Oktober 2018 https://bali.bisnis.com/read/20181029/537/854154/hanya-55-terumbu-karang-di-bali-berkualitas-baik. Diakses tanggal 5 Maret 2020