Tentunya masih teringat gelombang aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa di berbagai daerah yang puncaknya pada 24 September 2019. Khususnya di DKI Jakarta, mahasiswa bersua di depan gedung MPR/DPR RI, berharap untuk didengar. Pada hari itu, saya yang notabene mahasiswa yang tak vokal tentang politik dan hukum tak turun ke jalan. Apatis? Bukan. Saya turut mengikuti perkembangan berita aksi demonstrasi ini. Iya, saya mengikuti dari balik layar ponsel pintar dan juga laptop.
Generasi Z Tidak Melek Politik?
Otoritas untuk menyampaikan aspirasi dimiliki oleh semua orang di era Demokrasi apa lagi setelah Reformasi. Caranya pun beragam, ada yang secara tertulis maupun lisan. Salah satu contohnya adalah demonstrasi. Sesungguhnya, aksi demonstrasi 24 September 2019 ini merupakan fenomena yang langka dan patut dianalisis. Pertama, aksi ini memiliki skala yang besar, menandakan bahwa keresahan masyarakat khususnya mahasiswa sudah tidak tersalur dan tertampung lagi. Kedua, dari segi partisipannya, mahasiswa, generasi Z. Membuat generasi Z melek politik bukanlah hal yang mudah. Generasi Z (sebutan populer untuk mereka yang lahir pada 1995-2010) cenderung tidak tertarik dengan politik.
Aksi ini menyadarkan saya bahwa sedikitnya minat generasi Z terhadap politik dipengaruhi oleh terbatasnya kebebasan sipil. Era Demokrasi katanya, bebas tapi tak bebas. Kebebasan berpendapat merupakan hak asasi manusia, bukan hal sekunder yang bisa ditunda-tunda pemenuhannya. Tapi, nyatanya ada penekanan oleh pemerintah. Contoh saja aktivis-aktivis senior yang membagi isi pikirannya di media sosial, ditangkap pula. Hal ini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi generasi muda Indonesia. Yang berani bersua bukannya diapresiasi, malah digerogoti. Tapi beruntungnya, masih ada mahasiswa-mahasiswa yang tak gentar dalam menyuarakan kegundahannya. Oleh karena itu, mungkin pemerintah Indonesia patut diacungi jempol karena membuat generasi Z keluar dari zona nyamannya.
Begitupun dengan saya, keresahan saya muncul ketika mahasiswa lainnya berhasil menggapai kepedulian saya yang belum pernah tersentuh. Aspirasi yang teman-teman sebarkan lewat media sosial seperti instagram dan twitter membuat saya mengerti bahwa Indonesia berada di fase krisis. Di hari itu, untuk pertama kalinya saya merasakan atmosfer demonstrasi yang sejak dulu hanya saya temui di televisi. Saya tidak berdemonstrasi, namun suasana di kampus benar-benar menggambarkan dukungan untuk teman-teman yang sedang berjuang di luar sana.
Dipandang Sebelah Mata
Berbagai pro dan kontra ditujukan pada aksi demonstrasi mahasiswa. Aksi demonstrasi ini dituding merusak layanan umum dan menyebabkan kemacetan. Iya, saya juga melihat semua itu. Orang-orang mengomel, “kenapa harus demonstrasi? Merusak saja. Ada cara yang lebih aman dan efisien, dialog langsung dengan DPR.” Namun, saya juga melihat sesungguhnya mahasiswa sudah menyampaikan aspirasinya dengan caranya sendiri, berintelektual dan juga modern. Menulis artikel opini di surat kabar, mengunggah video yang berisikan pendapat, visualisasi apik nan kreatif lainnya di media sosial adalah contoh-contohnya. Mahasiswa juga sudah berusaha melakukan dialog dengan DPR. Sayangnya, tidak ditanggapi. Bisa dilihat bukan? Lagi-lagi DPR tidak tergugah hatinya hanya dengan cara halus yang ditawarkan oleh mahasiswa. Aksi demonstrasi lah yang membangunkan DPR dari tidurnya.
Barulah bermulai pada hari itu beberapa saluran televisi membantu untuk membuka jalur mediasi bagi mahasiswa untuk bertatap muka langsung dengan DPR dan jajaran pemerintah lainnya. Mata Najwa dan Indonesia Lawyer Club merupakan contoh gelar wicara yang mempertemukan mahasiswa dengan pemerintah Indonesia. Aktivis-aktivis politik dan hukum pun turut hadir di mediasi ini. Di acara ini pula saya melihat beberapa kali mahasiswa disudutkan, diremehkan. Hal ini membuat saya berpikir bahwa pemerintah Indonesia menganggap mahasiswa belum punya ilmu yang mumpuni terkait dengan tuntutan yang diajukan. Padahal, mahasiswa merupakan tonggak penerus bangsa ini. Jika terus diperlakukan seperti ini bisa jadi menimbulkan pergolakan yang lebih besar dari mahasiswa itu sendiri.
Pemerintah Indonesia perlu mengkaji lagi tentang fenomena aksi demonstrasi mahasiswa pada 24 September 2019. Seperti pidato Presiden RI Pertama, Soekarno, “Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. Kini, mahasiswa lah yang merupakan pemuda-pemudi itu. Ketika mahasiswa resah dengan kondisi Indonesia, ia pasti akan bertindak. Tindakannya pun bukan tanpa arti. Mahasiswa itu hidup berdampingan dengan masyarakat. Mereka membangun rasa kemanusiaan yang berdasarkan kemasyarakatan, menjadi jembatan di tengah masyarakat yang terbelah. Jembatan ini bisa berarti pro dan kontra terhadap pemerintah. Tentunya mahasiswa tak akan diam jika hak-hak masyarakat diambil dengan semena-mena oleh pemerintah, begitu pula jika pemerintah memiliki prestasi yang patut dibanggakan dan diapresiasi. Begitu lah fungsi mahasiswa Indonesia. [T]