Tiada terkira bingungnya Yama, sang dewa penghakim. Tanpa diduga, Bhatara Siwa yang agung menurunkan sekompi Gana Bala untuk menjemput roh Lubdaka untuk diantarkan ke Siwaloka. Atas perintah Siwa, Lubdaka yang pembunuh itu berhak menghuni Siwalaya karena pernah berbuat pahala mulia pada suatu malam tergelap.
Yama tak terima. Sembari memerintahkan para Kingkara membuat pagar betis, ia mengecek catatan hidup-mati yang dicatat secara teliti oleh sekretaris Yamaloka, Suratma. Berulang kali dibulak-balik lontar usang itu, guratnya tiada menunjukkan kebohongan. Dalam catatannya Lubdaka adalah pendosa. Dia seorang pembunuh! Sebagai pemburu, ia telah memotong ribuan nafas mahkluk hutan para abdi Pasupati.
***
Demikian kisah yang tersurat dalam Kakawin Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung. Kisahnya lebih lanjut tak perlu saya ceritakan kembali. Intelektual yang sekiranya membaca catatan ini saya yakini telah mengetahui akar-tunas dari kisah Lubdaka. Tak perlu diuraikan bagaimana gemuruh para Ganabala menghujam Kingkarabala. Mari berimajinasi latar perangnya. Meskipun saya yakin dan percaya, peperangan antara bala tentara Siwa dan bala tentara Yama tidak lebih kejam dari kedua perang dunia atau gerakan-gerakan genosida yang didasari hanya karena perbedaan pandangan, bangsa, apalagi agama.
Tampaknya kita tidak perlu juga mendiskusikan hal-hal yang terjadi setelah “tabungan pahala” Lubdaka habis di Siwaloka. Akan perlu waktu yang lama jua jika kita bersikeras berdebat soal sebab-musabab Lubdaka begitu beruntung. Ketidaksengajaannya begadang di malam yang sama sekali tidak ia ketahui sebagai yoga Siwa membuatnya terhindar [untuk sementara?] dari siksa api neraka yang konon begitu panas.
Intinya, para pembaca barangkali sepakat, Lubdaka adalah seorang nisada tercela yang beruntung. Ketidaktahuannya tentang sastra dan upacara ini dan itu, termasuk waktu baik-buruk dapat membuatnya tidur nyenyak di keraton Siwa. Lalu, apa gunanya pembacaan dan laku-laku yang selama ini kita lakukan? Berdebat soal ideologi, sastra, agama ini dan itu. Kita telah beribadah dan mengasah ritus begini dan begitu, namun tiada sekali pun pernah bertemu Siwa. Termasuk ketika saya menulis atau pun pembaca membaca tulisan ini. Tidak ada janji dan jaminan Siwa akan nyekala. Jatuh dari langit sebagaimana ikonografi arca-arca yang terabadikan di Candi Siwa Prambanan.
Kita hanya mencoba mendiskusikan catatan-catatan terpinggirkan dari Siwaratrikalpa. Siapa tahu bisa digunakan sebagai “camilan” melakoni Siwaratri. Semoga tiada picik yang menyelimuti.
“Kadewan-dewan”
Istilah kadewan–dewan lumrah di Bali. Frasa ini merujuk pada orang atau prilaku yang terlalu berlebihan berhubungan dengan alam niskala yang abstrak. Hobinya tirta yatra, sedikit-sedikit karauhan, penampangnya berambut panjang atau maprucut. Berpakaian poleng atau keseluruhan putih, lengkap dengan kalung dan gelang rudraksa aneka mukhi melilit di leher dan tangan kanan-kirinya. Sekarang, banyak pula golongan ini yang ke sana-sini membawa tongkat komando. Entah apa wujud pasukan yang dipimpinnya.
Kadewan-dewanmenjadi [hanya] salah satu ciri teks sastra tradisional. Entah ideologi pengarangnya yang sedemikian rupa, atau pembacanya yang salah membaca. Atau jangan-jangan, kita yang selama ini salah menafsir simbol? Entahlah, yang jelas hal-hal rohaniah seringkali menjadi sajian utama teks tradisional, termasuk dalam Kakawin Siwaratrikalpa.
Kakawin Siwaratrikalpa di Bali [dan Indonesia] dijadikan rujukan utama pelaksanaan Hari Suci Siwaratri yang diperingati umat Hindu setiap panglong ping 14 Sasih Kapitu dalam penanggalan Saka. Konon, malam itu adalah malam Siwa, sehingga umat Hindu patut melaksanakan jagra (tidak tidur) untuk mendapat anugerah Siwa yang murni.
Dalam panggung sastra Jawa Kuno, Kakawin Siwaratrikalpa menjadi pusat perhatian sejumlah peneliti tersohor. Saking menariknya, diskusi panjang telah dibangun hanya terkait masa penulisannya. Krom berpendapat karya sastra ini ditulis pada masa Singasari, sebab ditemukan nama Girindrawangśaja dalam manggala Siwaratrikalpa. Poerbatjaraka sepakat, ia menduga kakawin ini diadakan sebagai upaya menyenangkan hati Ken Arok. Di sisi lain, R. Friederich yang melandasi dirinya dengan tradisi kesastraan Bali berpendapat teks ini sebagai hasil gubahan zaman Kediri. Menurutnya, Tanakung adalah putra Mpu Rajakusuma.
