Marty Baron, editor baru di Boston Globe bertemu dengan seorang kardinal. Pertemuan itu merupakan undangan dari sang pemimpin gereja.
Salah satu percakapan yang menarik dari pertemuan ini adalah keduanya berbicang soal kegiatan jurnalistik. Kardinal mengajak Marty Baron menjalin kerjasama untuk mengembangkan Kota Boston. Tapi, sayangnya, permintaan itu bertepuk sebelah tangan.
Marty mengatakan, akan lebih baik jika pers menjalankan fungsinya secara independen. Plot ini merupakan bagian dari film Spootlight.
Tayangan tadi rasanya mewakili persitiwa wajib dari seorang wartawan. Dunia pers banyak berubah sejak era sebelum kemerdekaan hingga kini pada era milenial.
Beberapa waktu lalu saya berkesempatan menjadi pembicara dalam diklat jurnalistik yang diselenggarakan oleh kawan-kawan dari Kesatuan Mahasiswa Hindu Indonesia (KMHDI) di Mataram, Lombok.
Saya memberikan materi jurnalistik dasar. Isinya membahas seputar membuat judul, membuat lead atau kepala berita dan elemen berita. Sederhana.
Namun, sebelum memberikan materi ini, saya menanyakan pada peserta siapa yang memiliki keinginan menjadi seorang jurnalis. Ternyata dari 40 orang peserta diklat, hanya 17 orang yang memiliki hasrat menjadi kuli tinta.
Lantas, saya bertanya lagi, apa yang membuat peserta yang masih berstatus mahasiswa ini berminat menjadi jurnalis, jawabnnya beragam. Ada yang mengatakan tertarik pada dunia kewartawanan, ada yang penasaran dengan pekerjaan wartawan dan paling banyak karena pekerjaan wartawan dinilai bebas dan bisa berjalan pada rel idealisme mereka.
Alasan terakhir ini juga saya alami ketika baru mencoba-coba menjadi wartawan. Apalagi saat masih kuliah saya kerap nongkrong bareng dengan rekan pers mahasiswa. Kumpul untuk diskusi lebih tepatnya.
Singkat cerita, saya sampaikan kepada para mahasiwa ini bayangan mereka tentang dunia jurnalistik tidak sepenuhnya benar. Tiap tahun pada peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day, 1 Mei turun ke jalan bersama buruh pabrik berteriak meminta kenaikan upah. Tapi, mungkin masih ada jurnalis yang menganggap pekerjaan ini bisa mengangkat derajatnya karena bisa dekat dengan pejabat.
Saya tekankan pada para mahasiswa ini agar menghindari sikap yang demikian. Karena kelak ketika benar mereka menjadi jurnalis, akan muncul sikap sombong. Sombong, karena merasa bangga dekat dengan pejabat tapi, isi dompet pas-pasan.
Selain persoalan upah, hal lain yang menjadi tantangan seorang wartawan saat ini adalah harus cepat. Kecepatan diperlukan untuk mengimbangi media sosial. Pengalaman saya bekerja dengan sistem model ini adalah kelelahan secara fisik dan pikiran. Secara fisik karena harus menatap layar gawai yang kecil, lelah pikirian yang harus mengimbangi kecepatan media sosial.
Saya juga menyampaikan jika ada ruang redaksi dengan kebijakannya. Saya menyebut ini politik redaksi. Politik redaksi bisa menjadi sangat kejam bagi para wartawan muda, apalagi yang mengusung semangat idealis dan kebebasan.
Saya menceritakan pengalaman saat mulai menjadi wartawan. Ada kebijakan di tempat saya bekerja tidak boleh membuat berita yang menyinggung pemerintah. Kebijakan ini lantaran, akan ada acara dari kantor tempat saya bekerja dan sepenuhnya dibantu oleh pemerintah daerah ini.
Saya cukup syok mengetahui hal ini. Meski akhirnya tidak begitu lama bekerja di tempat tersebut. Belum lagi ada cerita dari seorang teman wartawan. Ia menyebutkan, harus rajin mengunggah berita yang dihasilkan dari tempatnya bekerja pada media sosial pribadinya.
Menurut kawan saya ini, hal tersebut tidak masuk akal. Ia menilai media sosialnya mutlak adalah miliknya sendiri. Saya juga menilai seperti itu. Unggahan di media sosial secara masif dilakukan oleh perusahaan media agar klikbait sehingga menaikkan peringkat di Google sehingga mendapatkan uang lebih banyak. Singkatnya, lebih banyak klik, lebih banyak uang.
Selain cerita dari saya, para peserta juga ada yang mengungkapkan unek-uneknya melihat dunia jurnalistik. Ada yang menarik, lebih tepatnya saya ingat.Ada yang mengeluh dengan prilaku wartawan yang melakukan tindak pemerasan. Cerita ini saya dapat dari mahasiswi yang berasal dari Lampung.
Ia menyebutkan, ada segerombolan wartawan atau lebih tepatnya mengaku wartawan merusak jalan desa yang baru diaspal. Lantas kerusakan tersebut mereka foto. Para pengaku wartawan ini kemudian mendatangi rumah warga atau pengurus desa dan mengancam akan menayangkan foto tersebut jika mereka tidak diberikan uang.
Ini kriminal, kata saya. Saya menyarankan agar warga mendapatkan pengetahuan yang benar tentang pekerjaan wartawan. Ajak organisasi wartawan semisal, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) atau Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Saya berpesan kepada peserta diklat jurnalistik ini agar lebih menimbang-nimbang lebih dalam keinginan berkarir sebagai wartawan. Pilihlah tempat bekerja yang bisa memberikan penghasilan memadai dan bisa membuat berkembang secara karya jurnalistik.
Selain itu, pekerjaan wartawan bisa dilakoni dengan baik dan mumpuni, jika anda memiliki latar belakang ekonomi keluarga yang bagus. Dalam artian bisa menunjang pekerjaan anda.
Sehingga saat melakoni pekerjaan wartawan, ada tidak akan tergoda oleh bujuk rayu imbalan di luar hak anda. Simpelnya saya menyebut amplop, atau ajakan untuk kompromi seperti yang dialami oleh Marty Baron.
Soal amplop ini, saya kira aliansi atau perkumpulan pers hingga pemerintah di Indonesia belum memiliki solusinya. Percayalah.
Jadi, untuk siapa sebenarnya peringatan Hari Pers Nasional?
Ketika persoalan menjadi jurnalis mulai dari upah hingga beban kerja yang tidak selesai dibahas, atau itu-itu saja.
Kapan basa-basi ini berakhir? [T]