Buleleng Festival (Bulfest) 2019 masih berlangsung. Maka berkunjunglah ke stand bernama “Buleleng Creative Hub” dan bahagiakan diri Anda dengan nuansa legendaris, kolosal (masa lalu), seni tutur para penjaganya, kemewahan arsitektur tradisinya. Siapa pun yang datang, akan dibuat terheran-heran dengan konsepnya yang, out of the box.
Lihatlah sini, agak mendekat. Jangan jauh-jauh. Ya, di situ saja, cukup. Silakan duduk, atau berdiri juga boleh. Bagaimana, sudah lihat? Nah, perhatikan sekarang, bangunan terop yang terbuat dari bambu dan atapnya terbuat dari daun kelapa—dan ada apa saja di atas keranjang yang berdiameter sekitar satu meter itu. Ya, tersaji sejumlah produk kerajinan tradisional perabotan rumah tangga yang kian langka ditemui saat ini. Perhatikan lagi, bahan yang digunakan untuk membuat kerajinan itu masih alami, bukan. Dari bambu? Ya, Anda benar, sebagian besar terbuat dari bambu. Yang jelas bebas dari plastik.
Sampai di sini biar saya jelaskan. Yang berduri itu nama kikian (Bali)—atau dalam bahasa Jawa namanya parutan—kalau tidak salah. Benda ini memang berfungsi untuk memarut kelapa. Sedangkan duri-durinya itu diambil dari pohon yang, saya belum tahu namanya. Nanti saya tanyakan, tak usah risau.
Selain itu, ada pula ganjreng, gayung, kile, kerombokan, tas keranjang yang terbuat dari anyaman bambu, dll. Dengar-dengar kabar angin, kerajinan tradisional perabotan ini, sebagian besar, diproduksi oleh pengrajin Desa Pedawa. Saya jamin, produk ini sangat ramah lingkungan. Cocok bagi Anda yang mempunyai idealisme perihal lingkungan.
Hanya itu? Tenang. Lihat apa yang ada di atas keranjang sebelah, buku-buku sastra terbitan Mahima-Tatkala, penerbit pilih tanding di Kota Singaraja. Lihat keranjang sebelahnya lagi: tas-tas berkualitas tergantung di tempatnya, tempe bungkus daun pisang, dan itu, kain-kain Bali berkualitas dengan motif yang beragam, sangat indah dipandang. Sekarang edarkan pandangan Anda ke barat.
Lihat apa yang tercantel di bedeg (bahasa Bali) (atau gedek, dalam bahasa Jawa), dinding yang terbuat dari bambu itu. Ya, lukisan itu semua terbuat dari olahan sampah. Sampah plastik warna-warni yang sulit terurai itu, disulap menjadi lukisan wajah, peta, hingga karakter hewan, dan masih banyak lagi, tentu saja. Ah, capek saya menjelaskan, mendingan Anda berkunjung ke sini saja.
Namun, dari semua itu, yang paling menarik dari stand ini adalah workshop-workshop yang diberikan. Seperti workshop pengolahan tempe, misalnya. Workshop ini berlangsung dari pukul sepuluh siang, sampai hampir pukul dua belas siang, Kamis 8 Agustus 2019. Tampaknya, ini cukup menarik antusias ibu-ibu rumah tangga.
Sependek pengetahuan saya tentang stand-stand yang ada di Bulfest 2019, tak ada satu pun stand yang menggelar workshop kecuali stand Buleleng Creative Hub—atau mungkin saya tidak tahu, mohon dikoreksi jika ada.
Workshop pengolahan tempe yang digelar kemarin (Kamis, 8 Agustus 2019) ini, cukup unik. Sebab, cara peragiannya yang masih melibatkan daun waru, dan kemasannya yang masih menggunakan daun pisang, tidak menggunakan plastik.
Dengan dipandu langsung oleh ahlinya pertempean, Pak Nur Hakim (34), pengusaha tempe asal Taman Sari, Kelurahan Kampung Baru itu, workshop menjadi sangat cair. Seni bertutur Pak Nur yang lembut, menciptakan atmosfir yang sugestif.
Pada momen ini, yang terekspresi dari seorang Pak Nur, bukanlah status formalnya sebagai pengusaha tempe, melainkan kualitas performanya sebagai seorang penutur. Dengan kata lain, seorang Pak Nur menjelma menjadi seorang penutur kreatif yang tangguh untuk bisa menyajikan sebuah pertunjukan ritual yang memukau: membuat tempe. Memang dasar ahlinya ahli.
Kelihaian tangan Pak Nur dalam mencampur aduk ragi yang sudah menempel di selembar daun waru, membuat peserta workshop tak berkedip. Pak Nur begitu lihai membuat tempe, menghasilkan metode yang tidak saya tahu, terkesan sesukanya, seenaknya, ugal-ugalan, tetapi emosional dan jenius! Ibu-ibu itu seperti tersihir, terhipnotis, mengikuti gerak tangan Sang Maestro.
Melihat perlakuan Pak Nur terhadap tempe-tempenya, saya melihat kasih sayang seorang ayah kepada anaknya. Perlakuannya lembut, penuh cinta, tulus, ikhlas. Keseriusannya bukan main-main. Saya pikir, dalam setiap bungkus yang dihasilkannya, terselip cinta di dalamnya.
Tetapi marilah kita ringkas saja. Pak Nur dengan bakatnya itu adalah mandat besar. Ia tak boleh dipahami hanya sebagai seseorang yang iseng. Pak Nur, dengan kemampuannya itu, adalah titipan mandat besar dari Tuhan.
Mandat yang harus dijalankannya dengan sepenuh hati—menaburkan cinta bersama ragi yang bercampur aduk dengan kedelai, menumbuhkan bakteri, membungkusnya, kemudian pasrah, menyerahkan nasib-nasib anaknya yang bernama tempe ini kepada para pembelinya. Begitulah, tampaknya, dalam sebungkus tempe yang dibuat oleh Pak Nur, terdapat cinta di dalamnya—cinta seorang ayah, kepada buah hatinya. [T]