Cerpen Kim Al Ghozali
“Halo… Halo… Siapa ini?”
“Ini saya.”
“Saya siapa?”
“Ya saya. Apakah ini Tuhan?”
“Tuhan… Tuhan… Ini hantu!”
“Saya tanya serius, apakah ini Tuhan?”
“Ini hantu!”
Tut… Tut… Tut… Panggilan diputus dari seberang.
Lagi-lagi nomor yang tidak aku kenal. Sebenarnya apa maunya orang-orang ini? Ketika kucoba menelepon balik, ternyata nomor itu sudah tidak aktif. Aneh. Makin hari makin banyak saja orang tak waras. Selain sering kuterima panggilan-panggilan tak jelas begini, akhir-akhir ini juga sering aku menerima SMS aneh. Mulai pesan pemberitahuan bahwa aku mendapatkan hadiah ratusan juta rupiah beserta mobil keluaran terbaru (padahal aku tak ikut lomba atau undian apa-apa), pesan seorang akan menghibahkan kekayaannya sebanyak 1M kepadaku, SMS mama minta pulsa, sampai ajakan selingkuh.
“Anda kesepian? Sama dong… Suamiku sudah tiga kali puasa tiga kali Lebaran tak pulang-pulang jadi TKI di Arab. Aku harap kau mau menghangatkanku malam ini. Hubungi balik ya Sayang…” bunyi pesan yang kuterima seminggu lalu.
“Siapa?” tanya istriku yang kebetulan ada di dekatku saat aku sedang menerima pesan itu.
“SMS nyasar.”
“Kok dihapus?”
“Menuh-menuhi kotak pesan saja.”
“Jangan bilang dari perempuan ya!”
“Memang dari perempuan, tapi bukan buatku. Nyasar!”
“Nyasar bagaimana?”
“Ya nyasar.”
“Hemmm… Rupanya begitu ya. Awas kau!” istriku mendelik dan meninggalkanku menuju dapur.
“Percayalah, ini hanya pesan nyasar. Jangan berburuk sangka begitu. Demi moyang aku tak berbuat sesuatu yang tidak-tidak!”
Makin hari memang makin ada-ada saja. Makin banyak orang gila. Orang iseng. Mentang-mentang provider Indoshit sedang promo besar-besaran, menggratiskan SMS dan menelepon lalu seenaknya orang-orang mengisengiku.
Dan makin hari istriku makin curiga padaku. Sudah seminggu sejak aku menerima pesan pendek tak jelas itu ia tak mau bicara lagi denganku. Kalaupun bicara itu hanya dalam keadaan terpaksa, dengan muka ditekuk seperti kardus dan menambah jelek mukanya yang memang jelek macam nenek-nenek. Huftt…
“Awas ya kalau ketahuan siapa yang mengirim pesan itu, pasti bakal aku ikat orang itu di pohon jati di kuburan angker selama semalam. Biar tahu rasa,” batinku.
Aku yakin ini semua ulah teman-temanku, karena hanya mereka yang tahu nomor ponselku. Tapi aku belum bisa mencurigai seorang dari mereka. Maman, Mindraes, Dulgenit, aku menyebut tiga nama kawanku yang selama ini biasa mengisengi orang. Adakah seorang dari tiga orang ini yang patut aku curigai? pikiranku meraba-raba. Bisa jadi ketiganya berkomplot mengerjaiku.
“Apakah ini Tuhan?” masih terngiang-ngiang pertanyaan dari nomor tak kukenal itu. Aku ingat-ingat lagi warna suaranya, caranya berbicara dan perangainya dalam berkata, tapi belum kutemukan gambaran, tak ada suara temanku yang seperti itu. Ataukah ini seorang yang sengaja ingin mengacaukan pikiranku? Bisa jadi seorang yang sengaja mengacaukan pikiranku. Sedikit demi sedikit, pelan namun pasti, ia menerorku dengan cara-cara yang tak biasa melalui telepon dan pesan singkat. Mereka ingin aku gila dengan perlahan.
