/1/
Selama ini masyarakat Bali, khususnya anak-anak yang lahir setelah kemerdekaan, bertanya kenapa semua yang datang dari luar Bali disebut “uli jawa” (dari jawa). Orang Bali berangkat ke luar pulau Bali selalu disebut ke jawa padahal tujuannya bisa jadi ke Jerman, tetap saja dibilang ke jawa — ini dialami paman saya konon selalu disebut masekolah (belajar) di jawa, padahal kenyataannya di Jerman.
/2/
Generasi ini tidak paham bahasa Jawa Kuno. Termasuk saya dulunya tidak paham. Setelah belajar bahasa Jawa Kuno baru paham, ternyata bukan “jawa”, tapi “yawa”.
/3/
“Yawa” artinya “luar”. Kebalikannya adalah “jero” artinya “dalam”. Ini sama dalam bahasa Bali sekarang ada istilah “jaba-jro” (luar-dalam). Suara dana huruf “y” dan “j” sulit sering saling menggantikan, luluh. Demikian juga suara dan huruf “w” dan “b”. Biasa saling menggantikan —interchangeable.
/4/
Jejak “yawa” yang artinya “luar” ada pada banyak contoh sastra atau kitab Jawa Kuno yang awal. Seperti, sebagai contoh, kutipan kitab Saṅ Hyaṅ Kamahāyānikan: “Nihan ta vaneh pājara mami ri kita, ikaṅ śarīra i jro i yava stupa-prāsāda. Kunaṅ ta ṅaranya ikaṅ akṣara: namaḥ siddhaṃ.” (Ini adalah ajaran lainku padamu, di dalam diri dan di luar diri ada stupa-prāsāda. Juga aksara yang bernama: namaḥ siddhaṃ).
/5/
Jika orang-orang tua dulu menyebut ke luar Bali, entah ke Jawa, Sumatera, atau Jerman, sesungguhnya mereka cerdas atau melek bahasa Jawa Kuno atau Kawi. Bukan bodoh orientasi tidak tahu ada pulau lain selain Jawa. “Luas ke jawa”, artinya “Pergi ke luar”. “Nak jawa”, artinya: “orang luar”. “Yawa/jawa/jaba” artinya luar. Lawannya adalah “”jro” (dalam)
/6/
Seringkali kita tertawa, tanpa mencari asal usulnya, mengganggap orang dulu tidak paham kepulauan lain selain Jawa, dan mengolok-olok kalau orang-orang tua keliru menyebut semua orang dari luar adalah “nak jawa”, atau pergi keluar Bali semuanya “ke jawa”. Itulah yang benar. Leluhur kita biasa berperahu ke Jawa, dan ke pulau lainnya, seperti kakek moyang kami contohnya, yang hidup di pesisir Buleleng tahu betul pulau-pulau lain di utara Bali, berjumpa dan berdampingan dengan bangsa-suku Mandar dan Bugis, bahkan dari Maluku dan Tidore semenjak jaman dahulu kala. Mereka tahu geografi Nusantara dengan sangat baik.
/7/
Kalau kini anak-anak muda menyalahkan orang tua menyebut “luar” sebagai “jawa”, maka yang sesunguhnya terjadi adalah generasi sekarang terputus dengan bahasa Kawi. Mungkin kebanyakan makan makanan jawa, tontonan jawa, dan penyedap jawa (micin), maka tak mampulah melihat mana “yawa” mana “jro”.
/8/
“Sing nawang kaja-kelod” (kehilangan orientasi utara-selatan), mungkin bisa dibelikan kompas. Tapi kalau kehilangan orientasi “yawa-jro” (luar dan dalam) apa yang kita bisa belikan? Kemana mencari kehilangan pedoman itu?
Catatan Harian Sugi Lanus, 14 Oktober 2019