Dulu, tradisi bercerita pernah dilakoni nenek. Masih segar dalam ingatan saya bau khas kamar nenek, ketika kami, cucu-cucunya, dengan setia mendengarkan beliau bercerita menjelang tidur. Kami biasanya langsung menginap di kamar nenek. Kami betah mendengar dari awal sampai akhir, meski ceritanya sering diulang-ulang. Nenek biasanya tidur di tengah-tengah, tubuh kami yang kecil mengapit beliau di kanan-kiri. Kadang-kadang kami berebutan agar bisa lebih dekat dengan bibir nenek. Nenek, ibu dari ibu saya itu, memang sangat pintar mesatua(bercerita). Beliau berbakat sebagai dalang.
Itulah ingatan saya di masa kecil tentang mendiang nenek. Sosok wanita yang tak pernah lelah menanamkan nilai budi pekerti kepada kami lewat mesatua. Di jaman moderen ini, tradisi mesatua telah lama ditinggalkan. Anak-anak lebih tertarik berinteraksi dengan mesin pencari di internet daripada ngobrol sama ibu-ibu mereka, karena ibu-ibu mereka juga sibuk dengan google. Tradisi mesatua hanya diam di kepala kami sebagai kenangan lapuk masa kanak-kanak.
Kegiatan mesatua Bali telah ditinggalkan, seiring dengan Bahasa Bali yang mulai ditinggalkan. Generasi muda sekarang banyak yang tidak tahu dan mengerti aksara Bali, termasuk saya…hehehe. Itulah kenapa banyak pemerhati budaya yang kawatir kalau Bahasa dan Aksara Bali bisa punah, seperti fosil-fosil manusia purba yang terkubur bertahun-tahun.
Desa Adat, sebagai garda terdepan untuk melestarikan budaya dan bahasa Bali, diberi mandat. Dalam uraian petunjuk teknis Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa Adat yang bersumber dari alokasi APBD Semesta Berencana, ada program Bulan Bahasa Bali yang wajib diadakan setiap bulan Februari. Tiap desa adat diberi kewenangan mengalokasikan berapa dana untuk kegiatan ini. Tergantung kebutuhan. Dan tiap desa adat juga bebas memilih jenis kegiatan, yang penting masih berhubungan dengan bahasa Bali. Boleh lomba pidato, debat, mendongeng, menulis, yang semuanya dilakukan dalam bahasa Bali.
Kebetulan kami memilih festival Nyurat Aksara Bali dan Lomba Mesatua Bali sebagai tema kegiatan. Festival Nyurat Aksara Bali diikuti anak-anak dari kelas 4 sampai 6 sekolah dasar, dan Lomba Mesatua Bali diikuti 5 orang dari Ibu PKK di lingkungan Desa Adat Kelaci. Tidak terlalu sulit mencari pamilet, peserta festival dan lomba. Tidak kurang dari 24 jam, nama-nama peserta lomba mesatua sudah tercapai 5 orang, jumlah ideal yang sesuai dengan target kami. Dan pamilet festival Nyurat Aksara Bali sudah disanggupi oleh anak-anak secara serempak, yang kami umumkan saat mereka sedang latihan gong di wantilan.
Dengan anggaran 6 juta rupiah, dibantu Pak Putu Oka sebagai penyuluh Bahasa Bali di Desa Marga Dauh Puri, saya belajar menyusun anggaran. Ada hadiah-hadiah menarik dan tentunya berguna untuk Ibu-ibu peserta lomba seperti: dulang tumpuk fiber, bokoran fiber, sokasi dan tempat kwangen. Walaupun harga hadiah-hadiah itu tidak terlalu mahal, yang penting bermanfaat bagi ibu-ibu yang tiap hari berurusan dengan sarana upacara.
Tanggal 23 Februari disepakati untuk mengadakan kegiatan itu. Saat itu hari minggu, sehingga semua panitia dan peserta lomba bisa libur kerja. Tapi kebetulan tanggal itu pas hari ulihan Galungan, sehingga kami harus menggeser waktu kegiatan jadi sore hari, agar-agar ibu-ibu dapat kesempatan menghaturkan banten ulihan dulu di pagi hari.
Undangan-undangan sudah disebar dengan resmi. Kami mendatangkan tiga orang juri, untuk menilai lomba mesatua Bali. Untuk mempercantik panggung, kami tugaskan Pak Bintang. Dengan kepiawaiannya, panggung itu menjadi begitu cantik walaupun dengan biaya yang murah. Suksma Pak Bintang! Sound system kami pinjam dari sekaa teruna. Penampilan panggung menjadi wah. Pak Putu Oka, penyuluh Bahasa Bali yang mengawal acara, pun sempat berdecak kagum.
