Nietzsche menyatakan amor fati dalam bukunya The Gay Science sebagai penyerahan diri pada hidup dengan berkata ‘ya’ atas apapun yang menimpanya, baik atau buruk. Selanjutnya, Nietzsche dalam Ecce Homo menulis rahasia kebahagiaan adalah amor fati. Dengan tidak menyesali masa lalu atau takut pada masa depan, bukan dengan pasrah dan menyerah namun alih-alih mencintainya dengan seluruh.
Wayan “Jengki” Sunarta barangkali telah menemukan Amor-Fati-nya sendiri dalam puisi. Seperti tercuplik dalam puisinya “AmorFati”.
Aku mencintai takdirku
Meski ladang-ladang kuyu
Dan bunga-bunga layu
Di taman penuh debu
Merunut proses kreatif Wayan ‘Jengki’ Sunarta, kepiawaiannya mengolah puisi tentu tidak dicapai dengan serta merta. Jalan puisi sejajar dengan pengalaman hidup si penyair, tempat manusia berdialog dengan diri, dan kerap kali mempertanyakan eksistensi dirinya. Jengki, dalam hal ini, sadar betul dengan proses yang dialaminya. Ia seolah hadir dengan kepolosan, kesederhanaan, dan kerendahatian. Ia menerima takdirnya sebagai seorang Jengki, seorang penyair, dan seorang manusia biasa.
Kesederhanaan itu dengan benderang ia nyatakan dalam puisi pertama di buku Amor Fati.
Kutulis Puisi dengan Bahasa Sederhana
Kutulis puisi dengan bahasa sederhana
Bagai kebeningan telaga
Agar mampu merasuki jiwamu
Di mana kau mampu bersekutu dengan bayanganmu
Kutulis puisi dengan bahasa sederhana
Agar bunga-bunga mekar pada tapak tanganku
Dan embun rela mengakhiri takdirnya
Demi matahari dan lebah madu
Kutulis puisi dengan bahasa sederhana
Agar jiwa kita saling meraba
Dan dengan girang kau akan berseru
: aku berada dalam pelukanmu
Kutulis puisi dengan bahasa sederhana
Mungkin kau makin tidak memahamiku
Maka dengan mesra kubiskkan kepadamu
:tidak apa-apa, sayangku
Puisi “Kutulis Puisi dengan Bahasa Sederhana” menyatakan kepada pembacanya bahwa puisi di dalam buku ini berkata-kata sederhana, berisikan sebuah ajakan serupa tuan rumah pada tamunya untuk menyantap hidangan, mari, memaknai diri. Sekaligus kerendahatian Jengki memaknai dirinya sebagai penyair bahwa ia ingin pembacanya membaca karyanya agar takdir kepenyairannya terpenuhi, dan jika mungkin pembaca bisa menjadi Jengki. Dan jika sekiranya puisi-puisinya sulit dipahami, maka biarlah begitu adanya.
Dalam “Aku Datang” Jengki menyatakan kepasrahannya sebagai manusia yang fana, menyatakan kelelahannya pada kelahiran berulang-ulang, berujung pada penerimaan pada keniscayaan kematian, namun tetap apa dan bagaimana, tentulah misteri bagi manusia.
Aku datang, aku datang
Ke dalam pelukanmu
O, samudera rahasia
Kuburan terakhirku
Tak jauh berbeda dengan Merayakan Usia
(selamat merayakan usia, gumamku)
Semoga puisi sederhaana ini sampai padamu
Sebelum rokokku benar-benar padam
Menjadi puntung rokok mengabu)
Entah puisi ini adalah persembahan bagi kawannya yang berulang tahum atau ini adalah percakapan dalam diri, yang selagi sempat sebelum terlambat mengucapkan dan bersulang, sebab hidup itu sementara.
Jengki banyak memberikan puisi persembahan pada sekelilingnya, tak membatasi pada kawan tetapi juga pada alam dan untuk dirinya sendiri, serta puisi bernuansa gugatan sosial. “Obituari Sungaidan “Obituari Laut” menyiratkan kepedihan akan kehilangan mata sungai dan laut yang tercemar. Dalam “Berulangkali Ia Meyakinkan Aku”, kita dapat membayangkan penolakan pada janji-janji pembangunan yang mengorbankan alam, dan keprihatinan pada kaum petani, dan ragam fenomena sosial lainnya.
Berulangkali Ia Meyakinkan Aku
Demi rakyat makmur
Pantai dan teluk akan dikubur
Dengan pasir dan kapur
Namun aku terlanjur percaya
Anak-anak kepiting dan hutan bakau
Lebih penting dibela
Ketimbang silau cahaya pariwisata
Jangan lupa, Jengki adalah seorang pecinta. Pada “Sepasang Bayang”, Ia menulis sosok ratu-ratu pewayangan seperti Panchali, Saraswati, atau Dedes. Dan puisi kerinduan “Puisi Untukmu” dengan kata-kata yang cair, sebuah pernyataan dan kerinduan yang hangat, seperti pucuk-pucuk cengkeh dan perayaan cinta kasih sesederhana kaum tani yang tetap bertahan dalam suka dan duka.
Kita rayakan hari-hari cerah
Kaum tani dan buruh
Kita kutuk tahun-tahun kelabu
Hembusan angin barat gemuruh
Menghancurkan ladang tembakau
Tapi tak usah resah, cintaku
Dalam “Yanwa Tanarsu” – sebuah anagram namanya sendiri, Jengki memecah dirinya menjadi dua pribadi, dibatasi sebilah cermin, menjadikan peristiwa teatrikal yang menarik antara Tanarsu dan Sunarta. Tanarsu yang meyakinkan dirinya yang lain di seberang, dan Sunarta yang gamang (barangkali melongo saja kehilangan kuasa diri) mendengarkan wasiat tentang takdir yang akan dijalaninya.
Kau ada dalam diri-Ku
Kita saling melengkapi
Serupa madu pada sari bunga
Seperti bintang dalam galaksi
Lalu,mengapa kau
Berjalan tidak tentu arah
Apapun itu, Jengki telah memaparkan dengan kerendahan hatinya. Dialog diri yang personal tak malu-malu ia sampaikan kepada pembaca, dengan jujur melalui puisi. Kumpulan puisi Amor Fati oleh Wayan ‘Jengki’ Sunarta adalah sebuah kumpulan puisi yang berisi puisi-puisi yang ia kumpulkan dari tahun 2010-2019. Terangkum dalam tiga sub judul disesuaikan dengan tema: “Sepasang Bayang”, “Waktu Merapuh”, dan “Bayang yang Hilang”.
Dari keberagaman karya-karya Wayan ‘Jengki’ Sunarta, Amor Fati sangat layak dibaca oleh siapa saja dari kalangan apa saja. Puisi yang berhasil tak selalu berteka-teki, namun dapat juga bertumpu pada kedalaman maknawi dan daya renungnya. Kesederhanaan dalam kata takkan abai pada dua hal tersebut selama ada kejujuran si penulis hingga dapat diresapi oleh pembacanya. Sebab dalam hidup, pada akhirnya yang tersisa adalah kejujuran. [T]