Jumat, 6 Desember 2019, telah diadakan pementasan teater dari Bali Eksperimental Teater, di Eks Pelabuhan Buleleng, Singaraja. Pementasan ini disutradarai oleh Nanoq da Kansas atau yang sering saya panggil Om Nanoq dengan melibatkan kurang lebih 30 orang pemain dan memainkan naskah “Balang Tamak Reborn” milik Om Nanoq sendiri.
Saya benar-benar menikmati ketotalitasan serta kemegahan yang apik dikemas dengan kesederhanaan dari upaya menghidupkan naskah itu sendiri. Dengan melibatkan kurang lebih 30 orang pemain, saya rasa cukup sulit untuk menjadikannya pementasan luar biasa seperti yang sudah ditampilkan.
Diawal dimulainya pementasan, saya dibuat bertanya-tanya akan apa yang sedang dilakukan. Pemuda pemudi yang berlalu lalang, menebarkan sampah dedaunan, memukul-mukulkan sapu kebawah, serta gerakan-gerakan yang dilakukan saat lagu “cangkul, cangkul, cangkul yang dalam” (maaf saya lupa judul lagu tersebut. Hahahah) dimainkan, sangat memanjakan mata saya, namun secara bersamaan juga memeras otak saya untuk mencari tahu maksud yang ingin disampaikan. Saya pikir, hal ini adalah umpan untuk memancing saya masuk lebih dalam lagi ke pementasan.
Dari pementasan yang sudah saya tonton dari awal sampai akhir, saya menemukan banyak hal menarik yang sekiranya harus saya utarakan disini. Rasanya tak mampu bila harus menikmati rasa kagum saya akan pementasan ini seorang diri.
Hal pertama yang menurut saya menarik adalah pemilihan konsep kostum para pemain. Jika dilihat dari para remaja atau saya sebut saja ABG, yang berperan menjadi masyarakat, sudah sangat mencirikan masyarakat-masyarakat desa yang masih tunduk akan kuasa raja. Pemilihan kostum Raja nya pun cocok dengan masyarakat yang berbau tradisional. Sangat terlihat perbedaan yang signifikan. Tapi disini, yang biasanya jaman kerajaan itu identik menggunakan seorang patih sebagai pengawalnya, disini malah orang-orang berseragam hitam-hitam selayaknya bodyguard, yang seakan-akan memberikan gambaran pada saya akan perbedaan jaman yang dipertemukan adalah bukan suatu kesalahan. Entah mengapa ini menjadi hal yang begitu menarik bagi saya sendiri.
Lalu kedua, topik perihal keotoriteran raja yang ingin disampaikan dalam naskah, saya rasa bisa tersampaikan dengan sangat baik karena dikemas dengan guyonan-guyonan yang menurut saya meringankan topik yang ingin disampaikan itu. Tak jarang, guyonan itu kerap membuat saya terkikik sendiri. Hal lainnya yang mampu menyedot banyak perhatian saya adalah musik pengiring dalam pementasan ini. Pemilihan lagu, melodi, serta kesempurnaan perpaduan antar beberapa alat musik mampu membuat saya terhanyut akan suasana yang dibangun dari musik yang dilantunkan tersebut.
Selain itu, menurut saya, pembagian komposisi dari pemain, sutrada, musik juga lighting juga sangat pas. Tak ada yang terlalu menonjol, atau memiliki perbedaan energi yang mencolok. Semuanya disamaratakan. Sehingga saya pikir, komposisi inilah yang membuat pementasan ini menjadi begitu menawan dan sayang bila sedetik pun dilewatkan.
Akhirnya, saya rasa memang perlu untuk banyak menonton pementasan-pementasan luar biasa semacam ini. Selain menambah kosa bentuk, saya rasa juga bisa memberikan saya banyak ilmu sebagai bekal saya untuk pementasan yang mungkin akan saya bawakan bersama teman-teman lainnya dikemudian hari. [T]