Bertugas di puskesmas bukanlah idaman bagi dokter-dokter kita. Biasanya puskesmas hanya dipakai batu loncatan sebelum bisa menempuh pendidikan spesialistik dan kemudian berkarier di kota. Saya termasuk sebagian kecil dari dokter yang kurang beruntung itu, dari awal karier sampai detik ini tetap berkutat di desa yang kebetulan adalah desa kelahiran saya sendiri, yang sempat saya tinggalkan.
Terlepas dari perasaan sentimental dan kenangan masa lalu, bagaimanapun hidup adalah sebuah pilihan. Termasuk untuk mengabdikan diri di pedesaan. Selain memeriksa pasien di pukesmas, tugas saya sebagai ASN yang bekerja di puskesmas antara lain memberdayakan masyarakat desa di bidang kesehatan, dengan meningkatkan pengetahuan mereka tentang persoalan kesehatan dan program-program kesehatan dari pemerintah.
Salah satu program yang sangat berkaitan dengan hal ini adalah program Promosi Kesehatan, yang mengharuskan kami untuk sering turun ke masyarakat memberikan penyuluhan terkait masalah kesehatan. Ada masanya saya begitu menikmati kegiatan ini, karena di sana kita bisa berinteraksi langsung dengan masyarakat, mengetahui permasalahan yang mereka hadapi dan juga harapan mereka terkait peningkatan status kesehatannya.
Sasaran untuk disuluh pun biasanya beragam, tergantung tema yang ingin disampaikan. Kesehatan reproduksi kepada para pelajar SMP dan SMA, penyakit degenerative pada masyarakat lansia dan seterusnya. Banyak suka duka yang ditemukan, tapi karena simpati pada profesi guru, saya cukup menikmati kegiatan ini. Dan dari sekian kali penyuluhan yang saya lakukan, barangkali ada beberapa hal yang menarik dan layak saya bagi disini.
Kegiatan pengenalan lingkungan sekolah bagi siswa baru, pasti diisi ceramah tentang kesehatan reproduksi bagi mereka. Sebagai kelompok umur yang pertama kali mengalami fase Pubertas, kita harus mengisi otak mereka dengan pengetahuan reproduksi yang benar .Ceramah berjalan satu arah, dengan informasi hanya dari saya selaku penyaji. Pada sesi diskusi baru situasi berubah. Begitu banyak pertanyaan yang masuk. Tapi itu tak cukup mengkhawatirkan saya sebagai satu satunya sumber kebenaran di ruangan itu, setidaknya pada saat itu.
Seorang siswi mengacungkan tangan, dan pertanyaanya cukup mengagetkan seisi kelas termasuk saya. “Pak dokter, apakah benar seorang wanita yang baru pertama berhubungan seksual, harus keluar darah?”
Terdengar riuh seisi kelas, menanggapi pertanyaan yang berani itu. Setelah hening sejenak baru saya jawab.
“Baiklah, kata saya menengahi, hal itu adalah mitos yang punya setengah kebenaran saja,” jawab saya.
Saat berhenti sejenak, saya lihat wajah wajah serius dari siswi siswi yang duduk di deretan paling depan. Selaput dara atau hymen adalah selaput tipis di fornix anterior yang menutupi bagian dalam vagina. Dan dia bisa berdarah atau terkoyak bukan hanya karena hubungan seksual.
Kecelakaan saat bersepeda waktu kecil, yang tak disadari juga bisa membuatnya terkoyak, Bahkan ilmu baru yang pak dokter baca mengatakan, seorang wanita yang melakukan hubungan sexual dalam usia yang matang dan telah siap secara fisik dan mental, bisa tak mengalami perdarahan saat hubungan seksual yang pertama. Tampak wajah-wajah puas dari sang penanya dan beberapa siswi yang sempat saya amati air mukanya.
Pengalaman kedua, terjadi saat sosialisasi penyakit flu burung. Dimana saat itu sedang terjadi penyebaran virus flu burung pada hewan ternak yaitu ayam dan unggas lainnya dan sempat mengenai beberapa orang sebagai korbannya. Kebetulan kejadiannya terjadi di daerah lain dan belum ada yang terbukti terjangkit di kabupaten kita.
Penyuluhan hari itu cukup panjang, saya bersama pemegang program penyakit menular berbusa busa menjelaskan apa itu penyakit flu burung,apa penyebabnya, bagaimana gejala dan cara penularannya. Dan saat diberikan kesempatan bertanya, seorang peternak menyuarakan kesangsiannya.
