Jaman Kali adalah jaman kehancuran. Jaman kehancuran adalah perlindungan atas segala macam problema yang terjadi. Bingung kan? Ya wajar, saya juga bingung. Untuk mengentaskan kebingungan, ayo bertanya mengapa? Karena, jika ada sesuatu yang terjadi menyangkut berbagai macam hal yang buruk, maka alasan terjadinya adalah Kali Yuga atau jaman Kali.
“Nak suba Kali Yuga”
Dengan mengucapkan itu, maka seluruh masalah selesai. Itulah perlindungan. Banyak yang sudah merasa cukup dengan jawaban itu. Jadi jika terjadi apa-apa, jawabannya sudah tersedia, ialah Jaman Kali! Benarkah Bali sekarang ada di dalam Jaman Kali? Jika iya, lalu kita harus bagaimana? Mari kita baca kata-kata di bawah ini.
[…] pada Kali Yuga janganlah akar permasalahan dicari dan divonis datang di luar, tapi temukanlah di dalam. Apabila kelak Bali mengalami Kali Yuga seperti Majapahit, maka cari dan temukanlah sebab-sebabnya di dalam Bali itu sendiri [IBM. Dharma Palguna, Shastra Wangsa].
Yang dikatakan dalam kutipan Shastra Wangsa itu tidak sepenuhnya benar. Akar permasalahan tidak melulu dari dalam, karena bukan tidak mungkin juga datang dari luar. Akar dari luar itu seperti stimulus untuk menumbuhkan pohon di dalam yang nantinya bisa berbiak, berbunga, dan berbuah.
Dari luar atau dari dalam, keduanya sama-sama memungkinkan dan sama-sama mempengaruhi. Seperti sebuah lingkaran, sudah tidak jelas lagi dimana letak awal dan akhirnya. Jadi akar masalah bisa tumbuh dimana-mana. Akar itu sudah seperti Tuhan yang berada dimana-mana, meresap ke segala arah, dia ada tapi tidak kelihatan, dibakar tidak hangus, direndam tidak basah, dijemur tidak kering, dimakan tidak habis. Hebat sekali akar masalah itu!
Menemukan akar masalah, bisa menjadi langkah awal untuk menyelesaikannya. Jika akar masalah itu ada di luar, maka bisa disiasati dengan membuat benteng pertahanan. Benteng itu bisa terbuat dari tembok tinggi berupa aturan-aturan. Untuk membuat benteng yang bagus, diperlukan arsitek yang hebat, bahan yang kuat, dan undagi yang tidak kalah hebatnya. Jika sudah demikian, benteng akan kokoh dan sulit ditembus.
Tapi hati-hati, jangan sampai justru benteng itu pula yang nanti mengasingkan dan memenjarakan yang dibentenginya. Kalau dalam ilmu arsitektur Bali, sebuah tembok biasanya dibolongi di bagian tertentu. Gunanya adalah untuk mengalirkan air hujan, namanya Song Embahan. Si Empunya benteng, juga dibuatkan celah untuk keluar masuk, namanya Pamesuan, yang artinya tempat keluar. Tempat keluarpun tidak hanya satu, tapi beberapa. Jadi saat ada keadaan darurat, penghuni rumah bisa keluar tanpa diketahui.
Lalu bagaimana jika akar masalah itu ada di dalam tubuh penghuninya seperti yang dimaksudkan oleh Shastra Wangsa? Diagnosa seperti itu terdengar segar meski tidak sepenuhnya baru. Masalahnya kemudian adalah penanggulangan dari masalah itu. Seperti halnya penyakit, perlu ada obat yang diberikan bagi pesakitan agar sakitnya hilang, lenyap. Memang jika membaca salah satu teks usadha, ada semacam formula yang bisa diajukan untuk mengobati penyakit tanpa obat-obatan.
Teks itu berjudul Kaputusan Punggung Tiwas. Meskipun demikian, bukan berarti semua jenis penyakit dilebur tanpa menggunakan obat, karena pada beberapa bagian, teks tersebut juga menjelaskan tanaman-tanaman obat yang digunakan dalam pengobatan. Dalam kasus jaman Kali ini, barangkali dua jenis cara itu bisa juga ditempuh. Maksudnya, pengobatan dilakukan tanpa sarana dan dengan sarana. Apa bentuknya?
Aturan adalah sarana. Aturan penting, karena aturan adalah pengikat. Pengikat ini penting diadakan agar ada batas-batas yang tidak boleh dilewati. Aturan dalam hal ini adalah sasana, atau tata susila. Setelah pemahaman yang benar tentang aturan ini didapat, barulah jenjang melepaskan ikatan dapat dimulai. Tahapan ini pula yang dimaksud sebagai tanpa sarana.
Disebut tanpa sarana, karena sarana itu telah ditinggalkan. Meninggalkan bukan berarti tidak lagi menggunakan. Meninggalkan sarana, lebih mirip seperti meninggalkan buku-buku, lontar-lontar, karena isinya sudah betul-betul menubuh. Bagi orang yang sudah mencapai tingkat itu, keberadaan buku, lontar, awig-awig, banten, arca, gedung, pura, sudah tidak berpengaruh lagi. Wujud fisik tidak lagi mengikat. Tetapi, tingkatan itu tidaklah didapat dengan mudah oleh semua orang. Oleh sebab itu, pentingnya atau tidaknya keberadaan dan ketiadaan sarana sangatlah relatif.
Menjaga jarak di antara keduanya memang penting untuk terus-menerus diadakan dan dijaga konsitensinya. Sayangnya, menjaga jarak ini juga yang membuat penjaganya kesulitan untuk mengambil keputusan. Sebuah keputusan selalu dipandangnya bersisi dua, baik-buruk. Maka, orang-orang yang berada di jalan tengah bisa diajak untuk bertimbang pandang dan mempertimbangkan. Selanjutnya keputusan mestilah diambil oleh para ksatria.
Setelah keputusan diambil, tahap selanjutnya adalah penyikapan atas konsekuensi dari keputusan tadi. Maka, bagi Cangak, kinilah saatnya menggali sumur atau mencari sumber air baru demi keberlangsungan kehidupan para ikan. Jika tidak, akan semakin banyak korban jiwa berjatuhan di negara Telaga ini. Telaga ini tidak lagi luas dan dalam, justru sudah berubah menjadi kolam kecil yang dangkal. Konsekuensi dari kedangkalan, adalah kecipak air yang terdengar riuh. Bukankah jika air sudah riuh, itu artinya tidak dalam?
Gali dulu sumurnya, jadi nanti saat air sudah surut, kita tahu kemana harus berlindung. Jika hanya diam dan menunggu, wah…
Maka dari itu, saya pikir menyediakan kolam yang lebih besar adalah salah satu cara agar lebih banyak ikan yang selamat. Kalau bisa, buatlah kolam yang airnya mengalir bukan menggenang. Air yang hanya tergenang dan tidak mengalir, tidak bisa menjamin kesehatan para ikan. Airnya bisa jadi busuk. Apalagi, kolam yang sekarang ini kolam yang sempit. Kita sudah terlalu sesak di dalam sini. Seberapa kalipun air-air kolam ini diganti, tetap saja kolam ini sudah tidak layak huni.
Ini tentang jangka panjang! [T]