Gedung-gedung dan kepala menghambur dalam senja
Mengurai dan layung-layung membara di langit barat daya
O, kota kekasih
Tekankan aku pada pusat hatimu
Di tengah kesibukanmu dan penderitaanmu
(Ibu Kota Senja, Toto S. Bachtiar: 1951)
____
Lakon Baridin-Ratminah menuju akhir. Kemat Jaran Goyang, manjur. Tirakat Baridin, tak sia-sia. Ratminah yang sudah kusut-masai pun terkatung-katung mencari dan ingin menikah dengan Baridin. Tapi saya melihat sakit hati itu masih kental pada diri Bairidin. Cintanya yang sempat ditolak secara hina oleh Ratminah, membuatnya rela menanggung keletihan purba atas puasa yang tak kunjung dituntaskan, meski kini ia bisa kapan saja memiliki Ratminah. Namun, barangkali, cinta bukan lagi pembebasan, melainkan penghancuran. Ratminah menjadi gila, dan pergi dari hidup yang ambruk. Sedang mata Baridin pun memutih, melepaskan nafasnya yang berat, dari hidup yang tak dimengerti. Keduanya tak bisa menyatu.
Tak lama, pentas Baridin-Ratminah pun usai. Orang-orang yang tak sempat memberi sawer pun menyodorkan lembaran uang atau setengah kilo beras kepada para aktor. Bi Taswen dan teman-temanya, selaku aktor dan pengiring musik itu, bersiap untuk keliling lagi: berjalan kaki. Di sepanjang jalan, mereka melagu—sebuah pemandangan syahdu yang tak kita temukan pada konsep jalan kota ala Le Corbusier. Ya, jalan yang tak punya ruang untuk pedestrian itu.
Lantaran tak memiliki trotoar di satu atau dua sisinya, konsep jalan kota ala Le Corbusier pun terang saja tak mengandung nalar interaksi dan komunikasi. Jalan kota tersebut sepenuhnya berangkat dari nalar percepatan. Ia bukanlah jalan yang terbuka kepada pelbagai konsensus. Bukanlah ruang yang longgar bagi diskursus. Sebab ia merupakan konsep jalan yang menangkis segala macam pusparagam wacana, dan karenanya hanya mengusung satu wacana tunggal, yakni efektivitas dan efesiensi laju transportasi. Dari sini kita melihat, jalan kota ala Le Corbusier bukanlah ruang demokrasi, tetapi ruang autokrasi. Si autokrat itu bernama “jalan raya”.
Tentu saja dalam ruang autokrasi, jalan menjadi tak ramah sebagai “tempat singgah”, tak layak sebagai “pasar”, dan tak pantas sebagi “rumah”. Jalan kota pun, akhirnya, bagaikan lokus tubuh outometic robot: yang tak bisa kompromi kepada penawaran-penawaran, yang menampik segala kemungkinan-kemungkinan, yang steril akan keganjilan-keganjilan. Jalan pun jelas tidak plastis: kita tak bisa berpindah-pindah antara ruang privat dan publik, karena si jalan hanya mewajibkan kita (pengguna jalan) untuk lekas-lekas melintas. Pun, pada kenyataannya, jalan ini hanya mengandung ruang privat. Di dalam ruang privat tersebut, orang-orang hanya boleh melihat dirinya sendiri: inilah konsep jalan yang menggiring orang-orang untuk berkaca dan terpukau pada wajahnya sendiri—jalan “Narcissus”. Itulah jalan yang, praktis, sepenuhnya merupakan lajur terlarang untuk berhenti dan berbagi.
Jalan kota ini seakan menegaskan bahwa manusia mesti menanggung “semuanya” sendirian. Manusia tak boleh berbagi dengan sesamanya. Manusia tak boleh berbagi duka dengan sesamanya. Manusia tak boleh berbagi suka dengan sesamanya. Manusia tak boleh memberitahu harapan-harapan kepada sesamanya. Manusia tak boleh memberitahu kekandasan-kekandasan kepada sesamanya. Manusia tak boleh menyatakan cinta kepada sesamanya. Manusia tak boleh menyatakan tak cinta kepada sesamanya. Ketahuilah, bahwa semua ini dapat menghambat laju transportasi. Pada konsep jalan ini, kita tak boleh percaya bahwa manusia itu mahluk sosial.
