“Pak dokter, saya hampir sebulan tak bisa tidur,” keluh pasien sore itu.”Padahal tak ada memikirkan suatu masalah apapun”, lanjutnya. Tetapi mata ini tak mau terpejam sampai pagi. “Ini membuat saya terganggu, tenaga jadi lemah keesokan harinya”.
Pasien-pasien dengan keluhan seperti ini makin sering saya temukan. Baik di tempat praktek pribadi maupun saat tugas di puskesmas. Keluhan yang lain juga ada, misalnya sakit tak sembuh-sembuh, berpindah-pindah, yang saat dilakukan pemeriksaan fisik tak ditemukan gangguan yang berarti dari pasien tersebut. Ada istilah medis yang khas untuk pasien seperti ini. “Shopping Doctor “. Jadi, pasien ini hanya ingin ketemu dan bercakap dengan tenaga medis, dan itu sebenarnya cukup membantu psikologis yang bersangkutan.
Kebetulan beberapa bulan yang lalu, saya mengikuti seminar tentang kesehatan jiwa. Untuk menyegarkan kembali pengetahuan tentang kesehatan jiwa, termasuk perkembangan terbarunya. Dan ini membuat saya menaruh perhatian yang lebih besar pada pasien dengan keluhan seperti ini. Biasanya saya meluangkan lebih banyak waktu untuk mereka. Dan gangguan tidur merupakan salah satu gangguan paling awal dan ringan dari kecurigaan gangguan jiwa tersebut. Yang seharusnya sudah mulai ditangani dengan baik dan menyeluruh, untuk mencegah terjadinya gangguan jiwa yang lebih parah dan lebih susah untuk diobati.
Selain gangguan tidur, beberapa gejala lain yang perlu jadi perhatian kita, antara lain : pasien dengan banyak keluhan, berpindah pindah dan tanpa kelainan fisik yang ditemukan, bisa kita curigai ke arah gangguan cemas. Lalu pasien yang mengalami perubahan perilaku yang mendadak dan tiba tiba (biasanya pada wanita dan remaja ) perlu dipertimbangkan kemungkinan depresi.
Dan banyak kasus yang masih kita temukan di era milenial ini adalah fenomena bebainanyang menimpa wanita remaja pada sebuah kelompok yang bisa sampai beberapa orang. Secara medis barangkali ada suatu istilah khusus untuk fenomena ini yaitu gangguan konversi. Dan satu yang pasti, menangani pasien dengan keluhan seperti ini memerlukan waktu yang lebih lama dan kesabaran ekstra untuk kita sebagai petugas kesehatan dalam mendengarkan keluhan mereka yang sepertinya tak masuk akal dan dibuat buat.
Ironisnya seorang penderita gangguan jiwa biasanya malu untuk menceritakan keluhannya tersebut pada orang lain, dan keluarganya pun enggan untuk lebih tahu dan tergerak membawanya ke pelayanan kesehatan. Biasanya mereka lebih cenderung mengajak penderita tersebut ke pengobatan non medis, mungkin ini menyangkut kepercayaan dan kekurang- tahuan terkait sakit yang tak terlihat secara fisik bagi mereka.
Ini membuat kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa mereka yang datang kepada kita, hanya sebagian kecil saja dari penderita yang sebenarnya ada di masyarakat. Seperti sebuah puncak gunung es yang terlihat di permukaan, sedang dibawah air sana jumlahnya sudah berkali lipat dari yang bisa kita temukan.
Kecenderungan masyarakat untuk mencari pertolongan non medis pada pasien tanpa keluhan fisik seperti ini semestinya tak perlu disesali. Saya ingat betul saat kuliah diperkenalkan konsep kesehatan jiwa oleh seorang dosen,(LK Suryani) yaitu konsep biopsikososiobudayaspiritual. Jadi kesehatan jiwa seseorang dipengaruhi oleh begitu banyak faktor.
Sesuai konsep yang tadi , sederhananya selain faktor biologis, psikologis dan yang ternyata juga sangat berpengaruh adalah situasi sosial budaya dimana individu itu berada, dan keyakinan yang dianut pasien maupun keluarganya itu. Untuk pengaruh sosial budaya ini barangkali tak perlu kita pertanyakan lagi. Sebuah study yang pernah saya baca, mengatakan mayarakat berkelompok seperti kita di Indonesia lebih membantu untuk penderita gannguan jiwa secara umum dibandingkan pada masyarakat individualistis seperti di negara barat sana.
Dan satu kejadian yang membuat dosen saya menaruh perhatian serius pada pengaruh sosial budaya termasuk unsur spiritualnya terhadap kesehatan jiwa individu dan masyarakat secara luas bisa saya ceritakan disini dan saya rasakan kebenarannya. Saat ada seseorang meninggal, keluarga biasanya melaksanakan prosesi metuun/nakonang di baas pipis, menanyakan kepada roh orang yang meninggal tersebut tentang penyebab kematiannya.
Biasanya, betapapun sedihnya keluarga yang ditinggalkan tersebut, setelah prosesi ini mereka akan bisa menerima dengan ikhlas kepergian anggota keluarganya tersebut. Fenomena ini yang ditangkap oleh guru saya tersebut dan dia meyakini peran sosial budaya termasuk spitual terhadap kesehatan jiwa seseorang.
