Tulisan ini bertujuan: (1) mengklarifikasi judul berita, “Ny Putri Koster Pembaca Puisi Terbaik di Indonesia,” (2) menanggapi komentar yang mengatakan, pernyataan saya lantaran pembaca puisinya seorang istri gubernur, (3) menyampaikan argumen atas pernyataan saya. Berikut saya jelaskan kronologinya.
Saat pembukaan Bali International Literary Simposium 2019 di Rumah Jabatan Gubernur Bali, Jayasabha, Denpasar (Kamis, 10/10/19) entah mengapa, saya diminta memberi sambutan mewakili sastrawan. Dan selalu, memberi sambutan di hadapan para sastrawan hebat dan reputasional–sekadar menyebut beberapa— seperti Putu Wijaya, Warih Wisatsana, Putu Fajar Arcana, Joko Pinurbo, dan sederet panjang sastrawan Indonesia lainnya, hati kerap kecut, karena merekalah sesungguhnya yang lebih pantas. Dalam acara itu, hadir pula beberapa Indonesianis, seperti Koh Young Hun (Korea), Pamela Allen (Australia), Jean Couteau (Prancis), seorang penerjemah dari Jerman (maaf, saya lupa namanya), dan entah siapa lagi.
Selepas Gubernur Bali, Wayan Koster, menyampaikan sambutannya yang menegaskan kembali kebijaksanaannya dalam upaya pemajuan kebudayaan, termasuk di dalamnya, bahasa dan kesusastraan (di) Bali, giliran saya menyampaikan sambutan. Setelah berbasa-basi sedikit dan bicara ngalor-ngidul, saya menyampaikan rasa terima kasih kepada Ibu Putri Suastini Koster, yang suaminya tidak lain, Pak Wayan Koster, Gubernur Bali. Acara Bali International Literary Simposium 2019 sesungguhnya rangkaian kegiatan pertemuan sastrawan dalam dan luar negeri, termasuk para Indonesianis.
Bermula di Banjarmasin (2017) dengan mengambil tema besar: “Sastra dan Sungai”. Ketika itu, Ibu Putri Suastini Koster diundang untuk baca puisi. Pilihan mengundangnya semata-mata atas pertimbangan, bahwa beliau salah seorang pembaca puisi terbaik di Indonesia. Dalam perbincangan dengan Walikota Banjarmasin, Bapak Ibnu Sina, atau dalam pengantar sebelum Bu Putri baca puisi—saya lupa—, ia memohon doa restu hadirin untuk Pak Wayan Koster yang akan maju dalam Pilgub Bali. Lalu, terucapkanlah pernyataan kira-kira begini: “Terpilih atau tidak terpilih Pak Wayan Koster sebagai Gubernur Bali, acara ini tahun depan (2018) kita selenggarakan di Bali.”
Tahun 2018 Pak Wayan Koster terpilih sebagai Gubernur Bali. Tetapi, perhelatan akbar semacam itu, tidak dapat dikerjakan secara terburu-buru. Maka, penyelenggaraan untuk tahun 2018 belum dapat dilakukan di Bali. Kami kemudian menawarkannya di Bogor dengan pelaksana Fakultas Ilmu Sosial Budaya Universitas Pakuan (FISIB Unpak). Tema yang diusung di Bogor adalah sastra dan komunikasi, sebab acara itu hendak dikaitkan dengan ulang tahun program studi komunikasi FISIB Unpak.
Setelah memasuki tahun 2019, Ibu Putri Suastini Koster mengisyaratkan, bahwa Bali kali ini sudah lebih siap. Penyelenggaranya Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.
Begitulah latar belakang pelaksanaan Seminar Internasional Sastra Indonesia di Bali 2019. Persiapan pun dilakukan. Meskipun pelaksana acara itu Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, konten acaranya diserahkan kepada para sastrawan Bali sendiri, yaitu Putu Fajar Arcana, I Wayan Juniarta, dan Warih Wisatsana yang ketiganya bertindak sebagai kurator. Barangkali, karena saya ikut terlibat dalam pelaksanaan acara di Banjarmasin dan di Bogor, dalam persiapan awal, Warih Wisatsana beberapa kali mengontak saya dan mengajak berdiskusi membincangkan berbagai halnya. Menjelang pelaksanaan acara itu, pihak panitia pun berulang kali menghubungi saya, meminta masukan ihwal seminar itu.
