Sekitar sebulan lalu, sepasang suami istri datang berkonsultasi ke ruang praktek saya di poliklinik penyakit dalam, RSU Kerthausada, Singaraja. Keduanya tampak sehat namun terlihat agak sedih. Begitu duduk, si suami menunjukkan dua lembar hasil pemeriksaan medis mereka. Saat saya periksa, pantaslah mereka sedih dan kecewa, keduanya adalah raja singa. Predikat raja yang ini justru telah membuat laki-laki itu batal berangkat bekerja sebagai TKI dan istrinya pun ikut didaulat menjadi raja, bukannya seorang permaisuri. Karena ini memang bukan raja yang sebenarnya, namun raja fiktif dalam dunia kedokteran yang merupakan istilah lain untuk penyakit sifilis.
Saya belum menemukan mengapa penyakit sifilis dijuluki raja singa. Jika dikaitkan bahwa penyakit ini ditularkan melalui kontak seksual tak aman (unsafe sex), sepertinya cukup masuk akal mengingat prilaku seksual seekor singa jantan yang boleh kita sebut ugal-ugalan. Seekor singa jantan, akan menjadi pemimpin sekawanan singa saat telah mengalahkan singa jantan lain yag sebelumnya adalah pemimpin (raja) mereka.
Menjadi pemimpin berarti juga menguasai semua betina janda, baik permaisuri maupun para selir raja sebelumnya. Bahkan jika salah satu betina belum pulih gairah seksnya lantaran masih menyusui anak-anaknya yang masih mungil, raja singa yang baru tak perlu ragu-ragu untuk membantai semua anak-anak tak berdosa itu. Dengan begitu, induknya kemudian dapat kembali menikmati seks, bergiliran dengan betina-betina lain yang dipoligami oleh sang raja. Seekor raja dapat bersenggama sampai 40 kali dalam sehari, jika ini dilakukan oleh manusia maka ia berisiko tertular penyakit kelamin, juga sangat mungkin serangan jantung.
Sifilis adalah penyakit infeksi menular seksual yang disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum. Rute utama penularannya melalui kontak seksual, infeksi ini juga dapat ditularkan dari ibu ke janin selama kehamilan atau saat kelahiran, yang menyebabkan terjadinya sifilis kongenital.
Mengapa pasien saya diatas tampak sehat-sehat saja? Karena mereka termasuk pasien pada fase laten, artinya tubuhnya telah terinfeksi kuman sifilis namun itu tak memberi keluhan apapun. Status infeksi hanya diketahui dengan melakukan pemeriksaan darah, yang merupakan satu prosedur rutin bagi mereka yang hendak bekerja ke luar negeri.
Jika penyakit ini telah memberi keluhan dan gejala, spektrum penyakit ini akan menunjukkan berbagai fase, mulai dari luka yang tak nyeri pada alat kelamin tempat masuknya kuman, selanjutnya infeksi dapat meluas ke kulit dan akhirnya menyerang sistem saraf. Seseorang yang saat ini berada pada fase laten, pada suatu saat akan menunjukkan keluhan dan gejala jika daya tahan tubuhnya menurun. Oleh karena itulah pasien seperti ini harus mendapatkan saran pengobatan dari seorang dokter spesialis kulit dan kelamin.
Jika fase laten pada kasus raja singa, adalah nyata terdapat penyakit namun tak disadari, saat ini dalam masyarakat kita, yang terjadi justru sebaliknya. Yaitu, tak nyata ada kerajaan namun banyak yang merasa menjadi raja. Ini sebuah perbedaan di antara keduanya. Persamaan di antara keduanya tentu juga ada. Pertama, keduanya membuat orang-orang menjadi resah, kecuali mereka yang dapat dengan kalem menganggap fenomena munculnya raja-raja ini sebagai lelucon dan candaan belaka.
Namun faktanya, banyak elemen masyarakat yang keberatan dan merepotkan aparat hukum karena berbagai laporan yuridis yang mereka ajukan. Kedua, persamaan lainnya adalah kedua fenomena ini sebetulnya sudah lama dianggap hilang. Kasus sifilis atau raja singa saat ini sudah sangat jarang dijumpai, ini dapat terkait dengan pengetahuan dan kesadaran yang sudah lebih baik dalam aspek pencegahan penularannya. Demikian juga eksistensi raja dan kerajaan (monarki) yang di era modern ini kian tergusur oleh sistem demokrasi. Membuat isu lahirnya raja-raja baru menjadi kurang diminati, sebaliknya justru tak jarang mendapat cemooh.
Kembali pada sifilis, penyakit ini memiliki masa lalu yang cukup mengesankan. Oleh seorang dokter sekaligus penyair berkebangsaan Italia, Girolamo Fracastoro, istilah sifilis pertama kali digunakan sebagai judul sebuah puisinya yang menggambarkan kerusakan akibat penyakit sifilis di Italia. Sudah menjadi hal lumrah pada abad pertengahan, seseorang dapat menjadi ilmuwan sekaligus seniman. Tentu ini mengingatkan kita pada seorang jenius sepanjang sejarah, Leonardo da Vinci yang juga dapat menyeimbangkan belahan otak kanan yang seni dan otak kiri yang ilmiah. Sebelum punya nama sifilis, penyakit ini disebut sebagai French Disease, disebabkan karena sebuah kejadian luar biasa penularan raja singa oleh prajurit Prancis yang menginvasi Italia sekitar tahun 1494-1495.
Romantika selanjutnya adalah, saat bergejolak perang Vietnam antara tahun 1957-1975, penyakit yang sama diberikan nama sebagai Vietnam Rose. Ini terjadi lantaran kontak seksual yang sangat bebas dan tak aman di kalangan prajurit Amerika Serikat bergelora syahwatnya dengan gadis-gadis Vietnam yang menggoda. Dan jika diperhatikan, salah satu gejala yang ditimbulkan penyakit ini adalah bercak-bercak (ruam) kemerahan pada kulit yang sekilas nampak seperti warna bunga mawar.
Dalam novel terkenal karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, penyakit ini pun diceritakan, dan mirip dengan prajurit AS, penderitanya pun mewakili entitas kaum kuat penguasa yang takluk oleh seks. Dikisahkan salah seorang tokoh antagonis, tuan Herman Mellema, seorang penjajah yang kerap datang ke rumah bordir (pelacuran) yang dimiliki seorang keturunan Tionghoa, Ah Tjhong. Di sanalah ia tertular penyakit raja singa yang kemudian membuat hidupnya suram.
Jelas sudah, baik raja singa, raja fiktif di bidang kedokteran maupun raja-raja khayal yang tiba-tiba muncul belakangan ini, keduanya bisa membuat kegaduhan. Demi kesehatan kita semua, baik kesehatan fisik dan mental, ada baiknya kita tak berurusan dengan kedua model raja ini! [T]