Di tengah semarak keberadaan bahasa Bali pasca Pergub 80/2018, terdapat pertanyaan yang mungkin jarang dikemukakan; “Adakah bahasa Bali Aga diberikan panggung bukan dipunggungi?”
Pertanyaan itu muncul dari dosen Sastra Bali Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Putu Eka Guna Yasa, S.S., M.Hum., ketika ia membawakan materi dalam Diskusi Bersama Peradah (DIPA) Bangli #5 dan Workshop Penulisan Puisi Bali Modern di Museum Gunung Api Batur, Batur Tengah, Kintamani, Bangli, Sabtu 15 Februari 2020.
Acara DIPA itu diselenggarakan DPK Peradah Indonesia Bangli bekerjasama dengan Komunitas Bangli Sastra Komala dalam rangka turut menyemarakkan Bulan Bahasa Bali 2020. Acara yang dibuka Kepala Dinas Pendidikan-Pemuda-Olahraga (Dikpora) Bangli, I Nengah Sukarta.
Eka Guna Yasa yang dikenal sebagai akademisi muda asal Selat Tengah, Susut, Bangli itu mengatakan, Bangli dengan geografisnya sedemikian rupa memiliki dua sub dialek besar, yakni bahasa Bali Aga dan bahasa Bali Dataran.
Bahasa Bali dialek Aga berkembang di desa-desa di Penungan Kintamani, seperti di Satra, Satra, Dausa, Bantang, Sukawana, Batur, Songan, Kedisan, Bayung Gede, dan daerah lainnya. Sedangkan bahasa Bali dialek Dataran tersebar di kawasan Bangli dengan pusatnya di Kota Bangli.
Bahasa Bali Aga dinyatakan sebagai kelanjutan bahasa Bali Kuno, sedangkan bahasa Bali Dataran adalah dialek yang lahir dan dipengaruhi oleh masyarakat Majapahit yang datang besar-besaran ke Bali pasca ekspansi Majapahit 1343.
Bahasa Bali Aga memiliki kesejarahan lebih tua dibandingkan bahasa Bali Dataran. Pewarisannya dari bahasa Bali Kuno terlihat seperti penggunaan ‘aku’ yang ditemukan di Satra maupun variasinya berupa ‘ake’ (Songan) dan ‘oke’ (Batur) untuk merujuk orang pertama berasal dari kata ‘aku’ dalam bahasa Bali Kuno yang telah tersurat dalam prasasti-prasasti Bali Kuno. Pengucapan bunyi ‘a’ pada bunyi akhir kata-kata berfonem ‘a’ juga menjadi karakter dari bahasa Bali Aga. Pengucapan ini berbeda dengan dialek Bali Dataran yang mengucapkan kata berakhiran ‘a’ cenderung dengan ‘ə’.
“Di tengah semarak keberadaan bahasa Bali pasca Pergub 80/2018, kita kemudian bertanya, adakah bahasa Bali Aga diberikan panggung, bukan dipunggungi? Ini penting dilestarikan, sebab bahasa adalah cerminan karakter. Bahasa adalah suluh hidup, dan suluh idep (pikiran),” terangnya.
Selain Eka Guna Yasa, dalam diskusi itu dihadirkan juga Direktur Badan Pengelola Pariwisata Batur Unesco Global Geopark, I Gede Wiwin Suyasa untuk memberikan materi, terutama dari sudut pandang geologi dan pariwisata.
Wiwin Suyasa, menilai keanekaragaman dialek itu sangat potensial dikembangkan mendukung status Batur sebagai bagian dari Geopark dunia. “Keragaman bahasa adalah modal besar untuk pariwisata, keunikan ini akan . Makin banyak modal, makin besar peluang dikembangkan,” katanya.
Di tengah potensi besar itu, pihaknya mengakui memang belum ada pemanfaatan daj keterhubungan. “Sebagai contoh cerita Kang Cing We, itu kan cerita besar, yang sejak abad ke-8 sudah eksis, namun hingga saat ini belum terhubung, belum terkumpul,” ucapnya.
Ketua DPK Peradah Indonesia Bangli, I Ketut Eriadi Ariana (Jero Penyarikan Duuran) mengatakan pelestarian bahasa Bali dialek Aga penting dilakukan. Dikatakan, saat ini ada fenomena keengganan menggunakan bahasa Bali dialek Bali Aga. Di tataran pergaulan dialek bahasa ini dipandang kasar, padahal itu adalah kearifan lokal yang memiliki nilai luhur bagi masyarakat pewarisnya.
“Jika ini hilang, akan menghilangkan kebudayaan masyarakat itu pula. Itu sebabnya kami berupaya mengangkat wacana ini ke publik, agar timbul kesadaran bahwa dialek bahasa ini penting sebagai identitas sekaligus potensi yang bisa dikembangkan,” terangnya.
Ketua Panitia, I Nyoman Diana, menyatakan hal senada. Menurutnya bahasa Bali dialek Bangli adalah identitas orang Bangli. “Desa-desa di Bangli memiliki banyak perbedaan bahasa, mulai dari kosakatanya, hingga dialeknya. Orang luar Bangli suka menirunya, sehingga kami berharap hal ini jangan dilupakan, kita jaga sebagai identitas desa atau kekhasan desa,” ucap pemuda asal Desa Songan ini. [T] [*]