31 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Membongkar Produk Budaya yang Menjadi Landasan Kekerasan

Kim Al Ghozali AMbyKim Al Ghozali AM
November 20, 2019
inUlasan
Membongkar Produk Budaya yang Menjadi Landasan Kekerasan
42
SHARES
  • Judul : Kekerasan Budaya Pasca 1965
  • Penulis : Wijaya Herlambang
  • Penerbit : Marjin Kiri
  • Cetakan : Ketiga, Februari 2019
  • ISBN : 978-979-1260-43-5
  • Halaman : viii + 333 hlm

_____

Runtuhnya rezim Orde Baru memberi ruang kepada kita untuk menelisik lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi dalam peristiwa politik 1965. Terutama, bagi para ahli untuk melakukan penelusuran dan pelacakan ulang, mendekonstruksi, maupun mengangkat ke permukaan sesuatu yang selama ini tertutupi. Hal tersebut kemudian ditandai dengan banyaknya muncul buku sejarah, sosial, kajian akademik, sastra, film, teater, maupun diskusi dan forum yang mengangkat tema peristiwa kelam dan terbesar dalam sejarah modern Indonesia itu.

Upaya semacam itu sudah tentu tidak mungkin bisa dilakukan saat Orde Baru masih hidup dan berkuasa, di mana setiap arus informasi, fakta, dan kehendak membicarakan secara jujur tentang peristiwa itu dikekang sedemikian rupa. Sehingga yang terjadi adalah informasi tunggal, narasi tunggal, dan kebenaran tunggal, yakni versi pemerintah. Dan sudah pasti ada segudang fakta yang disembunyikan.

Jika banyak akademisi menelisik dan riset lebih terpusat ke seputar peristiwa; baik motif, dalang, detik-detik malam 30 September, maupun tentang pembantaian massal orang-orang komunis Indonesia dan simpatisannya pasca pembunuhan tujuh jenderal yang dianggap sebagai bagian dari kudeta itu, Wijaya Herlambang melakukan upaya berbeda dalam melihat persoalan tragedi 30 September 1965.

Melalui bukunya Kekerasan Budaya Pasca 1965, lelaki yang menyelesaikan studinya di University of Queensland dengan disertasi “Cultural Violence: Its Practice and Challenge in Indonesia” (2011) ini lebih banyak menekankan penelitian terhadap produk budaya yang berkait-kelindan dengan peristiwa yang menjadi akhir kekuasaan Sukarno itu, yaitu tentang bagaimana Orde Baru membangun landasan ideologi Anti-Komunisme melalui sastra dan film.

Anti-Komunisme, bahkan kekerasan terhadap orang komunis dan selalu dijadikan musuh imajiner bersama tidak hadir serta merta begitu saja, atau sebatas hasil dari kampanye politik. Ada lantasan budaya yang melegitimasi praktik-praktik kekerasan fisik yang terjadi pasca 1965 yang disponsori negara. Yaitu lewat produk budaya, dalam hal ini adalah sastra dan film. Sehingga apa yang menimpa para korban seolah dianggap sudah seharusnya. Inilah logika yang dibangun oleh rezim Orde Baru, melalui agresi kebudayaan untuk melawan komunisme. Dalam kata lain telah terjadi “kekerasa budaya”, yang secara definitif menurut Johan Guntung dalam Culture Violence (1996)seperti yang dikutip Wijaya Herlambang (Hal. 35) adalah: “Aspek-aspek kebudayaan, bidang-bidang simbolis dari keberadaan kita—seperti agama dan ideologi, bahasa dan seni, pengetahuan empiris dan pengetahuan formal (logika, matematika)—yang dapat digunakan untuk membenarkan atau melegitimasi kekerasan langsung dan struktural.”

Penemuan Wijaya Herlambang dalam Kekerasan Budaya Pasca 1965 tentu menarik sekaligus membuka kesadaran baru kepada kita, bahwa Anti-Komunisme sekaligus praktik-praktik kekerasan langsung dan struktural terhadapnya tidak dilandasi oleh narasi politik semata. Tetapi lebih jauh dari itu, melalui sesuatu yang sangat halus dan samar serta masuk ke aspek-aspek kehidupan dengan subtil, yaitu produk budaya melalui agen-agen kebudayaan Orde Baru. Inilah kemudian yang dinamakan sebagai “kekerasan budaya/kekerasan tak langsung” yang imbasnya tentu lebih besar ketimbang kekerasan langsung. Sebab, kekerasan tak langsung sebagai kerangka berpikir sekaligus legitimasi memicu terjadinya kekerasan langsung secara terus menerus.

