Luar biasa. Dua kata itu yang bisa menggambarkan secara general bagaimana perasaan saya setelah membaca sebuah buku bersampul biru tua dengan sedikit hijau tosca terbitan Mojok yang sudah dicetak sebanyak 3 kali sejak tahun 2016.
Buku ini terdiri dari 14 cerpen buah karya Dea Anugrah. Judul buku kumpulan cerpen yang saya baca adalah “Bakat Menggonggong”. Jika dilihat dari fisik, buku ini sangat nyaman dibaca bagi saya,baik itu ketebalan bukunya, warna kertas, maupun font tulisan. Kesan saya melihat sampul pertama kali sebelum membuka isinya adalah buku ini cukup seram dan feeling saya mengatakan bahwa buku ini perlu dibaca sepenuh otak dan hati, terutama bagi saya yang jarang membaca.
Jadi secara otomatis tulisan yang saya buat ini mungkin bisa disebut ulasan sederhana sudah saya buat semampu saya.
Dalam kumpulan cerpen ini terdapat 14 judul cerpen diantaranya “Kemurkaan Pemuda E”, “Kisah Afonso”, “Kisah dan Pedoman”, “Kisah Sedih Kontemporer (VI)”, “Anjing Menggonggong,Kafilah Berlalu”, “Penembak Jitu”, “Kisah Sedih Kontemporer (XII)”, “Masalah Rumah Tangga”, “Kisah Sedih Kontemporer (XXIV)”, “Perbedaan Antara Baik dan Buruk”, “Sebuah Cerita Sedih”, “Gempa Waktu” dan “Omong Kosong yang Harus Ada”, “Tamasya Pencegah Bunuh Diri”, “Kisah Sedih Kontemporer (IX)”, dan “Acara Tengah Malam”.
Sungguh, setiap cerpen memiliki keunikannya masing-masing. Saya rasa banyak sekali cerpen yang menceritakan tentang pengalaman ataupun cerpen yang dibuat dengan mengadakan riset terlebih dahulu yang secara keseluruhan dibawakan layaknya menyampaikan sebuah presentasi kepada para pendengar, layaknya tour guide dalam setiap cerita. Salah satu keunikannya adalah menyebut kata “kita” untuk posisi pembaca yang menyebabkan saya sebagai pembaca menempatkan diri berada dalam cerita tersebut.
Cerpen pertama yang sangat membekas sekaligus menggonggong terus di kepala adalah “Kemurkaan Pemuda E”. Saya dibuat penasaran dan berpikir keras sejadi-jadinya di bacaan pertama karena hanya terus menggambarkan kegiatan Pemuda E sedetail detailnya termasuk saat membahas sandi buatan Pemuda E. Plotnya maju mundur sehingga saya seperti sepeda motor yang tengah melaju, kemudian melewatkan tanda arah, dan otomatis mundur lagi untuk mengetahui bagaimana cerita ini bisa berjalan.
Tentu yang menarik di sini adalah penggunaan kata “kita” yang saya sendiri baru pertama kali membaca. Seolah olah si pemandu cerita sedang mengajak kita tour di tengah pemutaran cerita Pemuda E dan saya merasa saya sedang berada di tenggah-tengah keberadaan si pencerita.
Lucunya dan menurut saya sangat nyelenah, Dea Anugrah memasukkan tulisan seperti promosi yang bertuliskan “Paket gratis memang hanya yang ini, tapi saya jamin paket berbayar tidak bakal mengecewakan anda. Kami punya koleksi menarik: Gelora seks pemuda e, Pemuda E dikeroyok…” Entah ini bagian dari skenario cerpen semata atau memang sedang promosi. Batas kenyataan dan imajinasi yang disampaikan di cerpen ini saya pikir kurang dari 1 mm.
Cerita kedua adalah “Kisah Alfonso” yang memiliki daya untuk menabrakkan imajinasi saya. Saya saat membaca selalu nyeletuk, “Hah, kok bisa?”. Si pencerita tampak membawakan cerita yang diselingi seperti perasaan dia sedang menceritakan pengalaman ketika ia harus mengikuti tour untuk membuat sebuah cerita nyang menembus dimensi lain cerita yang ingin disampaikan. Bayangkan, cerita yang disampaikan adalah kisah sang Alfonso, seorang penjelajah asal Eropa pada masa kerajaan di Tulang Bawang.
Tapi dengan santainya si pemandu cerita menabrak imajinasi tentang keadaan kerajaan di Lampung dan segala mitosnya tentang buaya putih besar bermata biru dengan kehadirannya dan rekan-rekan satu kerja menaiki perahu tour yang dalam 3 hari akan kembali ke Jakarta dalam rangka menulis sebuah cerita hebat. Seakan-akan kejadian zaman Alfonso dan mitosnya tak berjarak dengan masa kini, seperti menjadi satu. Memang saya tidak habis pikir, sangat di luar biasa.
Yang terakhir dari salah satu cerpen membekas di kepala berjudul “Kisah Sedih Kontemporer (IX)”. Saya pikir ini adalah puisi. Lagi lagi otak saya berputar putar, “kok bisa?” Sepenangkapan saya, cerpen ini dikemas melalui bentuk SMS. Inti cerita adalah si pria merasa perasaannya telah tenggelam dan pupus terhadap si wanita. Yang saya kagumi adalah bentuk cerpennya, melalui SMS. Brilian menurut saya. Saya seperti membaca kisah cinta ambyar yang ada di tread screenshoot chat Twitter.
Masih banyak cerpen yang sangat sangat membikin kepala berputar, cocok untuk olahraga otak dan otot dahi. Ada kebanggaan tersendiri setelah berhasil memahami walaupun hanya urutan ceritanya. Cerpen yang luar biasa. Apakah Dea Anugrah sebelum menulis kumpulan cerpen ini melakukan meditasi? Kata-kata pilihannya pun membuat saya benar benar terpukau shining shimmering splendid karena langka ditemukan di buku roman atau cerpen yang biasa saya baca. Yang bisa saya katakan adalah “Selamat” apabila kawan-kawan mulai penasaran membacanya. Saya jamin anda pun akan terpukau dengan kekhasan tulisan milik seorang Dea Anugrah.
Dalam bukunya, Dea menyertakan bonus puisi berjudul “Syarat” dan kutipan sebagai pembatas buku dan sebuah kutipan yang entah mengapa saya sangat menyukainya yang padahal itu hanya sekumpulan onggok kata. Lagi-lagi saya tidak sengaja memikirkan maksudnya. Tetapi, saya putus memikirkan ketika kembali melihat judul buku di sampul depan. “Bakat Menggonggong”, yang mungkin saja semua yang berusaha saya pikirkan dan bergumul di kepala hanyalah gonggongan belaka. [T]