9 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

I Belog Menjaga Anak Babi dan Belenggu Asumsi Pendidikan

Wayan PurnebyWayan Purne
September 4, 2019
inEsai
I Belog Menjaga Anak Babi dan Belenggu Asumsi Pendidikan

Ilustrasi diolah dari gambar di https://publicdomainvectors.org/

15
SHARES

“Kapan anak saya mulai belajar membaca dan berhitung, Bu?”

“Kapan anak saya bisa membaca dan berhitung? Sebentar lagi anak saya akan masuk SD.”

Pertanyaan ini aku dengar dari para orang tua kepada Bu Nengah ketika menemani anak-anak mereka bermain lego. Hatiku sontak terenyuh mendengar pertanyaan itu. Walaupun Bu Nengah menjelaskan panjang lebar tentang bermain merupakan belajar di usia mereka, tetap saja para orangtua menuntut anaknya bias secepatnya bisa membaca, menulis, dan berhitung.

Apakah seorang anak adalah sebuah komputer atau robot? Permasalahannya bisa diselesaikan dengan menyempurnakan logaritma-logaritmanya? Permasalahannya tidak sesederhana itu. Semestinya kita menyadari bahwa Ki Hadjar Dewantara sudah meletakkan pondasi filosofi pendidikan, yakni pendidikan yang memiliki kebermaknaan dalam arah melihat masa depan bagi anak didik itu sendiri di tengah paradigma jaman yang terus berubah.

Akan tetapi, kita sudah melupakan semua itu. Justru pondasi itu mulai retak dipalu oleh belenggu asumsi pendidikan yang sudah kita anggap sebagai kebenaran mutlak. Bahkan berkali-kali mengganti kurikulum, tetapi semakin keras dentuman palu asumsi pendidikan sebagai langkah cepat menggapai masa depan di Abad 21. Pondasi filosofi Ki Hadjar Dewantara pun terbelah berkeping-keping.

Kita hanya menyisakan sebuah asumsi bahwa sekadar bisa menghitung dan menghapal adalah sebagai pola keberhasilan berpikir anak, tetapi tidak mendidik untuk berpikir. Jika dididik untuk berpikir, kita tidak akan berhenti pada sekadar bisa menghitung dan menghapal atau sekadar bisa membaca, tetapi kita akan menemukan passion kita.

Kita pun hanya mencapai kedangkalan pandangan. Rasa ketakutan semakin mudah tertanam sebagai asumsi kedisiplinan. Kita terseret dalam arus dunia feodalisme tanpa ada keberanian menciptakan dunia sendiri dalam mengembangkan kreativitas dan imajinasi. Daya kritis, kreativitas dan imajinasi menjadi hal gila yang diasingkan di negeri sendiri. Menumbuhkan empati diabaikan. Ya, tidak salah Pramoedya Ananta Toer memiliki pemikiran dalam setiap karyanya bahwa pendidikan masih menyamankan bangsa kita menjajah bangsa sendiri.

Kemudian, belenggu asumsi mengingatkuku sebuah cerita “I Belog Menjaga Anak Babi” tatkala diceritakan kepada anak-anak. Cerita ini mungkin di daerah lainnya diberi judul yang berbeda karena dulu diceritakan dari mulut ke mulut oleh kakek kita.  

Dikisahkan, I Belog hidup berdua bersama ibunya. Ibu I Belog memelihara bangkung[1]yang memiliki 10 anak. Ibunya begitu bahagia melihat babi yang dipeliharanya sehat-sehat.

Suatu hari, Ibu I Belog akan pergi ke ladang untuk memanen jagung. Akan tetapi, Ibu I Belog merasa gelisah meninggalkan peliharaannya yang masil kecil-kecil apalagi tetangganya sering juga  kehilangan ternaknya.

“Belog, ke sini kamu sebentar.”  Ibu I Belog memanggil.

“Ya Bu, ada apa Ibu memanggilku?” I Belog menghampiri ibunya.

“I Belog sekarang diam di rumah! Kamu jaga kucit-kucit[2] jangan sampai lepas ataupun dicuri orang,” pesan ibunya sebelum pergi ke ladang.