Lebih lagi, barangkali, oleh jalan Le Corbusier, kita jauh lebih tak boleh meyakini bahwa manusia itu mahluk ekologis: mahluk (manusia) yang bergantung juga pada alam—sebab tak ada daun-daun merimbun di jalan kota itu, tak ada tangkai-tangkai yang memayungi jalan raya itu, dan percayalah, tak ada rumput yang bisa hidup lama dan hijau segar di sana. Mungkin saja, sehelai daun tua atau setangkai ranting renta yang mblurukdi jalan kota tersebut, dapat menghambat laju kendaraan. Hmm, betapa ini jalan, sungguh antroposentris-individualis; suatu watak yang (jika tak terkontrol atau kelewat batas) dapat bergerak menuju jurang paling berbahaya yakni, alienasi—simtom frustrasi yang berujung pada ke-chaos-an hidup, sebagai pribadi atau bahkan massa: di sini, kehidupan bagai terkocok dalam botol cuka.
Tentu saja tak serta-merta jalan kota ini mendorong para remaja kota bergabung atau membentuk geng motor yang suka merampok tahu gejrot atau tjampolay, misalnya. Jalan kota pun tak serta-merta menginisiasi orang untuk menubrukkan diri ke mobil pengangkut sampah. Jalan kota tak serta-merta menerbitkan ide pada seseorang untuk menenggak bensin. Jalan kota tak serta-merta menginspirasi seseorang untuk melakukan serangkaian kejahatan atau apa yang dianggap jahat, tak serta-merta menciptakan seseorang untuk bertindak brutal atau apa yang dianggap brutal. Jalan kota tak serta-merta melahirkan seseorang skizofrenik maupun masokhis. Juga, oleh karena jalan kota, tak serta-merta membuat orang mengurung diri seharian di kamar mandi dengan keran yang mengguyuri kepalanya seraya teriak-teriak: homo homini lupus! homo homini lupus! homo homini lupus!
Kita mafhum, bahwa ada kompleksitas di belakang tiap-tiap tindakan “abnormal” di atas. Kita boleh mengurai sebab-sebab atas tindakan-tindakan tersebut yang, anggaplah sebuah “kejahatan” (terhadap diri sendiri atau orang lain), dengan melintasi sejumlah pisau analisis model demonologi, sosiologi, antropologi, ekonomi, psikologi, hingga biologi. Kita patut curiga bahwa muskil-lah “kejahatan” itu terjadi hanya karena konsep ruang jalan kota. Itu maya. Namun, bukankah sesuatu yang maya pun akan nyata bila tak pernah direnungkan?
Tapi juga, bukankah kejahatan pun tidak merupakan sesuatu yang datang dari planet terjauh, atau lahir dari ruang-ruang hampa? Jadi, andai bukan sebab utama dan besar, dan lebih pantas sebagai suatu sebab yang renik tak kasat mata, konsep ruang jalan kota yang “dingin tak peduli” itu tetaplah dasar pijakan yang, mungkin rapuh, mungkin juga rawan—tapi ada. Bagaimana pun juga, kulit kita akan kepanasan jika tersengat matahari di siang hari, misalnya, dan bahkan bisa saja hati pun ikut resah karena hawa gerah. Itu berarti, tata kota, atau tata jalan, sedikit-banyak memengaruhi tubuh dan jiwa kita.
Tak ada pentas Baridin-Ratminah di jalan kota jenis ini. Pentas Baridin-Ratminah terjadi hanya jika pada ruang yang mengandung kolektivitas dan intimitas yang kuat. Sementara jalan kota ala Le Corbusier, tak punya dua hal tersebut; ia jalan individual yang dituntut untuk bergerak cepat. Satu pengecualian: jika jalan tersebut mengadopsi trotoar.
Kita tahu, trotoar, yang memiliki nalar interaksi-komunikasi, bertentangan dengan nalar jalan kota di dekatnya. Namun keduanya bisa hidup berdampingan, ibarat dua sisi yang berlainan dalam satu “koin” yang sama. Ruang bagi pedestrian, setidaknya berusaha menekan ketergesahan jalan kota. Ia bisa menjadi feminimitas di samping maskulinitas jalan kota, menjadi yin bagi yang jalan kota. Trotoar menawarkan ruang intimitas di dekat jalan kota yang serba berlalu. Trotoar menawarkan ruang demokrasi di samping jalan kota yang autokrasi itu. Dengan begitu, trotoar adalah ikhtiar merawat kemanusiaan manusia, atau justru memperkembangkannya.
