- Judul : Politik Kasur, Dengkur & Kubur
- Penulis : I Made Suarbawa
- Penerbit : Mahima Institute Indonesia
- Cetakan Pertama: Oktober 2019
Saya mengenal Made Suarbawa dari beberapa pertemuan yang entah bisa disebut sengaja atau tidak. Tetapi, pertemuan itu tidak banyak memberitahu saya mengenai dirinya. Setiap bertemu, obrolan kami hanya seputar kegiatan masing-masing, tak pernah sampai pada hal personal yang mengakrabkan. Sedikit yang saya tahu, Birus (Panggilan I Made Suarbawa) aktif di Minikino dan berasal dari Jembrana yang kemudian tinggal di Denpasar. Barangkali, jalan mengenalnya secara lebih dalam tidak melalui pertemuan semacam itu.
Benar saja, ketika membaca kumpulan cerpen Politik Dengkur, Kasur dan Kubur karya I Made Suarbawa, saya merasa lebih dekat dengan kehidupannya. Awalnya, saya pasrah sebab tak berhasil menghilangkan bayangan penulis ketika membaca, pasalnya, ia selalu saja hadir sebagai bayang-bayang tokoh. Atau memang latar belakang yang saya ketahui secara minim itu masuk dalam cerita-cerita Made Suarbawa?
Belakangan, semakin sering pula saya bertemu dengan Made Suarbawa, pada acara sastra dan teater khususnya. Setiap saya bertemu dengannya, ia jarang sendiri, paling tidak ada seorang anak gadisnya yang bernama Puspa, bersama istri, atau bertiga. Di tengah ingatan ini melintas, saya berpikir barangkali inilah yang membuat tokoh-tokoh dalam cerpen dihadiri sosok penulis, sebab sebagian besar cerpen yang dimuat dalam buku Politik Dengkur, Kasur dan Kubur memilih tema keluarga.
Setelah putus asa karena kegagalan menghilangkan Made Suarbawa, saya justru membiarkannya hidup sebagi tokoh, sehingga setelah cerpen selesai saya baca, saya mengambil sebuah kesimpulan, Made Suarbawa/Birus sangat Romantis. Hal ini jelas saya lihat dalam beberapa cerpennya. “Kopi pagi” misalnya yang mengisahkan seorang lelaki yang berkelahi dengan istrinya hanya karena persoalan kopi. Permasalahan dibuat semakin besar hingga tokoh dibuat frustasi.
Cerita ini mengingatkan saya dengan alasan seorang eksistensialis prancis, Jean Paul Sartre yang memutuskan tidak menikahi kekasihnya Simone de Beauvoir karena beranggapan pernikahan kelak menciptakan penindasan. Sepemahaman saya, Sartre adalah seorang pesimis sehingga istilah absurd banyak digunakan karena ketiadaan Tuhan. Bedanya, lelaki dan perempuan dalam cerpen Made Suarbawa akhirnya menyelesaikan masalah di dalam diri kemudian perlahan saling menerima satu sama lain. Benarkah kedua tokoh itu bahagia setelah bertengkar hebat hanya gara-gara kopi dan meredamnya dalam diri? Saya pikir, Made Suarbawa menyelamatkan kedua tokohnya dengan keyakinan yang berbalik dengan Sartre.
Cerpen ini membuat saya sadar, konflik harus dipelihara untuk menggelitik pikiran, untuk merenung, maka cerpen bisa menjadi sebuah teks nakal yang membangunkan pembaca/ penulisnya dari nyaman itu sendiri. Bayangkanlah rumah tangga yang adem ayem. Tak pernah terjadi perdebatan, begitu datar sehingga hanya menunggu kematian salah seorang dari pasangan itu. Maka, buatlah cerpen dan berkonfliklah dalam tulisan itu seperti yang dilakukan Made Suarbawa.
Awalnya, saya sangat sinis dengan judul buku ini. Sebab penulis dengan gamblang memilih judul dengan kata “Politik” yang saya sendiri kurang minati. Salah satu alasannya mungkin, karena saya ingin lebih mengenal penulisnya, sementara pembicaraan politik dalam pikiran saya benar-benar terkontaminasi dengan jarak yang sangat jauh, melayang di ketinggian yang tidak terjangkau, padahal itu pun belum tentu benar.
Rupa-rupanya, tebakan saya salah besar. Melalui kumpulan cerpen Made Suarbawa ini saya justru lebih mengenal penulis. Ia benar romantis, tetapi bukan romantis seperti cinta bergaya klise ala remaja. Cobalah buka beberapa halaman lain dan lihat judul cerpen-cerpennya. Tidak semua bercerita tentang cinta antara lelaki perempuan.
Made Suarbawa begitu romantis dalam artian yang berbeda, hal itu juga saya lihat dari caranya menyampaikan cerita. Pada cerita pendek yang berjudul “Kisah Peniup Seruling” misalnya, Saya membaca cerita itu seperti menonton orang yang sedang mendongeng.
Dongeng barangkali memang sudah berjarak dengan kehidupan hari ini. Barangkali hanya beberapa orang tua yang masih melakukan itu. Meski saya menyangsikan pula kebenaran tersebut. Nampaknya Made Birus terkenang kuat akan masa-masa orang tua mendongengi anaknya, sehingga dia mengajak pembaca untuk mengenang masa lalu penulis. Bukankah kenangan semacam itu adalah salah satu ciri romantisme itu sendiri?
Pada beberapa cerita dalam kumpulan ini cukup berhasil menggiring saya untuk memilih sebuah sikap. Seperti esai saya pikir, kadang seperti dongeng pula. Tetapi hal ini menarik sebab suarbawa mengingatkan pembaca yang kadang lupa menarik pengalaman terhayati. Memang bukan suatu keharusan, tetapi hal itu bisa menjadi pilihan, bukan?
Itu saya pikir adalah konsekuensi dari konsistensi Made Birus sebagai seorang yang romantis itu. Seperti mendengar ayah, atau kakek mendongeng dengan pesan-pesan yang bisa kita tebak dan kita jadikan pelajaran. Cerita yang tidak hanya berlalu sebagai sebuah keindahan. Tetapi, romantic bukan? Benar-benar lelaki yang romantis [T]