Kehidupan religius masyarakat Hindu Bali sangatlah berkaitan erat dengan keberadaan aktivitas seni budaya yang telah mentradisi. Salah satu bentuk seni tradisi yang masih eksis di tengah gempuran arus modernisasi, yaitu ngelawang.
Ngelawang(berasal dari kata lawang yang berarti pintu) dalam bahasa Bali dapat diartikan sebagai pertunjukan keliling dari satu rumah ke rumah lainnya atau dari satu desa ke desa lainnya dengan menggunakan barong sebagai media utamanya dan diiringi gambelan bebarongan. Pertunjukan ini biasanya dilakukan setiap hari raya Galungandan Kuningan.
Awal mula adanya barong disebutkan dalam lontar Barong Swari. Ketika itu diceritakan Betari Umadikutuk oleh Betara Siwa Guru menjadiBetari Durga dengan wujud yang sangat menyeramkan. Saat turun ke dunia, Betari Durga mengacaukan dunia beserta isinya dengan menyebarkan wabah penyakit dan mara bahaya. Melihat kondisi alam semesta yang kacau, Sang Hyang Tri Semaya (Betara Brahma, Betara Wisnu, dan Betara Iswara) kemudian turun ke dunia dengan mengambil wujud menjadi barong, untuk menyelamatkan danmenyucikan alam semesta ini dengan melakukan ngelawang.
Di dalam perkembangannya serta dilihat dari konteks pertunjukannya ngelawangdapat dibedakan menjadi dua, yakni ada yang sakral dan ada pula yang profan. Antara ngelawang yang sakral dengan yang profan tentunya memiliki fungsi, makna, estetika, dan etika yang berbeda.
Ngelawangdalam konteks ritual (sakral) dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang media utamanya menggunakan barong sasuhunan (barong sakral/dikeramatkan yang disungsung di suatu pura) dan oleh masyarakat Hindu Bali dipercayai dapat memberikan keselamatan, berkah, serta kedamaian secara sekala-niskala.
Sedangkan ngelawang yang dilakukan sebagai sebuah aktivitas profan, tujuannya hanya sebagai hiburan atau dijadikan wadah untuk mengumpulkan dana (mendapatkan upah) yang biasanya dilakukan oleh komunitas atau sekaa, dimana media yang digunakan bukanlahbarong sasuhunan.
Desa Adat Tegal
Di Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung, Bali, terdapat sebuah desa yang hingga kini masyarakatnya masih tetap melaksanakan tradisi ngelawang setiap 6 (enam) bulan sekali, tepatnya pada hari raya Galungan dan Kuningan, yakni Desa Adat Tegal. Di desa ini, ngelawang biasanya dilakukan sebanyak 6 (enam) kali, yaitu pada saat hari Galungan, Umanis Galungan, Paing Galungan, Penampahan Kuningan, Kuningan, dan Umanis Kuningan.
Tradisi ini dilakukan secara berkeliling dengan menyusuri seluruh jalan maupun gang (dari satu rumah ke rumah lainnya) yang ada disepanjang wilayah desa. Dalam hal ini, mengingat wilayah Desa Adat Tegal yang cukup luas, ritual ngelawang pun dilakukan secara bertahap mulai dari wilayah desa di bagian utara, selanjutnya ke bagian timur, hingga kemudian ke bagian selatan. Waktu pelaksanaannya biasanya dimulai sekitar pukul 14.30 Wita sampai dengan 18.30 Wita.
Tradisi ngelawang di Desa Adat Tegal merupakan suatu bentuk prosesi ritual tolak bala (sakral) dengan menggunakan barong sasuhunan, untuk menetralisir alam dari pengaruh energi-energi negatif. Barong merupakan perwujudan dari binatang totem atau makhluk mitologis seperti babi hutan (bangkal), macan, lembu, dan sebagainya yang diyakini oleh masyarakat sebagai manifestasi dari para dewa serta memiliki kekuatan magis atau supranatural.
Delapan Barong Sesuhunan
Di desa tersebut terdapat berbagai jenis barong yang di-sungsung oleh masyarakat dan disthanakan di beberapa pura kahyangan desa setempat. Setidaknya terdapat empat jenis barong sesuhunan . Dari empat jenis itu terdapat 8 barong sesuhunan yang digunakan dalam tradisi ngelawang di Desa Adat Tegal
1) Barong Ket, yakni barong yangbentuk wajahnya merupakan perpaduan dari singa, macan, dan lembu. Rambut atau bulunya terbuat dari daun perasok serta dihiasi dengan ukiran dari kulit sapi yang diprada dan ditarikan oleh dua orang;
2) Barong Macan sebanyak 2 barong. Barong macan yakni barong yang wujudnya menyerupai seekor macan dan ditarikan oleh dua orang. Hiasan badannya (wastra) menggunakan (didominasi) kain bercorak loreng (kuning-hitam) seperti corak macan yang dipadukan dengan beberapa motif kain lainnya; .
3) Barong Bangkal atau disebut pula Barong Bangkung, jumlahnya sebanyak 3 barong. Barong bangkal yakni barong yang menyerupai babi hutan dengan hiasan badannya (wastra) terbuat dari kain yang didominasi dengan warna hitam dan putih. Barong ini juga ditarikan oleh dua orang; Barong bangkal ini biasanya ngelawang secara berpasangan dengan barong macan.
