Baca juga:
- Dalang Banyuning # Melacak Jejak Sejarah Seni Rupa dari Museum Buleleng [1]
- Wayan Dasta dan “Unknown Artist From North Bali” # Melacak Jejak Sejarah Seni Rupa dari Museum Buleleng [2]
Seni rupa Bali Utara selain lukisan atas nama Dalang Banyuning, Wayan Dasta dan I Ketut Gede Singaraja adalah seni patungnya. Hal tersebut saya jumpai pada display foto repro karya-karya seni dan dokumentasi kolonial di Buleleng pada pertengahan 1800an sampai awal 1900an di Museum Buleleng tahun 2014, dan memantik keingin tahuan saya untuk sedikit tidaknya memetakan seni rupa di wilayah Buleleng.
Dalam perjumpaan saya pada awal tahun 2017 dengan Ibu Hedi Hinzler dalam proyek riset saya terhadap seni lukis I Ketut Gede Singaraja, Ibu Hedi Hinzler membagikan data tentang presentasi power pointnya mengenai karya-karya seni rupa Bali yang dipamerkan pada Pameran Kolonial Paris tahun 1930. Dalam lembar power point tersebut Ibu Hedi Hinzler melacak siapa yang membuat patung kayu besar setinggi 170 cm pada pameran tersebut?
Ibu Hedi Hinzler pernah mengatakan untuk melacak jejak I Ketut Gede Singaraja ia harus memeriksa nota belanja akan tetapi hasilnya nihil, akan tetapi dalam catatanya juga menyatakan bahwa C.M. Pleyte dikirim pada tahun 1899 bulan Agustus tanggal 9 untuk membeli dan memesan barang untuk dipamerkan di Paris. Waktu itu diketahui Punggawa Sawan bernama Ida Nyoman Karang dari Griya Gede Sawan(di dalam catatan Ibu Hedi Hinzler akan tetapi di Desa Sawan dikenal dengan Griya Kelodan Sawan)adalah seorang pematung handal dan bekerja sama dengan sekelompok pematung dari Desa Menyali. Oleh sebabnya dalam bayangan saya wilayah Desa Menyali dan Sawan adalah basis dari seni patung selain Desa Sangsit di timur Kota Singaraja.
Hal itu dikuatkan oleh gambar sketsa dari W.O.J Nieuwenkamp yang menggambar gerbang atau pamedalan dari Griya Ida Nyoman Karang pada tahun kunjungannya yaitu 1906. Dalam gambar tersebut dapat digambarkan bahwa gerbang rumah Punggawa Sawan tersebut bergaya kolonial, di cat putih, besar, dengan ukiran pandil khas ornamen Bali Utaranya. Tampak di dalam pintu gerbang Griya Kelodan Sawan digambar agak samar gerbang menuju pura keluarga atau pemrajan dan ditengahnya ada siluet figur manusia, mungkin untuk menggambarkan dimensi besarnya gerbang pura keluarga ini.
Ibu Hedi Hinzler mengoknfirmasi ke Griya Kelodan Sawan pada tahun 2009, dalam catatannya sebagai ciri otentik adalah perbandingan ukiran ornamen Bali Utara pada pandil di atas daun pintu gerbang griya yang masih dipertahankan oleh sebab pintu gerbangnya yang ternyata sudah berubah (direnovasi) pada tahun 2008. Dan pandil itu juga saya pergunakan sebagai tanda untuk meyakinkan saya bahwa tempat yang kunjungi adalah tempat Nieuwenkamp menggambar gerbang tahun 1906 itu pada waktu kunjungan bersama teman-teman ke Griya Kelodan Sawan pada tanggal 18 Januari 2020.
Setelah diijinkan untuk masuk ke dalam merajan Griya Kelodan Sawan tentu saja saya menjumpai patung-patung yang sempat didokumentasikan melalui gambar sketsa di atas kertas oleh Nieuwenkamp tahun 1906 dan foto-foto dokumentasi Ibu Hedi Hinzler tahun 2009. Terdapat dua pelinggih gedong di dalam merajan, yang satu pelinggih gedong yang besar dengan dua patung figur Dewa Wisnu di sisi selatan dan Dewa Siwa di sisi Utara, sedangkan pada palinggih gedong yang satunya di apit oleh dua patung juga, saya tidak berani memastikan patung ini figur siapa yang jelas salah satunya memakai mahkota supit surang.
Patung-patung yang terdapat pada merajan Griya Kelodan setelah saya lakukan perbandingan terhadap patung-patung yang terekam pada arsip dokumentasi Pameran Kolonial Paris sekilah nampak otentik namun ada perbendaan yang signifikan tertama pada sisi proporsi. Yang menjadi ciri khasnya pada patung di merajan griya adalah patung yang membawa pucuk bunga. Patung di merajan griya dibuat dengan proporsi anatomi yang lebih panjang pada bagian tangan, kaki, badan, sedangkan patung-patung yang dipamerkan di Paris tahun 1930 tersebut nampak proporsif sekali pada anatomi.
Hal tersebut mungkin dikarenakan perbedaan bahan yaitu antara batu padas dan kayu, atau mungkin dibuat lebih proporsional karena bersifat pesanan, akan tetapi yang jelas posisi Ida Nyoman Karang saya rasa sebagai orang yang penting di balik keputusan-keputusan eksekusi oleh sangging-sangging dari Desa Menyali. Dalam hal ini Ida Nyoman Karang sebagai undagi yang bertugas penting menata proporsi, menentukan ikonografi, dan pemberian karakter pada patung-patung pesanan tersebut. Ya, sebagaimana kerja kolektivitas keseni rupaan di Bali pada umumnya, peran undagi dan sangging berbeda akan tetapi keduanya sangat penting dan harus berjalan selaras.
Selain patung-patung yang dibuat oleh Ida Nyoman Karang di pura keluarganya dan juga yang dipamerkan pada Pameran Kolonial Paris 1930, ia juga membuat sepasang pandil relief singa bersayap yang memegang hewan menjangan dan satu buah pintu bergaya gebyog di dalam kompleks bangunan Griya Kelodan Sawan. Ukirannya tidak begitu rumit, nampak besar-besar, di cat dominan dasar cat merah dan dipoles warna emas prada. Menurut salah seorang keluarga griya yaitu Ida Bagus Satya, sepasang pandil dan pintu gebyog ini adalah ukiran terakhir yang dibuat oleh Ida Nyoman Karang.
Oleh sebabnya dapat dikatakan bahwa peranan Ida Nyoman Karang sangat penting dalam peta sejarah seni rupa di Bali Utara. Di dalam bayangan saya bahwa Ida Nyoman Karang selain sebagai seorang punggawa juga sebagai orang yang berperan terhadap hidupnya basis-basis seni rupa masa kolonial di Bali. [T]
Pantai Indah, Singaraja 2020