BACA JUGA:
- Konflik Kasta dan Adat Dalam Kesusastraan Bali Modern
- [Pidato Umbu Landu Paranggi] – KemBali ke Bali: KemBali ke Kedalaman Akar-Dasar Sastra
Ketika saya tahu, saya sebagai salah seorang pembicara dalam seminar itu, tentu saja saya bangga dan bersyukur. Bagi saya, undangan itu merupakan sebuah kehormatan yang luar biasa. Itulah sebabnya saya berterima kasih kepada pihak Panitia, Dewan Kurator, dan teristimewa Ibu Putri Suastini Koster. Oleh karena itu pula, dalam sambutan saya, sepatutnya rasa syukur dan ucapan terima kasih itu saya nyatakan. Isinya, kira-kira begini: “Terima kasih saya sampaikan kepada salah seorang pembaca puisi terbaik di Indonesia, Ibu Putri Suastini Koster, Ibu Gubernur Bali.”
Rupanya pernyataan “… salah seorang pembaca puisi terbaik di Indonesia” itu, dikutip wartawan dan dijadikan judul berita: “Ny Putri Koster Pembaca Puisi Terbaik di Indonesia” (Bali Tribune, 10/10/2019). Judul berita yang sama, muncul pula dalam LenteraEsai.com (10/10/2019) dan Balipuspa News.com (11/10/2019).
Saya memahami pengambilan judul berita itu. Sebab, jika di dalam judul itu ada keterangan: “salah seorang” nilai judul berita itu jadi berkurang, tidak provokatif. Saya pikir, perkara itu merupakan hal yang lazim dalam dunia jurnalistik. Meskipun begitu, wartawan itu tidak memelintir isi beritanya. Berikut saya kutip penggalan berita tersebut. “Maman dalam kesempatan tersebut berterima kasih kepada Ny Putri Suastini Koster yang disebutnya salah satu pembaca puisi terbaik di Indonesia (Bali Tribune, LenteraEsai.com, Balipuspa News.com).
Pernyataan saya yang menempatkan Ny Putri Suastini Koster sebagai salah satu pembaca puisi terbaik di Indonesia, tentu dengan segala kesadaran dan pertimbangan.
Pertama, beberapa kali saya menyaksikan pembacaan puisi Putri Suastini Koster (selanjutnya saya sebut: Putri Suastini). Setidaknya, yang saya ingat, pembacaan puisi Putri Suastini di Tembi Yogyakarta, Taman Ismail Marzuki (dua atau tiga kali), Perpustakaan Nasional Salemba, dan di Banjarmasin. Jadi, saya punya dasar untuk melakukan penilaian.
Kedua, keterangan salah seorang pembaca puisi terbaik di Indonesia didasari juga oleh pengalaman saya menyaksikan pembacaan puisi selama ini –yang mungkin sudah ratusan kali. Tidak banyak memang penyair kita yang piawai membacakan puisi. Dari jumlah yang tidak banyak itu, dapat saya sebutkan di antaranya, Rendra, Imam Soleh, Godi Suwarna, Samargantang, Sutardji Calzoum Bachri, Amin Kamil, Sosiawan Leak, Asrizal Nur, Husnizar Hood, Dheni Kurnia, Jefry Al-Malay, dan nama-nama lain yang tak disebutkan di sini. Dari nama-nama itu, sebagiannya didukung oleh gaya teatrikal atau kemampuan pentas teater, sebagiannya lagi lebih mengandalkan kemampuan mengeksplorasi suara. Bagaimanapun, baca puisi bukanlah deklamasi. Dalam hal ini, kemampuan menerjemahkan pemahaman teks puisi dalam bentuk suara dan mengeksploitasi kualitas suara, penting artinya dalam baca puisi. Mengingat kini acara baca puisi cenderung dimanfaatkan sebagai pementasan, tak sedikit para pembaca puisi yang diiringi musik atau bahkan penari latar.
Ketiga, dari seluruh pembaca puisi terbaik yang disebutkan tadi, tidak ada pembaca puisi perempuan. Dalam hal ini, saya berani menyebutkan, di antara Putri Suastini Koster, bolehlah disebut Nana Riskhi Susanti (Nana Eres), Dhenok Kristianti, dan entah siapa lagi.
