My Hair My Hair
My hair, my hair, the flame to flare
My hair, my hair, dare to be bare
My hair, my hair, my only hair
My only hope lost in despair
One day you pulled my hair
All of them are pulled out from their roots
You dragged me out of our home
People watched. People got mad.
But nobody helped.
My hair, my hair, my only hair
My only dear lost on nowhere
My hair, my hair, my only hair
Where do you find a fine chair
Your destiny is not to sit, but to flow in the air
So fly away my hair my only hair
Another day you pulled my hair, again
People watched, again
People got mad, again
They did not help, again and again
I called a police. He came eventually.
But he blamed me, he said I was a bad woman to a man
I cried, but nobody cared.
The one and only hair
The dare to be bare hair
The last hair to be fair in the air
Just be hair
Just be there
My hair, my hair, my only hair
My only hope lost in despair
–– Kadek Sonia Piscayanti
Bagi saya sendiri, puisi adalah ruang paling terbuka. Ia seakan memberikan saya ruang seluas-luasnya untuk masuk dan mengertinya, tentu masing-masing dari kita akan menangkap hal yang berbeda meskipun mendengar atau membaca puisi yang sama. Mungkin saya sampaikan lebih dulu di awal bahwa tulisan ini teramat sangat personal, menyentuh diri saya sendiri karena proses mengalami kemarin.
Entah kebetulan atau bagaimana, saya kurang paham. Kenangan foto tepat tujuh tahun yang lalu tentang saya dan teman-teman Komunitas Mahima kembali muncul di beranda Facebook. Tanggalnya sama persis 28 Oktober, hanya saja berbeda tempat. Tujuh tahun lalu di Denbukit, dan kemarin di Denpasar. Kenangan foto itu membawa saya pada ingatan-ingatan bersama mereka, menonton mereka musikalisasi puisi atau melakukan pementasan teater. Ya, sesekali juga membantu hal lain yang sekiranya perlu.
Ketika menonton pementasan musikalisasi puisi Komunitas Mahima kemarin, saya diingatkan kembali masa-masa itu. Meskipun orang-orang di dalamnya kebanyakan taklagi sama, semangat dan keseriusan teman-teman saya di sana takpernah berubah. Serius nan khusyuk saat berpuisi.
Setelah absen menonton mereka setahun terakhir, kemarin saya kembali menonton musikalisasi yang dibawakan. Namun kemarin saya merasakan ada sesuatu yang berbeda. Terlebih ketika dinyanyikannya sebuah puisi berjudul My Hair My Hair karya Kadek Sonia Piscayanti.
Saya pikir hanya diri saya sendiri yang merasakan bahwa puisi itu begitu murung, begitu sedihnya. Tapi, ketika menoleh ke samping kiri saya, ada seseorang perempuan Bule yang tampak sedih dengan tisu di tangan kirinya. Sesekali saya melihatnya – mengusapkan tissu ke matanya yang sedikit berkaca-kaca. Puisi itu mungkin lebih masuk ke dalam dirinya. Selain begitu dekat dari segi bahasa (baca: Bahasa Inggris), lirik-lirik dalam My Hair My Hair begitu condong mewakili suara perempuan. Hal ini terlihat dari bagaimana ia sungguh merawat dan mencintai rambutnya. Selain itu, dalam lirik ada seorang perempuan yang dipandang sebelah mata hanya karena bagaimana mereka memilih model rambut.
Dari beberapa puisi yang dibawakan pada saat itu, My Hair My Hair adalah puisi yang paling saya nikmati. Keputusan Komunitas Mahima menambahkan intrumen semacam keyboard dan biola sangat tepat. Dua instrumen tersebut mendukung puisi yang sudah murung dari awal, menjadi lebih murung. Penonton tampak begitu serius mendengarkan ketika ada beberapa bagian puisi dibacakan ada yang memang dilagukan. Sehingga olah puisinya tak kerkesan monoton nihil kejutan.
Puisi terkadang menghibur kita. Takjarang, puisi membawa kita murung, membawa kita pada perenungan-perenungan yang sesungguhnya. Sesekali puisi memang menjauh dari kita sehingga takada perasaan apapun yang hinggap dan kita rasakan. Tapi di lain waktu, puisi tampak menghibur kita meskipun dengan cara-cara aneh yang kita anggap samasekali tak menghibur. Jika begitu, bukankah hal tersulit adalah bagaimana membuat puisi mencintai kita? Hiduplah mereka yang hidup dan dicintai puisi. [T]