Meskipun banyak produk kebudayaan yang dihasilkan rezim Orde Baru dalam mempromosikan budaya Anti-Komunisme, seperti ideologi negara, museum, monumen, diaroma, folklor, lembaga agama, buku-buku pegangan siswa, dan materi penalaran, Wijaya Herlambang dalam buku ini lebih menyoroti produk budaya berupa film dan sastra, terutama Film Penumpasan Pengkhianatan G30 S PKI (1984) yang disutradarai Arifin C. Noer sebagai media propaganda utama pemerintah Orde Baru—yang rutin dipropagandakan dengan ditayangkannya di televisi nasional setiap tahun sepanjang 1984-1998—dan novel yang diadaptasi Arswendo Atmowiloto dari film tersebut. Turut dibicarakan tentang sepak terjang kelompok-kelompok kebudayaan kontemporer, terutama para penggiat sastra yang tergabung dalam Manifes Kebudayaan dan derivat atau simpatisannya, yang telah turut melanggengkan budaya Anti-Komunisme dan secara tidak langsung juga berkontribusi memberikan landasan budaya atas kekerasan fisik yang telah terjadi atau sedang terjadi.

Ada fakta-fakta menarik, bahkan dikatakan cukup mengejutkan dari riset Wijaya Herlambang dalam buku ini, yaitu peran penting para brokerkebudayaan di Indonesia untuk Barat. Broker ini berada di bawah bimbingan langsung CIA melalui underbouw-nya: CCF (Congress for Culture Freedom), di mana para kacung imperialisme barat didikte untuk menentukan kebudayaan Indonesia pasca 1965 dengan membangun liberalisme dan memusnahkan komitmen sosial-politik dalam kesenian atau kebudayaan (baca: realisme sosialis) di satu sisi, dan di sisi lain turut memberi legitimasi anti-komunisme melalui produk-produk budaya yang mereka hasilkan.

Barat (Amerika Serikat and the gank) sebagaimana kita tahu, punya agenda khusus di Indonesia, yaitu ingin membangun dominasi kapitalisme-nya demi mengeruk sumber daya alam dan keuntungan lainnya. Namun, hal itu selalu gagal karena komitmen politik dan kecondongannya Sukarno pada paham kiri, terutama komunisme, sebagai penentang utama kapitalisme. Untuk memuluskan agendanya, Barat mesti meruntuhkan kekuasaan Sukarno dan memusnahkan komunisme yang menjadi musuh imperialisme dan kapitalisme-nya. Maka, selain melakukan pelbagai upaya melalui strategi politik dan menemukan momentum pada tahun 1965, Barat melalui CIA-nya juga melakukan kampanye anti-komunisme lewat kebudayaan, sekaligus untuk membentuk kebudayaan nasional yang berorientasi liberal.

Sebagaimana hasil riset Wijaya Herlambang, selain kerja sama dengan tokoh-tokoh PSI (Partai Sosialis Indonesia) dengan menyediakan beasiswa untuk dididik sesuai doktrin ekonomi AS, upaya juga dilakukan oleh Amerika Serikat dengan mendekati beberapa intelektual-sastrawan saat itu, seperti Mochtar Lubis, Arif Budiman, Wiratmo Soekito,Taufik Ismail, sampai yang termuda: Goenawan Muhammad. Di kemudian hari mereka menjadi penggagas sekaligus penanda-tangan “Manifes Kebudayaan”, sebuah konsep kebudayaan mengusung humanisme universal yang selalu mengasosiasikan diri dengan konsep “l’art pour l’art”(seni untuk seni) sebagai tandingan terhadap seni yang politis. Dan di tahun yang tidak terlalu jauh mereka juga mendirikan majalah Horison, majalah yang selanjutnya mempunyai peran penting membentuk orientasi budaya, terutama sastra, dengan gaya sesuai keinginan barat.     

Bahkan Wijaya Herlambang menemukan fakta adanya hubungan khusus antara pemimpin penting CCF, Kats dengan Goenawan Muhamad. Keduanya menjadi rekan kerja, meski kemudian Kats lebih banyak mendikte Goenawan Muhamad agar memenuhi keinginannya. Misal, permintaan penerjemahan buku-buku produk Barat yang dianggap memiliki gagasan yang menjauhkan publik dari paham komunisme dengan imbalan uang untuk Goenawan Muhamad sebesar $50 di awal kerja.    