Pemerintah dalam hal ini kementerian kesehatan menaruh perhatian cukup besar terhadap kesehatan jiwa masyrakat . Ini tercermin pada kebijakan mereka. Program andalan Kemenkes PIS-PK, mensyaratkan petugas puskesmas turun ke lapangan menjemput bola terhadap seluruh masyarakat di wilayah kerjanya.
Ada poin penderita gangguan jiwa yang harus ditanyakan kepada keluarga yang dikunjungi dari 12 indikator yang menentukan status kesehatan keluarga itu. Kemudian dalam penentuan SPM (standar pelayanan mInimal ) bidang kesehatan. Penanganan penderita gangguan jiwa menjadi salah satu indikator keberhasilan pembangunan kesehatan di sebuah kabupaten, sesuai dengan semangat otonomi daerah.
Pasien dengan gangguan jiwa yang tergolong ringan, biasanya masih bisa kita tangani di fasilitas kesehatan primer, dalam hal ini dokter umum dan Puskesmas. Dan ketersediaan obat pun cukup memadai. Yang lebih diperlukan memang mengetahui lebih dini tentang gangguan tersebut sehingga penganan pertama mungkin dengan konseling sederhana yang memang kita telah dilatih untuk melakukannya.
Tetapi untuk pasien dengan gejala yang lebih berat memang perlu penganan yang lebih komperehensif dari tenaga profesional dalam hal ini dokter spesialis kedokteran jiwa. Yang sayangnya masih sedikit keberadaannya. Di kabupaten Buleleng dengan 600 ribu penduduk cuma ada dua dokter spesialis jiwa. Situasi ini memang sebuah tantangan untuk kami di garda terdepan kesehatan untuk bisa mendeteksi masyarakat dengan gangguan jiwa yang masih ringan, dan yang terpenting bisa menggerakkan masyarakat untuk berperan lebih besar untuk penanggulangan gangguan jiwa ini.
Banyak faktor yang bisa menyebabkan seseorang mengalami ganguan jiwa. Beberapa yang saya pelajari di bangku kuliah, kemudian saya sesuaikan degan situasi yang saya temui di praktek. Keturunan memang berpengaruh, keluarga yang ada riwayat gangguan jiwa akan lebih sering terkena. Kepribadian, dalam hal ini introvert dan kurang terbuka juga merupakan faktor yang perlu diperhatikan. Beberapa yang saya simpulkan antara lain, pola asuh dalam keluarga, individu yang dimanja, dan merupakan keluarga besar dengan banyak anak. Kemudian anak yang dibesarkan oleh orang tua tunggal. Kejadian yang mengguncangkan yang dialami seseorang, misalnya kehilangan orang yang dicintai, bahkan kejadian di luar diri, semisal Bom Bali pun bisa menimbulkan gangguan jiwa tersebut.
Dan kenyataan lain bahwa faktor psikologis pun sangat berpengaruh pada ketahanan fisik seseorang terhadap penyakit fisik yang diderita. Banyak saya temui pasien yang semula sehat, ataupun menderita penyakit serius, begitu mengalami kejadian berat (ditingal pasangan, konflik keluarga, kejadian buruk pada anak-anaknya) seketika menjadi drop kondisi fisiknya, dan penyakit yang semula yang masih bisa ditanggungkannya, menjadi bertambah parah bahkan berujung kematian.
Seharusnya kita mesti jujur mengakui, penderita gangguan jiwa banyak di sekitar kita, bisa tetangga , keluarga, barangkali kita sendiri pernah mengalami episode gangguan dalam skala yang ringan . Perlu kebesaran hati kita untuk mengakuinya, dan pasti tergerak untuk mencari pertolongan profesional untuk menghindari gangguan lebih lanjut yang lebih parah dan susah untuk disembukan.
Dan untuk kami petugas kesehatan mestinya tak segan untuk berkomunikasi dengan pengobat tradisional lain yang ada di masyarakat sesuai dengan konsep Biopsikososiobudayaspiritual tadi. Saya sendiri biasanya tak segan segan untuk meluangkan lebih banyak waktu untuk sekedar ngobrol dan menggali kemungkinan-kemungkinan adanya masalah pada kejiwaan pasien saya di praktek maupun di tempat tugas. Kebetulan puskesmas saya di daerah pegunungan, yang masyarakatnya petani.
Di musim panen kopi seperti ini kunjungan pasien ke puskesmas bisa dihitung dengan jari. Jadi tak heran kalau saya biasanya menghabiskan waktu dengan pasien cukup lama, bisa setengah jam satu pasien. Dan saya merasakan kelegaan di wajah mereka usai ngobrol ngalor ngidul dengan saya, begitupun yang saya rasakan. Bisa sekedar membantu dengan hanya menjadi teman bicara mereka.
Akhirnya, sesuai harapan, motto terbaru dari WHO, NO HEALTH WITHOUT MENTAL HEALTH..tak ada kesehatan tanpa kesehatan jiwa. Dan sesuai satu syair pada lagu kebangsaan kita, Indonesia Raya.
Bangunlah jiwanya,
Bangunlah badannya,
Untuk Indonesia Raya
Kesehatan jiwa tak boleh lagi kita dustakan. [T]