“Kapan anak saya mulai belajar membaca dan berhitung, Bu?”
“Kapan anak saya bisa membaca dan berhitung? Sebentar lagi anak saya akan masuk SD.”
Pertanyaan ini aku dengar dari para orang tua kepada Bu Nengah ketika menemani anak-anak mereka bermain lego. Hatiku sontak terenyuh mendengar pertanyaan itu. Walaupun Bu Nengah menjelaskan panjang lebar tentang bermain merupakan belajar di usia mereka, tetap saja para orangtua menuntut anaknya bias secepatnya bisa membaca, menulis, dan berhitung.
Apakah seorang anak adalah sebuah komputer atau robot? Permasalahannya bisa diselesaikan dengan menyempurnakan logaritma-logaritmanya? Permasalahannya tidak sesederhana itu. Semestinya kita menyadari bahwa Ki Hadjar Dewantara sudah meletakkan pondasi filosofi pendidikan, yakni pendidikan yang memiliki kebermaknaan dalam arah melihat masa depan bagi anak didik itu sendiri di tengah paradigma jaman yang terus berubah.
Akan tetapi, kita sudah melupakan semua itu. Justru pondasi itu mulai retak dipalu oleh belenggu asumsi pendidikan yang sudah kita anggap sebagai kebenaran mutlak. Bahkan berkali-kali mengganti kurikulum, tetapi semakin keras dentuman palu asumsi pendidikan sebagai langkah cepat menggapai masa depan di Abad 21. Pondasi filosofi Ki Hadjar Dewantara pun terbelah berkeping-keping.
Kita hanya menyisakan sebuah asumsi bahwa sekadar bisa menghitung dan menghapal adalah sebagai pola keberhasilan berpikir anak, tetapi tidak mendidik untuk berpikir. Jika dididik untuk berpikir, kita tidak akan berhenti pada sekadar bisa menghitung dan menghapal atau sekadar bisa membaca, tetapi kita akan menemukan passion kita.
Kita pun hanya mencapai kedangkalan pandangan. Rasa ketakutan semakin mudah tertanam sebagai asumsi kedisiplinan. Kita terseret dalam arus dunia feodalisme tanpa ada keberanian menciptakan dunia sendiri dalam mengembangkan kreativitas dan imajinasi. Daya kritis, kreativitas dan imajinasi menjadi hal gila yang diasingkan di negeri sendiri. Menumbuhkan empati diabaikan. Ya, tidak salah Pramoedya Ananta Toer memiliki pemikiran dalam setiap karyanya bahwa pendidikan masih menyamankan bangsa kita menjajah bangsa sendiri.
Kemudian, belenggu asumsi mengingatkuku sebuah cerita “I Belog Menjaga Anak Babi” tatkala diceritakan kepada anak-anak. Cerita ini mungkin di daerah lainnya diberi judul yang berbeda karena dulu diceritakan dari mulut ke mulut oleh kakek kita.
Dikisahkan, I Belog hidup berdua bersama ibunya. Ibu I Belog memelihara bangkung[1]yang memiliki 10 anak. Ibunya begitu bahagia melihat babi yang dipeliharanya sehat-sehat.
Suatu hari, Ibu I Belog akan pergi ke ladang untuk memanen jagung. Akan tetapi, Ibu I Belog merasa gelisah meninggalkan peliharaannya yang masil kecil-kecil apalagi tetangganya sering juga kehilangan ternaknya.
“Belog, ke sini kamu sebentar.” Ibu I Belog memanggil.
“Ya Bu, ada apa Ibu memanggilku?” I Belog menghampiri ibunya.
“I Belog sekarang diam di rumah! Kamu jaga kucit-kucit[2] jangan sampai lepas ataupun dicuri orang,” pesan ibunya sebelum pergi ke ladang.
“Ya, Bu, aku pasti menjaganya dengan aman,” jawab I Belog sungguh-sungguh.
“Oh, Ibu hampir lupa. Ingat ya, Belog, kucit-kucit ibu ada 10 ekor jangan sampai hilang,” ucap ibunya memperingatkan.
“Tenang, Bu, aku pasti menjalankan tugas dengan baik,” ucap I Belog sigap menenangkan ibunya.
Merasa pesannya sudah tersampaikan dengan jelas dan I Belog tidak akan lagi salah informasi, ibunya legas pergi ke ladang.
Kini, I Belog tinggal sendiri menjaga babi-babinya di rumah. Ia pergi ke dapur mengambil dakdak[3]. Ia bergegas pergi ke kandang untuk memberikan makan babinya.