Sementara itu, A. Teeuw dan P.J. Zoetmulder berpendapat bahwa Kakawin Siwaratrikalpa ditulis pada masa Majapahit akhir. Landasan Zoetmulder adalah Prasasti Waringin Pitu (1447 Masehi) dan Prasasti Pamintihan (1473 Masehi) yang dikeluarkan Singha Wikrama atau Suraprabhawa, yang namanya disebut dalam manggala Śiwaratrikalpa. Sejalan dengan itu, A. Teeuw yang mengamati bahasa kakawintersebut dan menyimpulkan bahwa bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa antara tahun 1466-1478 Masehi (lihat Agastia, 2002).
Jika perdebatan panjang tersulut hanya karena tahun penggubahannya, maka bukan hal yang mengagetkan jika tafsir-tafsir terhadap isi teks hadir sangat beragam. Teks adalah simbol-simbol kata, ia tidak akan habis untuk dikupas dan dikupas kembali. Setiap orang pun berhak atas tafsir-tafsirnya, termasuk melihat sisi-sisi lebih realistis yang disajikan Siwaratrikalpa.
Gagasan Terpinggir
Jika membaca Kakawin Siwaratrikalpa secara “lugu”, kita akan menemukan sejumlah bahasan yang sangat realistis. Gagasan-gagasan pendobrakan atas tradisi feodal dan kepekaan terhadap lingkungan menjadi dua gagasan yang cukup kentara. Selama ini keduanya tampak terpinggir, sebab kalah tenar dengan gagasan religius yang lebih besar tentang Siwaratri.
Kakawin Siwaratrikalpa adalah mahakarya unik. Jalan kreatif yang ditempuh Tanakung adalah pendobrakan atas kebiasaan kesastraan pada zamannya. Entah ia lahir di zaman Kediri, Singasari, maupun Majapahit akhir, karya sastra yang berlatar tokoh luar istana sangat sedikit ditemukan.
Kita memang tak dapat memastikan apakah Siwaratrikalpa terinspirasi dari suatu teks lain yang lebih tua atau jangan-jangan ada teks sejenis yang hidup di masa itu, namun tidak sampai kepada kita. Namun, yang pasti, teks ini sangat berbeda dari pilihan tokohnya. Rata-rata, teks di zamannya berlatar pada tokoh-tokoh istana –ksatria, brahmana, dan orang terpandang lainnya. Sebagian teks yang kita warisi menyajikan gerak-gerik tokoh yang eksis dalam perut epos agung Mahabarata dan Ramayana. Pun ada kisah-kisah lain, rata-rata mengisahkan petualangan raja-raja di zamannya atau kisah para dewa.
Tanakung, seorang kawitanpa cinta, tampak hadir melampaui masanya. Ia menerobos ruang feodal yang sampai sekarang –di zaman penghormatan humanisme di atas segala-galanya— masih dianut dan dibangga-banggakan sejumlah orang. Jika Tanakung masih hidup di tahun 2020, dia mungkin akan tertawa cekikikan melihat fenomena dan klaim Keraton Agung Sejagat, Sunda Empire, Majapahit Cabang Bali, atau Majapahit yang terpusat di Bungkulan.
Pada bilah lainnya, Tanakung tampaknya adalah pemerhati lingkungan yang peka. Cobalah perhatikan bait-bait awal kakawin yang dibangun 231 bait dalam 39 wirama itu. Antara wirama II dan III misalnya, tepatnya ketika Tanakung menggambarkan perjalanan Lubdaka masuk hutan. Di sana kita akan disajikan berbagai pemandangan alam yang tak lagi harmonis.
Pada bait-bait itu ia menyebut ada balai-balai yang tampak asri, namun atapnya telah lapuk (nyāśanyārja tinon hatêp rahab i raŋkaŋnyālamuk katruhan—Wirama II.5). Penggambaran ini disajikan bersanding dengan keindahan alam yang mungkin jika dibayangkan di era ini sangat menggugah rasa.
Tanakung semakin tegas menyampaikan kondisi lingkungan yang tak harmonis pada bait selanjutnya. Pada wirama III.4 ia menyatakan banyaknya bangunan yang telah rusak, saluran air yang telah tersumbat, tanaman yang tak lagi asri, termasuk keberingasan kumbang yang merusak dan menggugurkan bunga kemuning (akweh nyāśa huwus rusak sahananiŋ katutupan ndatan hili, maŋkāŋ bwat rawi sopacāra nika purwaka sama-sama tan kadiŋ lagi, tistis tan hana wurya-wuryaniŋ umampira ri nata-natar nikāsamun, kĕmbaŋ niŋ kemuniŋ ruru manarasah sumawur inupĕtiŋ madhubrata).
Mengapa kondisi-kondisi itu digambarkan Tanakung di dalam mahakaryanya yang konon ditujukan untuk sarana pemujaan pada Siwa? Memang, Zoetmulder (1985) pernah menyatakan bahwa dalam khazanah teks Jawa Kuno penggambaran alam ada kalanya didasari kemiripan alam dengan sifat manusiawi, sehingga mungkin saja penggambaran itu adalah simbol bagi manusia itu sendiri. Di sisi lain, kita tampaknya juga tak adil jika melupakan kodrat dasar manusia sebagai bagian dari ekosistem. Sehingga, dalam ranah kesastraan turut merekam kondisi lingkungan.
Sampai di sini, saya tak lagi dapat membaca, apalagi menafsir. Apakah kita terlampau senang beromantisme dengan hal abstrak hingga melupakan realitas? Masih pantaskah kita melakukan pemujaan ini dan itu sembari abai terhadap realitas lingkungan yang semakin rapuh? Danau yang tercemar, laut penuh sampah, hutan yang terbabat, dan kebakaran di sana-sini cukup bagi kita mengetuk kembali sisi kealaman manusia. Mungkin saya gagal menafsir, atau jangan-jangan saya gagal membaca. Semoga demikian. [T]