Keempat, di antara para perempuan pembaca puisi itu, ada kelebihan yang dimiliki Putri Suastini yang tidak dimiliki pembaca puisi lainnya, yaitu semacam idiolek khas Bali. Perhatikan saja omongan orang Bali ketika mengatakan konsonan /t/, seperti tokoh, begitu, dan seterusnya. Pola idiolek itu sejenis dengan orang Jawa yang mengatakan konsonan /b/ seperti (m)bandung, (m)bogor, orang Sunda yang mengatakan konsonan /p/ (katepe, tempe, dan seterusnya) atau lagi, orang Batak yang agak berbeda ketika mengucapkan vokal /e/, seperti pesantren, perkakas, dan seterusnya.
Kelima, puisi yang sering dibacakan Putri Suastini adalah puisi karya Dhenok Kristianti berjudul “Sumpah Kumbakarna”. Dalam hal ini, pemilihan puisi untuk dibacakan penting diperhatikan agar si pembaca puisi, selain dapat memahami pesan tersurat—tersirat makna puisi yang bersangkutan, juga keseluruhan dirinya secara total, dapat masuk ke dalam tubuh puisi. Di situlah Putri Suastini memahami betul, bahwa ia mesti cerdas memilih puisi yang dapat mewakili kegelisahannya sebagai perempuan. Nah, puisi “Sumpah Kumbakarna” karya Dhenok Kristianti adalah suara perempuan yang marah pada kekuasaan, menolak kecongkakan, dan menentang segala kebrengsekan laki-laki yang disimbolkan lewat tokoh Rahwana. Sebagai seorang Bali, Putri Suastini tentu sangat memahami ketokohan Kumbakarna, Rahwana, Shinta, dan Rama.
Keenam, dengan pemahaman itu, bagaimana Putri Suastini menerjemahkannya lewat suara, ekspresi wajah, dan gerak tubuh. Kembali kita dapat menangkap kecerdasan Putri Suastini menyampaikan pesan yang terkandung dalam puisi itu. Apa yang dilakukannya? Sebelum ia membacakan teks puisi itu, Putri Suastini mengawalinya dengan model senandung (?) yang khas Bali. Bagian awal ini—yang semacam senandung itu—penting artinya sebagai pintu masuk menyampaikan pesan teks puisi. Agak sulit saya memasukkannya sebagai sekadar rintih atau jerit, tetapi di sana ada nuansa rintih dan jerit. Di antara rintih dan jerit itu, ada semacam lenguh pula, tapi tak sepenuhnya sebagai lenguh. Oleh karena itu, saya menafsirkan pembuka itu sebagai lenguh—rintih—jerit. Ketiga jenis suara itu, dihadirkan sekaligus sebagai pembuka.
Bagi saya, lenguh—rintih—jerit itu khas Bali. Bunyi yang dikeluarkan Putri Suastini tampaknya tidak melalui gerak lidah dan langit-langit, melainkan sebagiannya dari tenggorokan. Seperti suara cak … cak … cak para penari kecak. Bunyi yang kita dengar itu begitu khas. Maka yang terdengar kemudian adalah bunyi magis yang menyihir. Untuk membuktikan kekhasan itu, kita dapat membandingkannya ketika bunyi cak … cak … cak … itu dikeluarkan orang Sunda atau Batak. Akan terasa ada sesuatu yang kurang pas atau hambar, akan terasa ada sesuatu yang hilang, dan sesuatu yang hilang itu adalah bunyi magis! Lalu apa kaitannya dengan pesan puisi “Sumpah Kumbakarna”?
Inilah salah satu kelebihan Putri Suastini. Ia seperti mewartakan posisi Shinta yang marah pada arogansi Rahwana, tetapi juga marah pada dirinya sendiri yang tak berdaya melakukan perlawanan. Di depannya kini ada sosok bajingan yang mahasakti. Ia ingin melawan, dan harus melawan, tapi ilmunya tak cukup dapat mengalahkan Rahwana. Ia ingin minta tolong, tetapi kepada siapa? Kepada sang kekasih, Rama yang entah di mana atau kepada Dewata yang tak kunjung mengulurkan tangannya. Ia tak berdaya, tapi tak ingin pasrah. Dalam situasi kalut, cemas, marah, kesal, dan seterusnya itu, yang dapat dilakukan hanya lenguh-rintih-jerit itu.