“Kata ibu, kucitnya ada 10. Aku harus menghitungnya dulu. Adakah yang hilang?” pikir I Belog untuk memastikan agar kucit-kucit ibunya masih lengkap.
I Belog menghitung kucit-kucit itu, tetapi dalam hitungannya bahwa kucit itu ada 11 ekor.
“Ibu pasti salah menghitung ini. Masak kucitnya ada 11 ekor, dibilang ada 10 ekor,” pikir I Belog.
I Belog merenung beberapa saat memikirkan jumlah kucit yang lebih lagi satu ekor.
“Mengapa tidak aku jual saja satu kucitnya? Ibu pasti tidak tahu. Kata ibu, kucit yang harus dijaga adalah 10 ekor,” pikir I Belog penuh keyakinan.
“Tapi jika aku jual sekarang, ibu pasti keburu datang dari ladang dan ibu pasti marah karena melihat aku tidak ada di rumah,” gumam I Belog ragu.
“Ahh, aku sembunyikan dulu satu kucitnya sampai besok.”
I Belog masuk ke kandang babi dan mengambil satu kucit. Ia berkeliling rumah mencari tempat yang aman untuk menyembunyikan satu kucit itu. Akan tetapi, ia belum menemukan tempat yang aman untuk menyembunyikan kucitnya.
“Ooh, ke mana aku menyembunyikan kucit ini? Semua tempat sudah aku coba, tetapi akan mudah ditemukan oleh ibu. Buktinya aku dengan mudah melihat kucit ini ketika aku sudah menyembunyikannya. Ah, ibu sebentar lagi datang,” keluh I Belog terhadap dirinya sendiri. “Ooo ya, aku kan belum mencoba menyembunyikan kucit ini di punggung. Mungkin setelah menyembunyikannya di punggung, kucit ini aman tak terlihat,” pikir I Belog yang merasa idenya sangat cemerlang.
I Belog mulai mengikat kucit itu di punggungnya. Dan kucit itu sudah berada di punggunya I Belog.
“Akhirnya kucit ini aman tersembunyi dan tertutup kain. Aku tidak bisa melihatnya, berarti ibu tidak akan bisa menemukan kucit yang aku sembunyikan,” ucap I Belog bangga.
Dengan keadaan yang melelahkan, Ibu I Belog datang dari ladang menyunggi sekeranjang jagung. Sekeranjang jagung itu diletakkannya di teras rumah. Ia bergegas pergi ke belakang rumah melihat babinya di kandang. Ia ingin tahu apakah anak babinya masih lengkap atau tidak seperti saat ia pergi ke ladang. Ia menghitung semua anak babi itu.
“Belog, ke mana lagi satu babinya? Belog di mana kamu?” Ibunya memanggil I Belog dengan suara meninggi.
“Ada apa, Bu? Aku lagi di dapur membuat makan kucit,” jawab I Belog mendekati ibunya seolah-olah tidak tahu apa-apa.
“Ini kucitnya kok cuman ada 9 ekor? Pasti kamu tidak menjaga dengan baik kucit-kucit ini,” ucap ibunya I Belog yang masih sibuk melihat-lihat kucitnya mungkin tertutup badan bangkung.
“Bu, ini kucit jumlahnya sudah 10 ekor. Mana mungkin hilang. Mungkin ibu yang salah menghitungnya,” kata I Belog tegas tanpa menimbulkan kecurigaan bagi ibunya.
“Mana mungkin ibu keliru menghitungnya. Tadi sudah jelas ibu menghitungnya,” kata ibunya menggerutu membatah penjelasan I Belog.
“Benar, Bu. Saya sudah menghitungnya sampai dua kali. Kucitnya masih lengkap ada 10 ekor,” ungkap I Belog sedikit gugup meyakinkan ibunya.
“Coba hitung lagi biar ibu bisa melihat dengan jelas kamu menghitungnya,” pinta ibunya.
I Belog pun mulai menghitung satu-persatu dengan penuh keyakinan bahwa hitungannya pasti benar.
“Itu bangkung yang ikut kamu hitung, Belog!” ucap ibunya terlihat marah.
“Bangkung juga kamu bilang kucit. Kucit itu anaknya bangkung.”
I Belog hanya menunduk malu. Ternyata, ia hanya memiliki prasangka yang salah. “Sungguh ceroboh, aku tidak bisa membedakan antara bangkung dan kucit,” pikir I Belog.
