/1/
Ada banyak hal yang bisa membuat saya terpingkal-pingkal, membuat sesak dada saya dan berbasah-basah air mata, ada banyak hal yang bisa membuat saya terkagum-kagum; dan ada juga banyak hal yang bisa membuat saya teringkal-pingkal sekaligus menangis sejadi-jadinya dan terkagum-kagum setelah itu. Negeri kita ini, Cung, kata Bapak suatu ketika, memang penuh dengan hal-hal yang demikian; penulis-penulis itu, tak akan habis menuliskannya—dan menjadikannya berbuku-buku sekalipun.
Ya, itu benar. Seperti kemarin, misalnya. Ada seorang kawan, yang marah-marah (tidak jelas) sendiri lantaran melihat Prabowo dan Mega bertemu. Dia kecewa kepada sikap Prabowo, katanya. Menurut dia, Prabowo tidak konsisten menjadi oposisi. Tentu saja, melihat sikapnya ini, diam-diam saya tertawa terpingkal-pingkal (diam-diam saja, mencoba tetap menghargai perasaannya).
Di lain hari, tiba-tiba dada saya terasa sesak, mendengar suara Emak dan Bapak di seberang sana. Mereka seperti tidak sedang berbicara, tetapi berdoa. Nasihat-nasihat mereka, membuat saya berbasah-basah air mata. Bapak berkata, suatu ketika: ‘Cung, dadio wong sing tetep nang ngisor wae, nanging ojo sampek kidakan’ (Cung, jadilah manusia yang selalu berada di bawah saja, namun jangan sampai terinjak).
Nasihat ini telah meruntuhkan ilmu pengetaahuan yang saya dapat dari pendidikan saya yang bertahun-tahun ini. Saya merasa bodoh di hadapan Bapak yang bahkan tidak lulus Sekolah Rakyat. Nasihat itu sangat dalam maknanya. Bagaimana saya tidak akan terinjak, jika saya berada di bawah? Memang saya belum menemukan cara untuk itu, tetapi tetap saja, nasihat Bapak selalu membuat saya berbasah-bahasa air mata.
Dan seperti minggu-minggu ini, saya dibuat terkagum-kagum oleh beberapa orang yang saya anggap guru-guru saya di sini. Bagaimana tidak, di tengah-tengah kesibukan mereka, mereka masih sempat-sempatnya memikirkan sesama: sesama mahluk hidup dan alam semesta. Mereka adalah manusia otentik—manusia yang sudah selesai dengan dirinya sendiri, manusia yang (mungkin) sudah mencapai pencerahan intelektual, bahkan spiritual di tengah kehidupan yang penuh penderitaan dan kekacauan ini.
Mereka adalah manusia-manusia welas asih (sesungguhnya Tuhan, pencerahan, atau apa pun sebutannya, berada dalam laku welas asih kepada sesamanya). Bagi candaan saya, mereka adalah orang-orang yang sudah mampu mendudukkan malaikat dan iblis dalam diri mereka dalam satu meja makan. Kemudian mendamaikan keduanya.
/2/
Tentu saja, guru-guru saya ini, bukan termasuk orang yang ‘neurosis’ (suatu kondisi di mana orang berusaha melarikan diri dari dirinya sendiri) seperti kata Fritz Perls. Orang yang neurosis mengorbankan diri mereka sendiri untuk mengembangkan dirinya. Akibatnya, mereka merasa hampa, kering, dan tidak bermakna. Sedangkan guru-guru saya tidak. Mereka berani untuk menjadi diri sendiri—karena itulah sumber kebahagiaan.
Saya beranggapan bahwa, konflik di dunia modern ini, disebabkan karena manusia sudah tidak kenal dirinya sendiri. Mereka tidak lagi menjadi makluk sosial. Mereka sudah menjadi sangat individualistik. Seperti pemikiran Dostoevsky yang tertuang dalam novel ‘Brother Kamazarov’, atau buku-buku lainnya. Di dalam tulisanya, Dostoevsky berpendapat, konflik di dalam dunia modern ini muncul, karena orang terlalu fokus pada dirinya sendiri, sehingga menjadi sangat individualistik.