“Pak dokter, saya sudah belasan tahun memelihara ayam potong, dan memang ada masanya yang disebutgrubug, beberapa ekor ayam akan sakit dan juga mati. Tapi itu berlangsung sebentar, setelah itu keadaan kembali normal, dan tak pernah ada orang yang sampai ikut sakit saat ayam ini grubug . Jadi terus terang saja saya belum percaya apakah penyakit ini ada, dan bisa sampai ke desa ini.”
Begitu dia menutup pertanyaan dengan angkuh.
Saya dan staf sejenak saling pandang mendengar pertanyaan ini. Dan sebelum situasi menjadi tak terkontrol, saya segera ambil pengeras suara. “Bli Tu”, begitu saya memanggilnya, kebetulan dia pernah periksa ke tempat praktek saya.
”Seumur hidup, Bli Tu, dan yang Bli Tu tahu, siapa orang yang paling berjasa sepanjang sejarah manusia di dunia ini?”
Saya berikan beberapa nama yang mungkin dia kenal, “Apakah Muhamad Ali? Albert Einstein, Ronald Reagen ataukah Mikel Gorbacev?” Begitu saya memancing. Tak ada jawaban dari yang ditanya.
Langsung saya cecar lagi.”Menurut saya orang yang paling berjasa sepanjang adanya dunia ini adalah Edward Jenner, seorang dokter desa di Inggris sana. Dia menyuntik dirinya sendiri dengan kuman yang telah dilemahkan hingga kita mengenal yang namanyaimmunisasi. Tanpa dia mungkin kita, saya, termasuk Bli Tu tak akan bisa berumur lebih tua, karena keburu meninggal terkena penyakit-penyakit yang seharusnya bisa dicegah dengan immunisasi itu!”
Saya berhenti sejenak.
”Jadi jangan ragu dengan kemajuan dunia kesehatan saat ini, satu satunya penyakit yang belum ditemukan obatnya hanya HIV/Aids “.
Begitu jawaban terakhir saya dengan sesumbar. Tak ada bantahan dari yang bertanya. Satu nol untuk Pak Dokter Puskesmas.
Kenangan terakhir yang cukup menyebalkan terjadi di hari minggu. Karena undangan mengisi kegiatan pasraman remaja di desa, waktunya tak boleh di hari kerja. Jadi hari libur saya turun ke desa bersama bidan pemegang wilayah untuk memberi penyuluhan kesehatan remaja.Karena pas hari libur, saya ajak kedua anak saya ikut ke desa. Biar mereka tahu bahwa bapaknya punya pekerjaan lain , selain menyuntik pasien.
Sepanjang acara saya lihat beberapa anak lelaki ngobrol di belakang dan terlihat kurang begitu tertarik pada materi yang saya berikan. Sialnya saat diskusi ada sesorang dari mereka yang bertanya. ”Pak dokter saya ingin bertanya dua hal!”
“Baik, nanti langsung Pak Dokter jawab,” begitu tantang saya dengan sedikit ketus.
“Pertama, kapan sebaiknya kita boleh melakukan hubungan seksual?” tanyanya.
Saya sudah merasa anak ini ingin mengerjai saya.
”Pak dokter sudah bicara setengah jam tentang hal ini tadi, kalau sampai bertanya kalian pasti tak memperhatikan tadi. Nanti di rumah silahkan tanyakan kepada temannya yang rajin menyimak penjelasan Pak Dokter”.
”Baiklah, pertanyaan kedua”, lanjut anak itu dengan senyumnya yang jahat. Begitu tak sopannya pertanyaan itu, membuat saya ragu apakah benar pertanyaan itu keluar dari mulut seorang anak kampung yang tinggal di pelosok ini, berjarak hampir 60 km dari kota kabupaten.
Tapi saya menyimpulkan kejahilannya ini sebagai suatu kenakalan yang tak tersalurkan dan sekadar mencari perhatian tanpa pertimbangan akal sehat dan tata kesopanan. Dan saya bertekad untuk tak menjawab pertanyaan itu, karena tak semua pertanyaan mesti dijawab. Saya pun tak berminat untuk menceritakan di sini apa yang ditanyakan anak itu, tapi seandainya pun ada yang penasaran boleh japri saya. [T]