Cinta, sebuah kata yang tiada jelas rupanya, tapi jadi jelas ketika ada yang berkhianat.
Wujud rupanya: Cekcok mulut, adu jotos, video mesum tersebar, gantung diri, dan seterusnya, bahkan buang bayi di tong sampah atau di selokan.
Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak Daerah (KPPAD) Bali, sepanjang 2017-2019 ada 40 kasus pembuangan bayi baik masih hidup maupun meninggal dunia.
Sosmed dan koran digemparkan dengan berita seorang doktor gantung diri dua bulan lalu. Baru terlupakan sejenak berita doktor gantung diri tersebut, kembali media di Bali digempar oleh berita dokter muda gantung diri bulan ini. Di luar kisah doktor dan dokter tersebut, banyak peristiwa gantung diri di Bali yang tidak menyedot perhatian publik. Gantung diri, seakan-akan, hal biasa saja. Seperti kematian biasa saja.
Seandainya ada Komisi Perlindungan Cinta dan Kesetiaan Bali, kira-kira berapa kasus tercatat perselingkuhan, dan lain-lain, dan sejenisnya, yang berujung bunuh diri, cekcok, pembuangan bayi dan pengguguran kandungan?
Lalu, pertanyaannya: Apa perspektif kultural dan kepercayaan masyarakat Bali terhadap selingkuh, bunuh diri, buang anak?
Jawabnya:Cuntaka, cemer, leteh, sebel.
Cuntaka sama dengan cemer atau letuh (leteh) atau sebel. Semuanya berarti ‘ternoda kesucian sekala-niskala’.
Pesamuhan Agung PHDP Nomor 015/Tap/PA.PHDP/1984 menyebutkan istilah cuntakabermakna suatu keadaan kotor (tidak suci) baik akibat dari kematian maupun hal-hal lain yang dipandang kotor.
Apa saja hal-hal yang dipandang kotor dalam perspektif kepercayaan masyarakat Hindu di Bali?
1. Keguguran kandungan di bawah 6 bulan termasuk dalam cuntaka yang disamakan dengan cuntaka datang bulan. Keguguran kandungan di atas umur enam bulan atau berupa bayi, ‘cuntaka penuh’ yaitu kematian bayi sebelumkepus puser.
2. Cuntakadari datang bulan yang umum terjadi pada wanita normal.
3. Upakara pernikahan dipandang membawa cuntaka dialami oleh kedua mempelai. Tidak cuntaka setelah dibersihkan dengan upacara pabersihan.
4. Cuntaka mitra ngalang, yaitu semua hubungan seks di luar pernikahan. Dari kategori ini perselingkuhan dan semua hubungan di luar pernikahan adalah pembawa cuntakapada desa dan membawa pulau cemer.
5. Cuntakaakibat agamya-gamana, yaitu hubungan seks menyimpang. Seks antara anak dengan orang tua, atau termasuk juga hubungan seks antara saudara kandung, serta perilaku menyimpang lainnya.
6. Cuntaka salah-gamya-gama khusus pada leteh atau kekotoran sekala-niskala akibat manusia melakukan hubungan seks dengan binatang. Dipercaya sebagai ciri dari rusaknya ketidakseimbangan alam. Pabersihan sekala niskala wajib dilakukan oleh desa dan kawasan cuntaka.
7. Cuntakaakibat kehamilan di luar pernikahan, atau banyi lahir tanpa upakara pernikahan orang tuanya, dan lahir anak babinyat adalah cuntaka yang dipandang mengganggu keharmonisan alam dan tatanan desa dan pulau.
8. Semua tindakan sad atetayi atau enam pembunuhan sadis, membawa cuntakabesar pada lingkungan dan pulau:
– Agnida : membakar milik orang lain dan juga membakar orang lain.
– Wisada : meracuni orang lain.
– Atharwa : melakukan ilmu hitam untuk membunuh orang lain.
– Sastraghna : mengamuk sehingga menyebabkan kematian orang lain.
– Dratikrama : memperkosa sehingga membuat orang lain kehilangan kehormatan.
– Rajapisuna : suka memfitnah sampai mengakibatkan kematian orang.
9. Penderita sakit kelainan atau ila (gila) sampai merusak pura, ngamuk, dan menggangu ketertiban membawa konsekwensi cuntaka (leteh) dan perlu disucikan oleh penduduk setempat.
Kalau kita lihat garis besar peristiwa yang menyebabkan cuntaka hampir ke semua akibat ulah manusia yang melibatkan nafsu.
10. Cuntakakarena ada ulahpati (kematian tidak normal/wajar) seperti gantung diri atau kasus bunuh diri lainnya.
11. Cuntaka brunaha yaitu membunuh bayi. Brunaha ada sumber petaka membawa ketidakseimbangan kosmik dan sangat besar disebutkan dosa pelakunya, juga berdampak pada hilangnya kesucian sekitar yang tidak kecil.