Pukul 15.00 Wita. Juri dan undangan sudah mulai berdatangan. Bahkan belasan penyuluh Bahasa Bali yang bertugas di seluruh kecamatan di Marga ikut meramaikan. Tapi sungguh di luar dugaan, sampai pukul 15.15 anak-anak putra belum datang ke wantilan. Beberapa anak putri sudah hadir, dan sudah duduk di meja masing-masing. Undangan dan juri sudah lengkap, duduk di meja yang sudah disiapkan. Pak Perbekel Dauh Puri sampai bertanya-tanya kenapa anak-anak cowok belum ada yang datang. Undangan dan juri datang tepat waktu, tapi peserta belum ada. Duh…. bikin malu saja ini.
Semua panitia jadi gelisah. Bendesa Adat langsung ngacir, kemudian datang beberapa menit kemudian dengan wajah merah padam, membawa kabar yang mengejutkan: ternyata anak-anak cowok siap-siap untuk ngelawang Barong Bangkung!
Duh, seperti dugaan, anak-anak jaman sekarang sudah tidak menyukai lagi Bahasa dan Aksara Bali. Padahal ini acara yang begitu resmi. Kami semakin gelisah dan menjadi begitu malu. Kenapa mereka tidak bisa libur ngelawang satu hari saja. Ngelawang itu bagus, tapi acara ini juga sangat penting. Padahal sebelumnya mereka sudah bilang bersedia hadir dengan kompak di wantilan, saat mereka selesai latihan megambel.
Pukul 15.45, satu per satu anak-anak cowok itu hadir. Ekspresi mereka sedikit kecewa karena batal ngelawang. Kemudian duduk di meja yang sudah disiapkan. Biarkanlah mereka sedikit kecewa. Mungkin ini sedikit memaksa mereka, yang penting dengan nyurat aksara Bali ini, ada sedikit yang melekat di bilik ingatan mereka. Walaupun aksara Bali mungkin tidak menarik lagi bagi mereka, setidaknya suatu ketika mereka akan menggunakannya.
Akhirnya pukul 16.00 Wita acara baru bisa dimulai, molor satu jam dari waktu yang sudah ditetapkan. Bersamaan dengan Festival Nyurat Aksara Bali, lomba Mesatue Bali dilangsungkan. Satu per satu pamilet (peserta) naik ke panggung, setelah proses pengundian nomer urut. Sebelumnya peserta yang mendaftar 5 orang, tapi kemudian salah satu mengundurkan diri karena pas datang bulan. Karena acara diadakan di wantilan Pura Puseh lan Desa yang merupakan areal tempat suci, yang kena cuntaka tentu tidak layak untuk masuk.
Dongeng Bali, yang pernah akrab di telinga kami saat masa kanak-kanak dulu, bisa kami dengar kembali di atas panggung, lewat sound system yang bagus yang menghasilkan suara keras dan jernih. Semua peserta betul-betul telah siap. Mungkin mereka telah berlatih berhari-hari dengan sangat serius. Ekspresi, mimik, intonasi suara mereka mirip seperti dalang-dalang yang pentas di Ardha Candra. Ada yang membawakan cerita I Tetani Satya teken Janji, I Sugih teken I Tiwas, I Lutung teken I Kakua dan Ni Tuwung Kuning. Semua cerita yang populer di jaman dulu.
Dengan kegiatan wajib Bulan Bahasa Bali ini, yang diadakan di 1.493 desa adat seluruh Bali, setidaknya bisa menstimulasi agar Bahasa dan Aksara Bali bisa lestari. Terus terang, saya suka sekali mendengar saat di paruman hadirin menggunakan bahasa Bali sor singgih, walau saya tidak mengerti artinya….hehehe. Sungguh, saat dibaca atau diperdengarkan, Bahasa Bali itu sungguh berwibawa dan menggetarkan. Di acara kemarin saya baru tahu arti kata pamilet dan jayanti (juara), kosa kata yang baru saya kenal. Sungguh, kata-kata Bahasa Bali enak didengar. Dan saya berjanji untuk mempelajari bahasa Bali lagi dari nol. Orang Bali yang baru belajar Bahasa Bali, bahasa ibunya…hehehe
Di puncak acara, pemenang lomba Mesatue Bali diumumkan oleh juri. Jayanti 1 diraih oleh Bu Revan. Anak-anak kemudian mengumpulkan hasil Nyurat Aksara. Sungguh, tulisan mereka rapi-rapi. Kalau saja mereka mau serius, belajar Bahasa Bali tidak sesusah belajar Bahasa Inggris atau Bahasa Jepang. Tapi kadung bahasa asing memang lebih tinggi gengsinya.
Yah, selesai sudah tugas kami. Saat wantilan itu sepi, peserta dan undangan sudah pulang, dan kami panitia masih membersihkan wantilan, sayup-sayup terdengar suara gambelan Barong Bangkung. Ternyata anak-anak itu berangkat juga ngelawang walaupun matahari sebentar lagi akan terbenam di langit barat. [T]