“Belog! Apa saja yang kamu lakukan di rumah? Kamu sampai tidak tahu kalau satu kucit sudah hilang,” tanya ibunya menahan amarah.
“Aku tidak kemana-mana. Aku sudah menjaganya dengan baik. Mungkin sebelum ibu berangkat ke ladang, memang jumlah kucitnya ada 9 ekor,” jawab I Belog mencari-cari alasan agar kebohongannya tidak ketahuan.
“Tidak! Ibu yakin kucitnya ada 10 ekor,” sanggah ibunya. Terdengar suaranya ibunya I Belog meninggi.
I Belog hanya diam membisu dan perlahan-lahan mundur dari kandang babi. Ia ingin menghidar dari ibunya karena merasakan kebohongannya akan diketahui ibunya. Ia ingin secepat kilat melarikan diri tanpa pengetahuan ibunya.
“Belog! Kamu mau ke mana? Itu apa yang ada di punggungmu terbungkus?”
Ancang-ancang gerakan langkah seribu I Belog terhenti oleh teriakan ibunya. I Belog merasa tidak bisa menghindar lagi dari kebohongan yang diperbuatnya.
“Coba ibu lihat. Dari tadi, ibu tidak memperhatikan apa yang ada di punggungmu,” pinta ibunya mendekati I Belog.
I Belog sudah tertangkap basah oleh ibunya.
“Ternyata kamu yang menyembunyikan kucit ini. Lebih konyol lagi, kamu sembunyikan di punggumu sendiri. Ternyata ini alasanmu ingin melarikan diri.”
“Maaf, Bu, aku salah!”
Kini, I Belog hanya bisa menyadari atas kesalahannya yang memanfaatkan ketidaktahuannya terhadap perbedaan antara bangkung dan kucit. Ia tidak seharusnya melakukan semua kekonyolan itu sebagai pembuktian bahwa diri sudah pintar. Ia hanya memohon maaf kepada ibunya.
Ibunya sudah memaafkan semua kesalahan anaknya. Ia merasa bersalah yang menganggap bahwa anaknya sudah mengetahui segalanya sehingga setiap perkataanya bisa dipahami. Sedangkan kucit yang disembunyikan itu, kini sudah bisa berebut susu dengan kesembilan saudaranya.
Kemudian, cerita “I Belog Menjaga Anak Babi” ini diceritakan, anak-anak sangat antusias mendengarkan kisah I Belog. Tanpa rasa takut dan penuh keberanian, anak-anak memprotes I Belog bahwa I Belog sudah salah menghitungnya. I Belog seharusnya hanya menghitung anak babinya saja, bukannya menghitung ibu babinya juga.
Dalam hal ini, kita sedang melihat anak-anak mengkritisi asumsi-asumsi yang ada di pikiran I Belog. Begitu juga dengan kita, jika hanya terbelenggu dalam sebuah asumsi pendidikan, kita akan menganggap cerita “I Belog Menjaga Anak Babi” hanya sebuah lelucon belaka yang diciptakan dari mulut ke mulut oleh leluhur kita. Padahal tidak sesederhana itu. Coba saja kita renungkan sediri dan temukan hipotesisnya. Kemudian, lakukan eksperimennya, maka simpulkan sendiri.
Jika kita sudah merenungkan semua ini, terlepas apakah itu pedidikan formal ataupun pendidikan di keluarga? Pendidikan semestinya memberikan makna dan mutu perkembangan pandangan hidup humanisme bukan membentuk kita menjadi manusia pekerja tanpa sebuah inovasi. Kita pun akan tetap memberikan makna dan mutu pendidikan yang memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia, yakni manusia yang harus dipupuk rasa ingin tahunya, keinginan bertanya, kreativitas, empati, dan daya kritisnya sehingga kita menjadi manusia yang berpikir mandiri tanpa terantai oleh ketakutan.
Kemudian, kita tidak akan lagi mendengar sebuah pendidikan alternatif untuk memperoleh pendidikan yang bermakna. Semestinya, semua pendidikan memberikan Pendidikan yang bermakna.
Jangan-jangan selama ini, pendidikan yang bermakna disembunyikan di punggung kita? Kita tidak menyadari sudah menjadi karakter “I Belog Menjaga Anak Babi”. Benarkah itu? Mari memeriksa punggung kita di cermin. [T]
[1] Ibu babi atau induk babi yang siap diternakan.
[2] Anak babi dalam Bahasa bali dinamakan kucit.
[3] Nama makanan babi.