Saya awali catatan ini dengan sebuah cerita ketika saya membantu Gita Wiastra menyusun tesis. (Saat itu masih pacaran, kini ketika dia diwisuda, Sabtu 30 November 2019 di Undiksha Singaraja, ia sudah berstatus suami saya).
Waktu itu saya disuruh Gita untuk bantu menyebar surat ke Kejaksaan Tinggi dan kantor-kantor polisi. Itu surat permohonan melaksanakan penelitian dan pengambilan data tesis. Sebelum berangkat, saya sudah ngeramal bakal dikata aneh oleh petugas-petugas di kejaksaan dan kantor polisi.
Sampai di sana, benar. “Mahasiswa hukum dari mana, Dik?” kata Bapak-Bapak di sana.
“Hehe. Mahasiswa Pendidikan Bahasa, Pak.” Saya bilang.
Saya bisa tebak pertanyaan berikutnya. Tanpa perlu menunggu pertanyaan, saya bilang, “Bahasa Forensik, Pak, yang akan diteliti.”
Napas Bapak-Bapak itu agak lega. Kedatangan surat penelitian Gita ke sana mulai diterima dan masuk akal. Dari obrolan petugas di sana, belum pernah memang, ada mahasiswa jurusan lain selain jurusan hukum yang ambil data penelitian di sana. Makanya saya dikira mahasiswa yang nyasar.
Tema penelitian Gita memang unik. Tentang Bahasa forensik yang tak banyak, bahkan mungkin belum ada penelitian serupa di Undiksha. Itu salah satu yang menyebabkan proses penelitiannya agak lambat.
Selama proses pengerjaan tesis, Gita memang gak fokus. Banyak hal yang mesti dia urusi. Dari ngurus hal serius, semisal kerja. Lalu hal-hal ringan yang dibikin serius olehnya, semisal jadi moderator peluncuran buku, pentas musikalisasi puisi, setting panggung, nganter saya pentas ke Blitar, pacaran, kencan, liburan, malas-malasan, dan seterusnya, dan seterusnya.
Dalam segala hal, Gita memang selalu pengen yang bagus. Dalam pengerjaan apa pun termasuk dalam pengerjaan tesis ini. Karena masuk golongan manusia idealis, Gita gak pernah punya pikiran “yang penting hadir”, “yang penting ngasi”, “yang penting tampil, “yang penting buat”, “yang penting ngumpul”, “yang penting selesai”.
Baginya, mending gak usah kalau nanti hasilnya jelek. Ini jauh berbeda dengan pikiran dan sikap saya. Yang apa-apa selalu kanggo-kanggoin aja. “Yaa, kanggoin aja dah”.
Kalau udah kaya gitu, Gita selalu ngetawain saya. Tapi dari sana saya jadi paham, yang benar-benar selesai itu Gita. Saya, hanya seakan-akan saja.
Jadi, begini…
Banyak yang menilai kalau orang yang lulus kuliahnya lambat adalah orang bodoh. Ya itu penilaian yang sudah lumrah. Lumrah dilakukan oleh orang yang ga pernah merasakan bangku kuliah. Karena ga tahu rasanya bimbingan, ga tahu rasanya revisian. Atau mungkin dulu pernah kuliah, tapi kuliah tidak memberi pengaruh apa-apa untuknya, termasuk cara pandangnya mengenai orang pintar.
Orang pintar bagi mereka hanya sebatas orang yang lulus kuliah saja, dalam tempo sesingkat-singkatnya. Udah kayak balapan. Udah kayak dikejar-kejar penjajah aja. Apa lupa negara sudah merdeka? Jadi, santai dong, Bro. Di negara yang sudah merdeka ini, Penjajah yang dimaksud bisa jadi adalah orang tua yang ngomel-ngomel, karena sudah keduluan jahit baju setelan, dan ga sabar pakai baju itu untuk mengahadiri acara wisuda anaknya.
Ya meskipun memang benar, ada orang yang ga lulus-lulus kuliah karena kemampuan mereka kurang. Sebenarnya tidak apa-apa sih, punya kemampuan yang kurang. Cuma jangan ditumpuk dengan kemalasan dong ya. Sudah bodoh, masak malas pula. Orang seperti ini sungguh tidak termaafkan. Saya bilang begitu, sebab banyak kok orang yang ga pintar-pintar amat bisa lulus kuliah tanpa ngaret. Jadi, coba aja mau rajin, pasti kebodohan akan tertutupi. Kan seneng tuh, kelihatan pinter. Cuma kelihatannya aja ya. Ga beneran.
Lalu di sisi yang lain, kita mesti membuka pikiran dan meluaskan pandangan bahwa ada kok orang yang lulus kuliahnya lambat bukan karena bodoh. Orang yang seperti ini saya sebut orang ideal. Yang apa-apa ingin bagus dan apa-apa ingin yang terbaik. Orang yang termasuk dalam golongan ini, tidak akan pernah berpikir yang penting datang, yang penting ngasi, yang penting tampil, yang penting buat, yang penting ngumpul, yang penting selesai. Bagi mereka, mending ga usah daripada hasilnya jelek. Tapi salah satu teman saya, yang tipenya idealis, pernah terpaksa menyelesaikan skripsinya. memang benar skripsi selesai. Tapi, ia merasa kecewa dan sangat bersalah atas apa yang ia kerjakan.
Ini jauh berbeda dengan orang yang apa-apa kanggo, apa-apa kanggo. Baru bagus sedikit kanggo, baru jadi sedikit kanggo. Biasanya, mereka akan bilang, “Yaa segini aja dah.” atau “Yaa kanggoinaja dah.” Mereka sering berlindung dibalik kalimat, “Lebih baik mencoba daripada tidak sama sekali”. Lucunya orang tipe ini bisa-bisanya bangga atas hasil kerja mereka. Selain cepat bangga, orang tipe ini juga cepat merasa puas. Padahal yang mereka lakukan belum maksimal. Belum seberapa.
Dari sana, sekali lagi saya harus katakana, bahwa saya jadi tahu, siapa sebetulnya yang benar-benar selesai, siapa yang hanya seolah-olah saja selesai.
Selamat wisuda, suamiku tercinta… [T]
NB:
- Gede Gita Wiastra adalah penulis tatkala.co, anggota Komunitas Mahima, Teater Kalangan, dan Ketua Komunitas Timpal Tatkala.