“Ya, Bu, aku pasti menjaganya dengan aman,” jawab I Belog sungguh-sungguh.

“Oh, Ibu hampir lupa. Ingat ya, Belog, kucit-kucit ibu ada 10 ekor jangan sampai hilang,” ucap ibunya memperingatkan.

“Tenang, Bu, aku pasti menjalankan tugas dengan baik,” ucap I Belog sigap menenangkan ibunya.

Merasa pesannya sudah tersampaikan dengan jelas dan I Belog tidak akan lagi salah informasi, ibunya legas pergi ke ladang.

Kini, I Belog tinggal sendiri menjaga babi-babinya di rumah. Ia pergi ke dapur mengambil dakdak[3]. Ia bergegas pergi ke kandang untuk memberikan makan babinya.

“Kata ibu, kucitnya ada 10. Aku harus menghitungnya dulu. Adakah yang hilang?” pikir I Belog untuk memastikan agar kucit-kucit ibunya masih lengkap.

I Belog menghitung kucit-kucit itu, tetapi dalam hitungannya bahwa kucit itu ada 11 ekor.

“Ibu pasti salah menghitung ini. Masak kucitnya ada 11 ekor, dibilang ada 10 ekor,” pikir I Belog.

I Belog merenung beberapa saat memikirkan jumlah kucit yang lebih lagi satu ekor.

“Mengapa tidak aku jual saja satu kucitnya? Ibu pasti tidak tahu. Kata ibu, kucit yang harus dijaga adalah 10 ekor,” pikir I Belog penuh keyakinan.

“Tapi jika aku jual sekarang, ibu pasti keburu datang dari ladang dan ibu pasti marah karena melihat aku tidak ada di rumah,” gumam I Belog ragu.

“Ahh, aku sembunyikan dulu satu kucitnya sampai besok.”

I Belog masuk ke kandang babi dan mengambil satu kucit. Ia berkeliling rumah mencari tempat yang aman untuk menyembunyikan satu kucit itu. Akan tetapi, ia belum menemukan tempat yang aman untuk menyembunyikan kucitnya.

“Ooh, ke mana aku menyembunyikan kucit ini? Semua tempat sudah aku coba, tetapi akan mudah ditemukan oleh ibu. Buktinya aku dengan mudah melihat kucit ini ketika aku sudah menyembunyikannya. Ah, ibu sebentar lagi datang,” keluh I Belog terhadap dirinya sendiri. “Ooo ya, aku kan belum mencoba menyembunyikan kucit ini di punggung. Mungkin setelah menyembunyikannya di punggung, kucit ini aman tak terlihat,” pikir I Belog yang merasa idenya sangat cemerlang.

I Belog mulai mengikat kucit itu di punggungnya. Dan kucit itu sudah berada di punggunya I Belog.

“Akhirnya kucit ini aman tersembunyi dan tertutup kain. Aku tidak bisa melihatnya, berarti ibu tidak akan bisa menemukan kucit yang aku sembunyikan,” ucap I Belog bangga.

Dengan keadaan yang melelahkan, Ibu I Belog datang dari ladang menyunggi sekeranjang jagung. Sekeranjang jagung itu diletakkannya di teras rumah. Ia bergegas pergi ke belakang rumah melihat babinya di kandang. Ia ingin tahu apakah anak babinya masih lengkap atau tidak seperti saat ia pergi ke ladang. Ia menghitung semua anak babi itu.

“Belog, ke mana lagi satu babinya? Belog di mana kamu?” Ibunya memanggil I Belog dengan suara meninggi.

“Ada apa, Bu? Aku lagi di dapur membuat makan kucit,” jawab I Belog mendekati ibunya seolah-olah tidak tahu apa-apa.

“Ini kucitnya kok cuman ada 9 ekor? Pasti kamu tidak menjaga dengan baik kucit-kucit ini,” ucap ibunya I Belog yang masih sibuk melihat-lihat kucitnya mungkin tertutup badan bangkung.

