Sebuah tempat, kain-kain hitam terbentang membatas ruang. Cermin-cermin digantung berjajar di bawah tali yang saling silang. Dua perempuan berjalan perlahan saja, mengisahkan sejarah diri mereka. Batu-batu dipungut lalu dihempaskan kembali di atas ranjang beralaskan tikar. Mereka seolah melepas beban sejarah yang lama lekat, mencoba berdamai pada diri sendiri.
W.Adu.An, sebuah lakon yang ditulis dan disutradarai Ibed Surgana Yuga mencoba memertemukan 4 (empat) biografi yang berbeda; dua tokoh yang lahir pra 1965 dan dua lainnya pasca Orde Baru. Serpihan biografi yang dipertemukan dalam ikatan konflik ini merupakan kelindan relasi yang muncul dari sentuhan dan benturan antara ranah politik, seni, tubuh, kekerasan, kerabat, dan perempuan, juga pengleakan.
Kebimbangan sempat menyergap. Dua perempuan, dua bintang panggung itu, telah melafalkan biografi masing-masing ketika kami (penonton) baru memasuki ruang peristiwa dan duduk menghadap cermin yang telah disiapkan. Apakah pertunjukan sudah dimulai atau masih sebatas gladi?
Meski penuh tanda tanya, saya memilih mengabaikan perasaan itu dan fokus menjadi saksi kisah Iin Valentine dan Devy Gita. Bergantian-bersahutan, mereka mengisahkan hidupnya masing-masing. Kisah itu kemudian dibenturkan pada biografi dua bersaudara lainnya, bintang panggung dua partai politik yang berseberangan pada masa pra 1965. Masing-masing aktor pun memainkan peran ganda; menjadi dirinya sendiri, juga representasi kakak beradik lainnya, dengan perasaan yang luka. Pada akhirnya, dalam pertunjukan yang masih bersifat work-in-progress ini, ruang itu berubah menjadi arena konflik, sekaligus menawarkan cara menonton yang tak biasa.
Secara etimologis, W.Adu.An yang merupakan produksi #1 Canasta Creative Space bekerjasama dengan Ibed (Kalanari Theatre) serta Iin dan Devy (Teater Kalangan), merupakan sebuah variasi dan penyederhanaan dari asal kata “wadon”. Wadu bermakna perempuan, abdi, rakyat. Dalam variasi penulisan, muncul makna “adu” dan “aduan”, yang akhirnya menjadi simpul pemaknaan dalam teks pertunjukan tersebut.
Pertunjukan yang digelar pada 23-24 November di Canasta Creative Space di ini memang sarat konflik. Dengan tata musik yang digarap Heri Windi Anggara, dan artitstik dari Tress dan Dedek Sutejo, konflik yang terjadi pada akhirnya tidak sebatas peristiwa di panggung semata, tetapi merambat pula pada diri yang menyaksikan. Setelah “ketidakjelasan” pertunjukan itu bermula, konflik berikutnya ada pada cermin sebagai media yang digunakan untuk menonton. Kami dipaksa menyaksikan peristiwa yang terjadi di belakang pungggung, melalui proyeksi dari cermin itu sendiri.
Ada sensasi tersendiri ketika menonton tanpa keberhadapan ini. Selain harus kompromi terhadap kepala yang sakit –sekaligus mual akibat cermin yang sering bergoyang, mau tak mau, ingatan kekerasan 1965 yang saya dapatkan melalui buku, obrolan dan film kembali mengemuka. Mengenai ketidakpastian dan sengkarut wacana, fakta, fiksi dan kepentingan yang mengitarinya. Bahkan hingga hari ini, masih menjadi pembahasan sebagai upaya rekonsiliasi. Namun melalui cermin pula, kami pada akhirnya dibebaskan mencari sudut pandang masing-masing. Layaknya sebuah film, kami melakukan framing terhadap apa yang ingin disaksikan, entah itu sepenggal adegan, pertunjukan yang utuh, atau bahkan bisa juga menempatkan penonton lainnya menjadi bagian dari peristiwa yang tengah berlangsung. Dalam hal ini saya memilih menyaksikan W.Adu.An sebagai fragmen; kisah-kisah dan beban sejarah yang berletupan.
Mencari Makna
Seperti diakui Ibed, W.Adu.An menjadi tawaran untuk menyaksikan pertunjukan dengan cara yang berbeda. Teks ini sendiri bisa dikatakan menjadi pengembangan Janger Merah yang pernah ditulis Ibed sebelumnya. Penonton dibebaskan mengarahkan cermin untuk memilih proyeksi mana yang diinginkan. Demikian pula dengan simbol-simbol yang hadir, hanyalah menjadi alat untuk mencapai makna. Hanya media, tetapi bukan menggambarkan makna itu sendiri.
Pertunjukan yang hadir sebagai pembuka Parade Teater Canasta 2019 dengan beragam simbolnya juga memberikan kebebasan kepada penonton untuk memaknainya kembali. Seperti hidup yang tak pernah hitam putih, pertunjukan ini juga berada di wilayah abu-abu tanpa benar-salah yang abadi.
Kenyataan ini terekam pula dalam salah satu adegan W.Adu.An, ketika Iin memertanyakan letak tato palu arit di paha sebelah kiri Sang Kakak. Refleksi cermin menghasilkan bayangan terbalik, sehingga paha kanan Devy-lah yang terlihat disingkap, meski pada akhirnya tato itu tak ditemukan.
Cermin dalam pertunjukan ini pada akhirnya bisa menjadi apa saja. Menghadap cermin juga bisa menggiring pemikiran bahwa sesungguhnya saya-kami juga menjadi bagian dari peristiwa yang tengah dipentaskan. Siasat pertunjukan (cara menonton) seperti ini membawa saya lebih dekat dengan W.Adu.An.
Penggunaan batu-batu yang dipegang-pikul kemudian dihempaskan kembali menimbulkan dentaman, menumbuhkan imajinasi tentang beban sejarah yang ingin ditumpaskan. Sejarah kelam yang melekat dalam diri kita masing-masing, yang entah oleh suatu sebab, kadangkala terkait satu sama lain. Seperti silang sengkarut tali yang saling terhubung satu sama lain, yang menaungi arena tersebut.
Kemudian Iin berjalan di belakang kami. Matanya tajam, penuh amarah. Ia menatap kami melalui cermin, meneror kami dengan tatapan penuh penghakiman.
Benarkah kami juga menjadi penyebab sejarah kelam dirinya? Benarkah ia telah terperangkap dalam beban dan konflik yang telah kita ciptakan, meski tanpa kesengajaan?
Ketegangan memuncak. Tiba-tiba api berkobar, rajah yang lekat di dada Devy dan paha Iin menyala. Mereka berteriak. Menggeram, menjelma leak dan siap bertarung satu sama lain dalam puncak amarah. Tiba-tiba ada yang menyentuh pundak. Kami yang tercekat digiring keluar area pertunjukan.
Pertunjukan belum benar-benar usai. Samar-samar saya masih bisa mendengar geraman itu yang perlahan merasuk ke ruang paling dalam diri. Geraman itu, teriakan itu terus terdengar, entah kapan akan usai. Barangkali hingga luka dan beban sejarah itu benar-benar telah tumpas dalam tubuh kita. [T]