Berbagai jenis cuntaka lain masih secara detail tidak akan saya masukkan di sini. Daftar tersebut di atas sudah cukup menjadi gambaran umum.
Nafsu tak terkendali.
Nafsu salah alamat.
Nasfu pengerusakan.
Apakahcuntaka itu, di baliknya pertimbangan niskalanya, ada idea untuk meregulasi nafsu manusia agar tercipta tatanan?
Jadi bukan cinta yang hendak diregulasi tapi nafsu?
Nafsu yang berhamburan tiada kendali membawa kedukaan dan suasana sekala-niskala tidak seimbang? Kosmik dalam ketidakseimbangan?
Jika tabel kecil penyebab cuntaka tersebut di atas dijadikan tolak ukur melihat pulau Bali, apakah ada mekanisme untuk melakukan cek terhadap semua pasangan yang menginap di hotel-hotel di Bali?
Adakah siap dan berani memastikan bahwa hotelnya adalah “hotel sukla” yang tidak menfasilitasi cuntaka karena ada ribuan pasangan bukan suami-istri yang menginap di hotel di Bali?
Bagaimana dengan gantung diri di hotel atau di wilayah Bali yang terjadi di hotel atau di wilayah tertentu? Siapa bertanggungjawab melakukan ruwatan penyucian? Pihak hotel atau desanya ikut kena cuntaka?
Seingat saya kalau ada kematian di desa saya, desa ikut sebel. Jika ditemukan bayi terbuang dan meninggal di got, pasar, sungai, pantai, atau tempat lainnya, siapa yang melakukan resik-ruwat-pabersihan kawasan?
Membuka diri pada pariwisata, jika memperhatikan tabel cuntaka dan kesimpulan yang diberikan oleh parisada 1984, banyak hal harus dipertimbangkan kembali jika melihat pulau Bali dari segi niskala, atau tinjauan keagamaan.
Ketika saya masih kecil, jika saya tidak salah ingat, saya bertemu orang yang tidak mau mengontrakkan tanahnya kalau dijadikan kos-kosan. Katanya, kos-kosan tidak bisa kita awasi siapa bermalam dan siapa pasangan sah dan tidak. Orang tersebut merasa takut kalau membuka kos-kosan akan ikut berkontribusi pada cemer-letehpada desa dan pulau Bali.
Susah sekali memikirkan Pulau Bali ini kalau serius mempelajari pertimbangan niskala?
Ya susah, katanya. Tapi juga ada jalan keluarnya: Upakara diperbanyak. Kata teman lainnya.
Di masa kecil saya hanya melongo mendampingi banyak percakapan generasi kakek dan ayah saya yang pemangku dengan kawan-kawannya yang lingkarnya juga pemangku serta sulinggih. Mereka sibuk sekali mencoba menimbang agar pulau ini tidak jadi pulau cuntaka. Agar tetap ada keseimbangan niskala dan sekala.
Dalam pandangan pemangku-pemangku yang menjadi tempat saya belajar mendengar di masa kecil saya belajar banyak tentang ritual caru prayascita, caru mancasata, dan seterusnya. Semuanya usaha menghalau semua cemer-cuntakadi atas pulau ini.
Pada persiapan pangeresik, pecaruan, pangrupukan, dan caru penyepian para pemangku sangat berdedikasi menjalaninya dengan laku yang serius. Mendalam, bukan sekedar prilaku laku simbolik. Mereka melakukan persiapan dengan brata puasa dan pabersihan diri. Masyarakat awam mungkin ada yang berpikir bahwa pacaru dan prayascita adalah upakara simbolik sebatas seremonial. Tapi buat pemangku atau sulinggih, persiapan batinnya sangat serius.
Tawur, carudan pangrupukan dan lain-lain adalah kegiatan yang sangat serius sebagaimana persiapan ngereh atau nglekas. Ini adalah kegiatan white-magic (magi putih) yang bertujuan untuk purifikasi atau penyucian jagat niskala. Semua dilakukan dan dipersiapkan dengan serius, kalau tidak, pulau ini akan menjadi pulau cuntaka. Demikian kesadaran mereka.
Bergaul dan tumbuh di kalangan pemangku sulinggih yang ortodok, saya berkesempatan melihat dunia dari sudut pandang mereka, bahwa pulau Bali punya potensi besar jadi pulau cuntaka jika tidak hati-hati merawatnya.
Selingkuh, gantung diri, buang bayi, bukan hanya hentakan ketidak-seimbang sosial, tapi dari kaca mata para sulinggih, peristiwa-peristiwa tersebut adalah hentakan niskala yang berakumulasi untuk memporandakan keseimbangan kosmik. [T]