Tapi apakah aku Tuhan. Ya apakah benar aku Tuhan, seperti yang ditanyakan orang dalam panggilan telepon itu? Aku meraba wajahku. Aku meraba tanganku. Lalu aku pergi ke depan cermin dan bercermin dengan sungguh-sungguh. Aku lihat wajahku sendiri. Aku lihat kedalaman wajahku. Aku lihat sorot mataku, bibirku, bentuk hidungku, dahi dan pipiku. Tidak, tidak ada sesuatu yang berbeda.
Hari ini aku hanya demam. Pikiranku mulai ke mana-mana. Dan sepertinya orang yang menelponku itu tahu aku sedang tidak enak badan. Kakiku mulai goyah dan lemas, pandanganku berkunang-kunang, kepalaku terasa berat, bumi berputar, berputar seperti komidi putar, makin kencang, tambah kencang dan…. Braaaak… Kakiku tak mampu menyanggah tubuhku. Tubuhnya roboh ke lincak tanpa kasur. Awan mulai gelap, bumi mulai gelap, angin ribut di atas pepohonan, batu-batu melompat tidak karuan seperti ribuan lelaki-perempuan dalam konser musik rock di lapangan terbuka.
Aku tergeletak tak berdaya, rasa panas campur dingin menguasai tubuhku. Rasa sakit memeluk erat-erat lapisan kulitku dan palu godam bertengger di kepalaku. Aku sekarat dan dalam sekarat aku melihat:
Seorang perempuan berbaju hitam, menebar jala di atas rerumputan. Lalu turun gerimis dari atas bukit, segerombolan anak-anak bernyanyi.[1]
Namun tiba-tiba ponselku bernyanyi, melantunkan lagu dangdut koplo Jaran Goyang yang sedang nge-tren. Itu nada panggilan masuk. Aku lepas dari sekarat. Aku buka mataku. Aku bangun dan melangkah tertatih-tatih menuju meja tempat ponselku tergeletak. Nomor itu lagi…
“Halo…” hening.
“Halo…” hening.
“Haloooo….” masih tak ada jawaban. “Siapa ini, heeehhh, ini siapa? Jangan coba-coba menggangguku!”
“Kalem, Pak,” sebuah suara dari seberang. “Aku tidak budek,” katanya.
“Kalau tidak budek kenapa tidak menjawab!?”
“Sedang menunggu.”
“Menunggu apa?”
“Menunggu sinyal.”
“Memang sinyal sedang pergi ke mana?”
“Sedang mencari Tuhan.”
Tut… tut… tut… Makklojonggebot! Panggilan diputus.
Geram, panas dan jarum-jarum menusuk dadaku. Masih sempat-sempatnya ada orang menggangguku saat aku sedang sakit begini. Dengan amarah sebesar gelombang tsunami aku coba panggil balik nomor itu.
“Isi dulu pulsa Anda sebelum melakukan panggilan. Dan tahan emosi, tahan, tahan dan mencobalah untuk bersabar.”Operator pakai berceramah segala. Dasar babi!
Tak harus menunggu waktu lama, tiba-tiba ponselku bernyanyi dangdut koplo lagi, Jaran Goyang. Kulihat di layarnya, bukan nomor tadi. Tapi sama-sama nomor baru yang belum pernah masuk ke ponselku: +628Y5K00E33.
“Mau apa lagi?”
“Maaf,” ujarnya dari seberang, suaranya terdengar begitu lembut, suara perempuan, seperti aku pernah mendengar suara itu. Tapi di mana? Apakah ia adalah seorang yang telah menjadi masa laluku dan mencoba menghubungiku kembali? Apakah ia adalah mantan kekasihku yang sedang mencariku? Pikiranku mulai bekerja—meski tubuhku tetap diserang demam dan kepalaku nyut-nyut tidak karuan. Apakah ia adalah Fitri, Iin, Isma, Rofa, Ulfa, atau Siti?