Begitu pun kelompok kebudayaan populer lainnya yang berupaya membendung dan mendekonstruksi Anti-Komunisme turut disinggung oleh Wijaya Herlambang di buku ini. Di antaranya adalah JAKER (Jaringan Kerja Kesenian Rakyat) yang dimotori oleh penyair Wiji Thukul, dan kemudian KSI (Komunitas Sastra Indonesia) yang melahirkan majalah boemipoetra, serta para aktivis kebudayaan dan politik sepanjang era Orde Baru. Kelompok inilah yang punya upaya perlawanan dan destabilisasi hegemoni Orde Baru dengan ideologi Anti-Komunisnya.

Di bagian akhir buku, penulis secara khusus mendedah novel September karya Noorca M. Massardi. Menurut Wijaya Herlambang, novel tersebut yang paling relevan dalam kaitannya dengan diskusi tentang bagaimana sastra memiliki andil dalam proses dekonstruksi versi resmi peristiwa 1965 dan ideologi Anti-Komunis warisan Orde Baru. Isinya yang fundamental menjadi narasi alternatif sekaligus perlawanan terhadap kekerasan budaya terutama lewat sastra dan film yang selalu dikampayekan Orde Baru untuk melegitimasi kekerasan fisik, yang sampai saat ini masih hidup, sekalipun Orde Baru sendiri telah runtuh dua puluh satu tahun silam.

Tentu, buku Kekerasan Budaya Pasca 1965 ini layak dibaca oleh siapa pun, karena isinya akan membawa pada kesadaran (atau minimal perspektif) baru, bahwa budaya yang kita kenal—mungkin sebagian dari kita ikut menjalaninya—adalah tidak serta merta lahir begitu saja. Tetapi mempunyai riwayat panjang dengan pergelutan-pergelutan politik yang melingkupinya; bahkan di baliknya banyak manusia yang dirugikan dan dikorbankan. [T] 

Tags: BudayaBukuKomunisPolitikresensiresensi buku
Previous Post

Sirik dan Benci, Mungkin Tanda-tanda ODGJ

Next Post

Imbas Pariwisata, Nusa Penida Mendadak “Kebule-Bulenan”

Kim Al Ghozali AM

Kim Al Ghozali AM

Penulis puisi, prosa, dan esai. Ia memulai proses kreatifnya di Denpasar, dan kini mukim di Surabaya.

Next Post
Imbas Pariwisata, Nusa Penida Mendadak “Kebule-Bulenan”

Imbas Pariwisata, Nusa Penida Mendadak “Kebule-Bulenan”

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Tembakau, Kian Dilarang Kian Memukau

by Petrus Imam Prawoto Jati
May 31, 2025
0
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

PARA pembaca yang budiman, tanggal 31 Mei adalah Hari Tanpa Tembakau Sedunia. Tujuan utama dari peringatan ini adalah untuk meningkatkan...

Read more

Melahirkan Guru, Melahirkan Peradaban: Catatan di Masa Kolonial

by Pandu Adithama Wisnuputra
May 30, 2025
0
Mengemas Masa Silam: Tantangan Pembelajaran Sejarah bagi Generasi Muda

Prolog Melalui pendidikan, seseorang berkesempatan untuk mengembangkan kompetensi dirinya. Pendidikan menjadi sarana untuk mendapatkan pengetahuan sekaligus mengasah keterampilan bahkan sikap...

Read more

Menjawab Stigmatisasi Masa Aksi Kurang Baca

by Mansurni Abadi
May 30, 2025
0
Bersama dalam Fitri dan Nyepi: Romansa Toleransi di Tengah Problematika Bangsa

SEBELUM memulai pembahasan lebih jauh, marilah kita sejenak mencurahkan doa sembari mengenang kembali rangkaian kebiadaban yang terjadi pada masa-masa Reformasi,...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025

MEMASUKI tahun ke-10 penyelenggaraannya, Ubud Food Festival (UFF) 2025 kembali hadir dengan semarak yang lebih kaya dari sebelumnya. Perayaan kuliner...

by Dede Putra Wiguna
May 31, 2025
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025
Panggung

Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025

LANGIT Singaraja masih menitikkan gerimis, Selasa 27 Mei 2025, ketika seniman-seniman muda itu mempersiapkan garapan seni untuk ditampilkan pada pembukaan...

by Komang Puja Savitri
May 28, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co