Orang-orang sekarang hanya terpukau pada dirinya sendiri (termasuk saya sendiri, tentu saja). Sehingga, kita selalu terobsesi pada kesuksesan pribadi, dan menganggap orang lain sebagai musuh. Orang lain terisolasi satu sama lain, dan hidup dalam permusuhan.
Sekarang ini, orang-orang terputus dari komunitasnya, gotong royong susut (atau hilang?), sehingga hidup selalu diwarnai kompetisi, agresivitas, kecemburuan, keterasingan, dan pada akhirnya menciptakan kesedihan bagi mereka yang kalah. Untuk melawan semua itu, orang perlu melepaskan dirinya dari keinginan dan hasrat individualistik.
Orang perlu untuk merasa bebas, bahkan dari dirinya sendiri, mampu berdaulat atas dirinya sendiri, sehingga terciptalah situasi yang damai. Dengan melepaskan dirinya sendiri, orang bisa bersatu dengan dunia sosial. Hidup pun mengalir dalam kebersamaan dan harmoni.
/3/
Baru-baru ini, di Bali Utara—lebih tepatnya di Kabupaten Buleleng—, berdiri sebuah koperasi yang sangat kece. Koperasi Pangan Bali Utara, namanya. Koperasi ini didirikan dan digerakkan oleh guru-guru saya tadi—yang saya anggap (mungkin) sudah selesai dengan diri mereka sendiri.
Ya, saya yakin, sebagian orang sudah tahu, bahwa koperasi merupakan soko guru perekonomin bangsa ini. Dan saya beranggapan (artinya saya hanya mengira-ngira saja, entah benar atau tidak, saya tidak tahu, kalau pun salah, pasti guru-guru saya akan memaafkannya), bahwa dasar berdirinya Koperasi Pangan Bali Utara ini, berangkat dari apa yang sudah saya tuliskan di atas.
Koperasi ini menurut saya sangat unik, penuh inovasi, dan berbeda dari yang lain—atau dalam istilah kampung saya, out of the box thinking (kalau tulisannya salah mohon dibenarkan). Jika hampir 90% koperasi yang ada saat ini merupakan koperasi simpan pinjam, maka Koperasi Pangan Bali Utara ini, bergerak di bidang pemasaran hasil-hasil produksi dan hasil-hasil pangan yang ada di Bali Utara.
Mengapa koperasi pangan?—mengutip postingannya Pak Gede Kresna (salah satu orang yang mempengaruhi pemikiran saya tentang lingkungan dan kemanusiaan) di Fesbuk—karena di Bali Utara punya sejumlah produksi pangan yang sangat bagus dan masih belum terserap pasar degan optimal. Koperasi pangan ini, tambah beliau, juga memungkinkan untuk mengkurasi produk-produk petani dan artisan pangan di Kabupaten Buleleng, sehingga layak untuk dikonsumsi masyarakat, atau bahkan dijual kelebihannya kepada kalangan yang lain.
Saya memang belum tahu betul seluk-beluk tentang Koperasi Pangan Bali Utara ini, jadi saya tidak mau sok tahu dengan menuliskannya berderet-deret. Tetapi saya yakin, bahwa ini adalah gerakan yang sangat baik—dan saya harus belajar darinya.
Mungkin, bagi orang Jawa, inilah yang namanya benerѐ wong akѐh—benar menurut standar orang banyak—tidak hanya sekadar benerѐ dhѐwѐ—benar menurut standarnya sendiri—yang dianggap bersumber dari individu atau kelompok (kategori ini dipandangan sangat rendah karena muatan subjektivitasnya dianggap sangat sempit).
Saya belajar banyak dari Koperasi Pangan Bali Utara ini (tentu juga belajar banyak dari orang-orangnya). Oh iya, sebagai tambahan, jika Anda—khusunya masyarakat Bali—yang ingin tahu lebih banyak tentang Koperasi Pangan Bali Utara ini, silakan saja kunjungi halaman Facebook-nya di: Koperasi Pangan Bali Utara. [T]