Andaikan orang dalam panggilan ini adalah nama yang terakhir kusebut, tentu aku mau berbicara panjang lebar dengannya. Tentu aku tak akan menolak jika seandainya ia ingin kembali menjadi kekasihku, meskipun, tentu aku harus berkhianat pada istriku, menghianati sebuah ikatan suci perkawinan. Akan kutanggung segala konsekuensinya meskipun mahal harganya! Andaikan ia memang Siti, akan aku telepon ia setiap waktu. Sudah lama kutunggu-tunggu ia untuk datang kembali ke dalam hidupku. Akan aku ceritakan ketidakbahagiaanku dalam berumah tangga. Akan kuceritakan kegalakan istriku, kesepian hari-hariku dan semua kisah hidupku, juga tentang skizofreniaku yang kini hampir sembuh.
“Maaf,” sekali lagi suara itu melayang dari seberang sana, “Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar, saya sedang keluar.” [2]
Tiba-tiba dari muka pintu muncul istriku, wajahnya seperti gelas plastik yang terkena api, tak sedap dipandang. Tangannya yang cukup gesit tiba-tiba menyambar ponsel yang sedang kuletakkan di telinga.
“Hei pelacur! Berani-beraninya mengganggu suami orang. Awas kucari kau. Kugorok lehermu, kumutilasi tubuh najismu itu dan kulemparkan potongaan-potongan tubuhmu ke hutan biar dimangsa anjing-anjing liar.” Suaranya menggelegar. Sesekali ia mendelik ke arahku dan tangannya menuding-nuding seperti jenderal yang sedang haus darah.
“Di mana posisimu sekarang? Kalau kau memang gatal dan tak bisa ditahan, dan pengen suamiku, boleh ambil noh! Tapi sebelum mengambil dia langkahi dulu tengkukku?! Di mana posisi kau sekarang?!”
Tut… tut.. tut… panggilan diputus dari seberang.
“Hati-hati kau, kupotong kau punya manuk!” ancamnya lalu meninggalkanku, tubuhnya yang seperti gajah membuat lantai kamar yang ditapakinya menjadi bergetar.
Meski dalam keadaan seperti ini aku masih bersyukur, karena ponselku tak sampai dibanting oleh istriku—dan sepertinya dia memang tak ada niat untuk membantingnya. Ini ponselku satu-satunya dan sangat kusayang, melebihi sayangku kepada dia, istriku itu, gajah galak itu!
Aku mencoba berdamai dengan diri sendiri, meredakan magma yang ada di dadaku, dan sedikit demi sedikit nyut-nyut di kepalaku mulai hilang. Begitu juga dengan demam yang ada di badan. Istriku sudah sampai di dapur dan terdengar ia sedang berkelotek dengan piring-piring, sendok, dan gelas.
“Oh kamar, berilah kedamaian untukku sore ini,” munajatku. Burung merpati yang bertengger di ranting pohon belimbing di luar kamar tertawa-tawa santai mendengar doaku.
Tapi, lagi-lagi ponsel itu bernyanyi dangdut koplo. Nomor baru lagi: 0335-854-&%$. Aku pura-pura tak mengacuhkan panggilan itu. Aku beranjak dari tempatku menuju pintu kamar. Pintu kututup rapat-rapat dengan tujuan agar istriku tak mendengarku. Aku kembali ke tempat ponselku berada.
“Halo…” Kali ini aku memulai dengan santai, suaraku kubuat selembut mungkin. Karena aku yakin seorang perempuan di seberang sana sedang menungguku bicara. “Pasti Anda sedang mencari Tuhan ya? Tuhan sedang di sini, sedang menunggu Anda,” kataku pada penelepon itu.
“Heeeeh… Heeeeh… Apa-apaan ini? Apa maksudnya? Jangan pura-pura tak waras ya Cak,” suara laki-laki dalam telepon dengan nada begitu kasar.
“Loh?!”
“Begini Cak Kim,” ucapnya, “Sampeanini sudah lima bulan tidak membayar kreditan motornya, jadi kapan mau dibayar? Kalau tidak, akan kami sita itu motor. Kami sudah terlalu toleran dan sabar beberapa bulan ini Sampeantidak membayar. Sekali lagi saya ingatkan, jika dalam waktu tiga hari dari sekarang tidak bayar, akan kami SITA!”
Tut… tut… tut.. tut… (*)
Denpasar, 2018
Keterangan:
[1] Mimpi dalam Demam, puisi Frans Nadjira.
[2] Tuan, puisi Sapardi Djoko Damono.