Di Kota Cirebon, di sepanjang jalan protokol, misalnya di Jl. Cipto Mangunkusumo, Jl. Kesambi, atau Jl. Kartini, Bi Taswen dan teman-temannya masih belum hadir. Kota Cirebon memang bukan penganut Le Corbusier, karena kita tahu bahwa kota ini punya trotoar. Masalahnya, trotoar itu masih belum maksimal. Pancangan berupa tiang-tiang listrik, tegalan pohon, bongkahan batu, halte yang kurang menarik dan kadang karatan, baliho-baliho Parpol, gerobak pedagang kaki lima, bahkan warung semi permanen, memadati trotoar yang seukuran duri ikan bandeng, yang tingginya semata kaki, yang permukaannya lebih sering bopeng; terasa gersang-berlepotan-debu di tengah knalpot yang sesekali menyemburkan asap hitam bagai “kentut” cumi-cumi.
Trotoar itu ada, namun belum ramah dan membuat siapa pun nyaman di sana, apalagi bagi disabilitas. Ia belum merupakan trotoar yang dianggap rumah bagi orang-orang yang terusir dan melata. Ia belum matang sebagai trotoar yang menggugah para seniman jalan raya. Ia belum penuh inspirasi para sastrawan. Ia belum menjelma trotoar yang membuat sebuah kota menjadi—menukil selarik puisi Remy Sylado (?)—“kota yang bernyanyi”. Membayangkan trotoar yang maksimal, adalah mengimajinasikan bahwa para musafir yang datang, tidak takut tersesat di kota ini. Di situ, kota telah dianggap rumah. Rasanya, tidak mungkin kita takut tersesat di rumah sendiri.
Melihat kenyataan fungsi trotoar di jalan protokol Kota Cirebon yang belum maksimal, izinkan saya untuk menganggap jalanan Kota Cirebon itu telah condong pada konsep jalan Le Corbusier. Sehingga potensi ke-chaos-an yang dikandung dalam konsep jalan Le Corbusier, dimiliki pula oleh jalan-jalan di Kota Cirebon. Mungkin potensi tersebut setengahnya lah.
Namun saya tak bakal menunggu datangnya trotoar ideal itu di Kota Cirebon. Saya putuskan untuk mendahuluinya dengan berjalan di atas trotoar yang tak sempurna di sana. Saya berusaha mencerap jiwa kota ini, mengenal kembali masa lalu, masa kini, dan masa depan yang ada padanya dalam setiap langkah. Bunyi-bunyi klakson yang nyaring dan bersahutan, udara kotor yang berkelindan, serta risiko kecelakaan yang mengintai, akan saya terima. Bawalah saya pada kejadian-kejadian yang mungkin aneh, lucu, atau menyedihkan yang ada pada kota ini. Bawalah saya pada percakapan-percakapan yang spontan atau intim pada setiap tikungan. Bawalah saya pada grafiti-grafiti yang lekat di sebagian dinding-dinding kota.
BACA JUGA:
Saya akan berjalan kaki, dan ke luar dari kaca helm atau jendela mobil. Dengan berjalan kaki, saya ingin tahu wajah-wajah orang di dalam kota ini secara langsung. Saya ingin tahu keringat yang membasahi punggung tukang becak. Saya ingin merasakan peluh para pekerja yang pulang ketika senja. Saya ingin memahami tiap beban derita yang dialami oleh orang-orang di dalamnya. Saya ingin berusaha mengenal harapan orang-orang di sana.
Semoga saja dengan sesekali berjalan kaki di trotoar yang tak sempurna milik kota ini, saya diyakinkan, bahwa seperti dalam cerpen Di Ujung karya Nukila Amal: dalam gang-gang kota yang kumuh sekalipun, ternyata ada sehelai daun yang menampung sebutir embun bercahaya—masih ada kemanusiaan di sana. Lalu, dengan perasaan tenang dan mata berbinar, kita pun berbisik, “Semua akan baik-baik saja.”
Saya pun akan berjalan agar bisa menikmati Baridin-Ratminah, tidak di jalan kota memang, tapi mungkin di bioskop, dalam bentuk film, atau di sebuah latar yang lengang di dalam mall. Saya pun bisa menikmatinya lewat CD, radio, atau video di youtube. Tapi barangkali, suatu saat, perasaan rindu akan lakon Baridin-Ratminah yang dipentaskan di jalan, seperti di jalan kampung, tumbuh juga. Ketika itu saya tidak tahu, apa grup semacam Bi Taswen dan kawan-kawannya masih ada. [T]