Lewat lenguh-rintih-jerit yang dilantunkan Putri Suastini, asosiasi saya tiba-tiba membayangkan posisi seorang Tenaga Kerja Wanita (TKW) nun jauh di sana. Ia berada jauh dari negerinya, jauh dari saudara-saudaranya, tak tahu pula di mana keberadaan teman-teman sesama TKW. Yang dihadapinya kini adalah raksasa majikan yang punya kekuasaan, modal, dan kekuatan fisik. Ia tak berdaya menghadapi segala bentuk kekerasan: verbal, fisikal, seksual. Ia ingin melawan, dan harus melawan. Tetapi dengan cara apa? Maka, lenguh-rintih-jerit itu adalah suara perempuan tak berdaya, tetapi tidak mau pasrah. Nah, pembuka yang disampaikan Putri Suastini saat mengawali pembacaan puisi “Sumpah Kumbakarna” adalah lenguh-rintih-jerit Shinta, bukan Kumbakarna. Lenguh-rintih-jerit itu adalah representasi suara perempuan.
Ketujuh, meskipun judul puisi itu “Sumpah Kumbakarna”, suara keras dan tegas seorang ksatria, di sebaliknya ada suara yang tak dibunyikan, semacam suara yang diam mendekam. Itulah gemuruh batin Shinta. Oleh karena itu, untuk mendukung kemarahan Kumbakarna sampai ia bersumpah, tak cukup sekadar pewartaan, Shinta diculik Rahwana, tak cukup pula lewat ekspresi: “ … bukan begitu laku ksatria!”
Tampaknya, Putri Suastini menangkap suara batin Shinta. Tetapi, teks puisi tak memberinya ruang. Maka, yang muncul kemudian adalah lenguh-rintih-jerit perempuan yang teraniaya, tak berdaya, dan berhadapan dengan kekerasan verbal, fisikal, seksual. “Sumpah Kumbakarna” adalah suara pembelaan pada kaum yang teraniaya. Shinta representasinya yang secara simbolik mewakili sebuah bangsa, sebuah negeri. Seperti drama Bebasari, Rustam Effendi. Shinta adalah simbol ibu pertiwi, yang dikatakan Kumbakarna, “ … kepala taruhannya!”
Sebagai pembaca puisi, Putri Suastini secara cerdas, berhasil menerjemahkan suara yang tersembunyi itu. Lalu, sebagai seorang Bali, ia punya kemampuan mengolah vokal yang menjadi karakteristik khas Bali: idiolek!
Kedelapan, salah seorang penyair Bali yang menyadari betul karakteristik kebaliannya adalah I Gusti Putu Bawa Samargantang yang berhasil mengeksplorasi kekayaan puisi-puisi Bali dalam tradisi lisan. Bali sudah menyediakan mantra dan sejenisnya yang tidak akan mudah dibacakan orang non-Bali. Seperti orang Jawa yang selalu mengalami kesulitan ketika mengucapkan kata-kata tertentu dalam bahasa Sunda yang menyimpan vokal /eu/. Sebut saja, misalnya, kata peuyeum, beureum, keukeuh, laleur, dan seterusnya. Dalam konteks ini, kualitas vokal Putri Suastini yang menderam dipadukan dengan bunyi suara yang keluar dari tenggorakan, menjadikan pembacaan puisinya menonjol sendiri. Jika Samargantang membaca puisi “Sumpah Kumbakarna” sangat mungkin yang akan muncul kemudian adalah representasi Kumbakarna. Tetapi, puisi itu ditulis melalui suara perempuan. Di sinilah, Putri Suastini menangkap jagat perempuan dalam puisi Dhenok Kristianti itu. Ia dapat secara total masuk ke tubuh puisi.
Misalnya lagi, Putri Suastini membaca puisi “Jante Arkidam” karya Ajip Rosidi. Tentu ia akan berhadapan dengan masalah resistensial, karena di sana –dalam puisi itu—Jante Arkidam digambarkan punya kesaktian fisik dan kemampuan menaklukkan perempuan. Jadi, salah satu faktor keberhasilan Putri Suastini membaca puisi “Sumpah Kumbakarna” karya Dhenok Kristianti adalah kemampuannya menangkap passion, spirit, dan ideologi yang mendekam di balik teks.
Kesembilan, pembaca puisi (yang serius, apalagi jika ditempatkan sebagai profesi), sedikitnya mesti memahami: (i) makna tekstual, yaitu isi dan pesan yang terkandung dalam teks; (ii) makna kontekstual, yaitu perkaitan teks dengan dunia di luar teks, dan (iii) makna simbolik, yaitu pesan ideologis yang berada di belakang teks. Dengan pehamanan ketiga hal tadi, tugas berikutnya yang mesti dilakukan pembaca puisi adalah menerjemahkan semua pemahaman itu melalui intonasi, mimik, ekspresi wajah, gerak tubuh, dan seterusnya.