“Bu, ini kucit jumlahnya sudah 10 ekor. Mana mungkin hilang. Mungkin ibu yang salah menghitungnya,” kata I Belog tegas tanpa menimbulkan kecurigaan bagi ibunya.

“Mana mungkin ibu keliru menghitungnya. Tadi sudah jelas ibu menghitungnya,” kata ibunya menggerutu membatah penjelasan I Belog.

“Benar, Bu. Saya sudah menghitungnya sampai dua kali. Kucitnya masih lengkap ada 10 ekor,” ungkap I Belog sedikit gugup meyakinkan ibunya.

“Coba hitung lagi biar ibu bisa melihat dengan jelas kamu menghitungnya,” pinta ibunya.

I Belog pun mulai menghitung satu-persatu dengan penuh keyakinan bahwa hitungannya pasti benar.

“Itu bangkung yang ikut kamu hitung, Belog!” ucap ibunya terlihat marah.

“Bangkung juga kamu bilang kucit. Kucit itu anaknya bangkung.”

I Belog hanya menunduk malu. Ternyata, ia hanya memiliki prasangka yang salah. “Sungguh ceroboh, aku tidak bisa membedakan antara bangkung dan kucit,” pikir I Belog.

“Belog! Apa saja yang kamu lakukan di rumah? Kamu sampai tidak tahu kalau satu kucit sudah hilang,” tanya ibunya menahan amarah.

“Aku tidak kemana-mana. Aku sudah menjaganya dengan baik. Mungkin sebelum ibu berangkat ke ladang, memang jumlah kucitnya ada 9 ekor,” jawab I Belog mencari-cari alasan agar kebohongannya tidak ketahuan.

“Tidak! Ibu yakin kucitnya ada 10 ekor,” sanggah ibunya. Terdengar suaranya ibunya I Belog meninggi.

I Belog hanya diam membisu dan perlahan-lahan mundur dari kandang babi. Ia ingin menghidar dari ibunya karena merasakan kebohongannya akan diketahui ibunya. Ia ingin secepat kilat melarikan diri tanpa pengetahuan ibunya.

“Belog! Kamu mau ke mana? Itu apa yang ada di punggungmu terbungkus?”

Ancang-ancang gerakan langkah seribu I Belog terhenti oleh teriakan ibunya. I Belog merasa tidak bisa menghindar lagi dari kebohongan yang diperbuatnya.

“Coba ibu lihat. Dari tadi, ibu tidak memperhatikan apa yang ada di punggungmu,” pinta ibunya mendekati I Belog.

I Belog sudah tertangkap basah oleh ibunya.

“Ternyata kamu yang menyembunyikan kucit ini. Lebih konyol lagi, kamu sembunyikan di punggumu sendiri. Ternyata ini alasanmu ingin melarikan diri.”

“Maaf, Bu, aku salah!”

Kini, I Belog hanya bisa menyadari atas kesalahannya yang memanfaatkan ketidaktahuannya terhadap perbedaan antara bangkung dan kucit. Ia tidak seharusnya melakukan semua kekonyolan itu sebagai pembuktian bahwa diri sudah pintar. Ia hanya memohon maaf kepada ibunya.

Ibunya sudah memaafkan semua kesalahan anaknya. Ia merasa bersalah yang menganggap bahwa anaknya sudah mengetahui segalanya sehingga setiap perkataanya bisa dipahami. Sedangkan kucit yang disembunyikan itu, kini sudah bisa berebut susu dengan kesembilan saudaranya.

            Kemudian, cerita “I Belog Menjaga Anak Babi” ini diceritakan, anak-anak sangat antusias mendengarkan kisah I Belog. Tanpa rasa takut dan penuh keberanian, anak-anak memprotes I Belog bahwa I Belog sudah salah menghitungnya. I Belog seharusnya hanya menghitung anak babinya saja, bukannya menghitung ibu babinya juga.