4) Barong Landung, satu pasang, atau dua barong, yakni barong berwujud manusia yang dibuat berpasangan, terdiri dari Barong Landung Lanang (Barong Landung Laki-Laki) dan Barong Landung Istri (Barong Landung Perempuan) yang masing-masing ditarikan oleh seorang juru pundut. Barong Landung Lanang memiliki wajah menyeramkan serta warna ataupun hiasannya didominisi warna hitam yang dipadukan dengan wastra kain berwarna poleng (kain bermotif kotak-kotak berwarna hitam, putih, abu-abu). Sedangkan Barong Landung Istri wajahnya menyerupai perempuan cina, dimana warna maupun hiasannya dominan menggunakan warna kuning.
Pada hari-hari yang ditentukan di Hari Galungan dan Kuningan, kedelapan barong ini melakukan ritual ngelawang secara bersamaan, namun dengan rute yang berbeda-beda.
Berkah dan Keselamatan
Masyarakat Desa Adat Tegal mempercayai bahwa, pelaksanaan tradisi ngelawang ini dapat memberikan berkah, keselamatan, serta mampu memproteksi masyarakat desa dari wabah penyakit dan mara bahaya. Pada saat ngelawang,wargamasyarakat desa mempersembahkan sesaji (maturan) berupa canang sari lengkap dengan sesari berupa uang (seikhlasnya) di depan pintu rumahnya masing-masing. Kemudian warga yang menghaturkan sesaji pun diberikan nunas tirta.
Ketika pemangku menghaturkan sesaji tersebut, maka barong sasuhunan itu pun ditarikan. Dapat dirasakan, bahwa ada suasana sakral dan suka cita atau kegembiraan yang terpadu begitu mendalam serta memberi spirit positif di tengah-tengah masyarakat. Warga masyarakat di desa itu, mulai dari anak-anak, remaja, maupun orang tua, baik laki-laki maupun perempuan, selalu dengan penuh antusias mengikuti atau melaksanakan tradisi ngelawang.
Di dalam tradisi ini, tak jarang pula ada anggota masyarakat desa setempat yang menghaturkan persembahan berupa beberapa buah sesajen untuk membayar kaul. Oleh masyarakat setempat disebut nguntap. Persembahan dalam nguntap ini biasanya ditujukan pada salah satu barong sasuhunan dalam tradisi ngelawang dan semua itu tergantung dari doa atau permohonan orang yang berkaul.
Nguntapatau bayar kaul dapat dimaknai sebagai wujud membayar/melunasi janji, misalnya ketika ada seseorang yang berkaul: “Jika ia dapat sembuh dari penyakit atau permohonannya tentang suatu hal dapat terkabul, maka ia akan nguntap”. Kemudian ketika hal tersebut benar-benar telah terwujud, orang tersebut akan segera melunasi janjinya. Persembahan ini biasanya dilaksanakan di depan pintu rumah orang yang berkaul pada saat ngelawang dan dipandu oleh seorang pemangku.
Busana yang digunakan oleh warga saat mengikuti ngelawang, yakni busana adat sembahyang atau pakaian adat ke pura. Orang-orang yang terlibat pada saat ngelawang itu ialah warga masyarakat yang menjadi pangempon/peletandari tiap-tiap pura khayangan desa, tempat bersthananya barong-barong sasuhunan.
Atau bisa juga merupakan warga dari masing-masing banjar yang ada di Desa Adat Tegal, dimana warga dari tiap-tiap banjar tersebut telah dijadwalkan secara bergantian oleh pihak prajuru desa adat untuk dapat ngiring barong sasuhunan ngelawang. Di desa itu terdapat 8 (delapan) banjar yaitu, Banjar Baler Pasar, Banjar Bucu, Banjar Gulingan, Banjar Tengah, Banjar Telanga, Banjar Taman, Banjar Umahanyar, dan Banjar Bersih.
Berdasarkan peraturan adat yang berlaku di wilayah desa itu, ketika ada warga masyarakat (suatu keluarga) yang sedang mengalami cuntaka,sebel karena salah satu anggota keluarganya meninggal, maka tidaklah diperbolehkan untuk mengikuti ngelawang. Daerah atau wilayah jalan yang berada di seputaran rumah keluarga yang mengalami sebel tersebut, juga tidak akan dilalui saat ngelawang.
Aturan tersebut berlaku jika waktu kematian belum lewat dari 12 (dua belas) hari bagi kematian orang dewasa dan 42 (empat puluh dua) hari untuk kematian bayi, yang dihitung mulai dari hari penguburannya. Hal tersebut mengandung makna sebagai suatu upaya untuk tetap menjaga kesucian dan kesakralan dari barong sasuhunan.
Ekspresi Seni
Jika dicermati, tradisi ngelawang sebagai suatu bentuk prosesi ritual dan ungkapan ekspresi seni tidak hanya mengandung nilai-nilai religius maupun spiritual, tetapi juga sarat dengan nilai-nilai sosial dalam menjalani kehidupan. Nilai-nilai sosial yang dapat dipetik dari pelaksanaan ngelawang, yaitu semangat kebersamaan, rasa persaudaraan, solidaritas, dan bekerja sama.
Selain itu, secara tidak langsung melalui tradisi ngelawang, setiap orang yang terlibat di dalamnya (baik terlibat langsung ataupun tidak langsung) dapat saling menjalin keakraban, memupuk rasa perdamain dengan penuh kegembiraan (euforia) lewat keindahan seni yang adiluhung. Semoga eksistensi tradisi ini dapat terus bertumbuh seiring dengan dinamika zaman serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat dihayati dan diaktualisasikan di dalam diri maupun dalam berkehidupan. [T]