Sebagian pembaca puisi—apalagi dengan latar belakang pelatihan teater—lazim mengeksploitasi semua unsur suprasegmental sambil berusaha pula manfaatkan sarana yang ada di atas panggung. Tidak sedikit pula, seperti sudah disebutkan, memanfaatkan latar musik atau apa pun. Meskipun begitu, unsur utama dalam pembacaan puisi sebagai sebuah pentas puisi, adalah suara—bunyi—vokal. Nah, kekuatan pembacaan puisi Putri Suastini adalah kemampuannya mengolah suara yang didukung oleh mimik dan gerak tubuh seperlunya. Jadi, tak perlu ia berguling-guling, jungkir-balik atau berlari ke sana ke mari. Tidak perlu pula ia mengobral gerak tangan atau hentakan kaki dalam setiap ujaran secara berlebihan. Cukup sekali-kali saja, cukup seperlunya sesuai tuntutan teks. Maka, tanpa perlu melihat ke panggung, kita tetap dapat merasakan aura magis dalam suaranya yang khas. Dalam beberapa kesempatan saya menyaksikan pembacaan puisi Putri Suastini, saya justru menikmatinya sambil memejamkan mata. Tetapi, tokh, suaranya tetap dapat memancarkan aura magis, sihir, dan berhasil mengklik saklar asosiasi membayangkan dunia di luar teks.
Begitulah pandangan saya atas pembacaan puisi Putri Suastini. Jadi, terlalu naïf jika pernyataan saya dikaitkan dengan persoalan di luar itu. Oleh karena itu, saya tetap pada sikap saya: “Putri Suastini, salah seorang pembaca puisi terbaik di Indonesia!” Jika pembaca puisi itu khusus perempuan, saya malah berani menyebutnya: ““Putri Suastini, perempuan pembaca puisi terbaik di Indonesia!” Setidak-tidaknya, terbaik dalam membacakan puisi “Sumpah Kumbakarna”.
Untuk bahan telaah bersama, berikut saya sertakan puisi “Sumpah Kumbakarna” karya Dhenok Kristianti yang saya kutip dari blog: Dhenok Kristianti.
SUMPAH KUMBAKARNA
“Terkutuk, Kanda Rahwana!
Menculik Shinta adalah mencuri mestika kerajaan Ayodya
Meski atas nama cinta, bukan begitu laku ksatria!
Kembalikan sang dewi ke pangkuan Sri Rama,
dan biarkan kuselesaikan tidurku yang tertunda.”
Sepuluh kepala Rahwana menentang kata Kumbakarna
Diumbarnya taring dalam mulutnya,
dan dua puluh tangan terarah ke satu titik : medan laga!
Ke sana sang adik mesti menuntaskan baktinya
Tak ada waktu bersilang kata
Kemarahan Sri Rama mengguncang bumi dan angkasa
Membangunkan Hanoman mengumpulkan bala wanara,
dan dari delapan penjuru mata angin menyerbu Alengka
“Bukan demi Kanda Rahwana kupertaruhkan nyawa,
sebab raja durjana tak pantas dibela
Tapi tanah tumpah darah Alengka kujunjung tinggi hingga puncak swarga!
Apa tak kupersembahkan bagi negeri?
Seandainya panah Sri Rama memenggal kedua tanganku,
kupertahankan kerajaan ini dengan kedua kakiku
Seandainya dipenggalnya juga kedua kakiku,
kulawan dengan tubuh buntungku
Sumpahku pada Alengka :
Perjuangan tak kan usai,
sebelum kepala terlepas dari raga,
sebab kesetiaan pada negeri hanya kepala taruhannya!”
Dhenok Kristianti, 2012
Maman S Mahayana, adalah seorang sastrawan berkebangsaan Indonesia. Namanya dikenal melalui karya-karyanya berupa puisi, prosa, artikel, dan buku-buku pelajaran bagi sekolah. Selain mengajar di perguruan tinggi, Maman juga seorang peneliti. Ia adalah salah satu pembicara dalam Seminar Internasional Sastra Indonesia (SISI) di Bali, 10-13 Oktober, yang diadakan di Gedung Ksirarnawa, Art Center, Denpasar, Bali.