            Dalam hal ini, kita sedang melihat anak-anak mengkritisi asumsi-asumsi yang ada di pikiran I Belog. Begitu juga dengan kita, jika hanya terbelenggu dalam sebuah asumsi pendidikan, kita akan menganggap cerita “I Belog Menjaga Anak Babi”  hanya sebuah lelucon belaka yang diciptakan dari mulut ke mulut oleh leluhur kita. Padahal tidak sesederhana itu. Coba saja kita renungkan sediri dan temukan hipotesisnya. Kemudian, lakukan eksperimennya, maka simpulkan sendiri.

            Jika kita sudah merenungkan semua ini, terlepas apakah itu pedidikan formal ataupun pendidikan di keluarga? Pendidikan semestinya memberikan makna dan mutu perkembangan pandangan hidup humanisme bukan membentuk kita menjadi manusia pekerja tanpa sebuah inovasi. Kita pun akan tetap memberikan makna dan mutu pendidikan yang memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia, yakni manusia yang harus dipupuk rasa ingin tahunya, keinginan bertanya, kreativitas, empati, dan daya kritisnya sehingga kita menjadi manusia yang berpikir mandiri tanpa terantai oleh ketakutan.

Kemudian, kita tidak akan lagi mendengar sebuah pendidikan alternatif untuk memperoleh pendidikan yang bermakna. Semestinya, semua pendidikan memberikan Pendidikan yang bermakna.

Jangan-jangan selama ini, pendidikan yang bermakna disembunyikan di punggung kita? Kita tidak menyadari sudah menjadi karakter “I Belog Menjaga Anak Babi”. Benarkah itu? Mari memeriksa punggung kita di cermin. [T]


[1] Ibu babi atau induk babi yang siap diternakan.

[2] Anak babi dalam Bahasa bali dinamakan kucit.

[3] Nama makanan babi.

Tags: dongengI BelogPendidikanpendidikan usia dini
Previous Post

Śivamba – Catatan Harian Sugi Lanus

Next Post

Mendidik Siswa, Guru Tak Mesti Mem-“bully”

Wayan Purne

Wayan Purne

Lulusan Undiksha Singaraja. Suka membaca. Kini tinggal di sebuah desa di kawasan Buleleng timur menjadi pendidik di sebuah sekolah yang tak konvensional.

Next Post
Mendidik Siswa, Guru Tak Mesti Mem-“bully”

Mendidik Siswa, Guru Tak Mesti Mem-"bully"

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

ORANG BALI AKAN LAHIR KEMBALI DI BALI?

by Sugi Lanus
May 8, 2025
0
PANTANGAN MENGKONSUMSI ALKOHOL DALAM HINDU

— Catatan Harian Sugi Lanus, 8 Mei 2025 ORANG Bali percaya bahkan melakoni keyakinan bahwa nenek-kakek buyut moyang lahir kembali...

Read more

Di Balik Embun dan Senjakala Pertanian Bali: Dilema Generasi dan Jejak Penanam Terakhir

by Teguh Wahyu Pranata,
May 7, 2025
0
Di Balik Embun dan Senjakala Pertanian Bali: Dilema Generasi dan Jejak Penanam Terakhir

PAGI-pagi sekali, pada pertengahan April menjelang Hari Raya Galungan, saya bersama Bapak dan Paman melakukan sesuatu yang bagi saya sangat...

Read more

HINDU MEMBACA KALIMAT SYAHADAT

by Sugi Lanus
May 7, 2025
0
HINDU MEMBACA KALIMAT SYAHADAT

— Catatan Harian Sugi Lanus, 18-19 Juni 2011 SAYA mendapat kesempatan tak terduga membaca lontar koleksi keluarga warga Sasak Daya (Utara) di perbatasan...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman
Khas

Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman

TAK salah jika Pemerintah Kota Denpasar dan Pemerintah Provinsi Bali menganugerahkan penghargaan kepada Almarhum I Gusti Made Peredi, salah satu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng
Khas

“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

DULU, pada setiap Manis Galungan (sehari setelah Hari Raya Galungan) atau Manis Kuningan (sehari setelah Hari Raya Kuningan) identik dengan...

by Komang Yudistia
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [14]: Ayam Kampus Bersimbah Darah

May 8, 2025
Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

May 4, 2025
Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

May 4, 2025
Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

May 3, 2025
Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

May 3, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co