“SAYA bisa bebas keluar-masuk (perbatasan Indonesia-Malaysia), kapan pun,” ujar salah-seorang warga Pulau Sebatik, tanpa harus mengantongi paspor.
Pulau Sebatik, yang dibagi menjadi dua wilayah Malaysia dan Indonesia, terletak di ujung utara pulau Kalimantan.
Awal Agustus 2005, saya melakukan liputan ke pulau mungil itu untuk merekam seperti apa kehidupan di sana.
Ketika saya ke sana, konflik perbatasan antara Malaysia-Indonesia terkait pulau Sipadan dan Ligitan masih segar dalam ingatan – dan masih menjadi isu sensitif. Atmosfirnya sangat terasa sekali.
“Jangan, jangan, bapak ini mata-matanya Inggris.” Kalimat ini, masih saya ingat, terucap dari seorang tentara yang menjaga di pos perbatasan, persis tidak jauh dari tapal batas.
Urusannya jadi panjang: Saya ditanya macam-macam, mulai data diri,surat liputan ke pulau tersebut, hingga “diskusi panjang” dengan pejabat kepolisian setempat keesokan harinya.
Dan ujungnya, “Pak Affan, mohon maaf… anggap saja Pak Affan tidak pernah ketemu kami….Dan besok, kami harap Pak Affan sudah meninggalkan Sebatik…”.
***
SEBAGIAN rumah di Pulau Sebatik, malahan, letaknya persis di garis di perbatasan — “sehingga saya makan di wilayah Indonesia, dan buang air kecil di Malaysia…,” celetuk warga Sebatik, yang sebagian besar berdarah Bugis.
Dikutuk (atau berkah?) berada di wilayah yang terpencil, dan secara geografis lebih dekat ke pusat perekonomian Malaysia (yaitu Kota Tawau), membuat sebagian warga pulau itu ‘tergantung’ kepada negara jiran itu.
Karenanya, orang-orang di pulau mungil itu mengaku lebih sering berbelanja kebutuhan sehari-hari ke Tawau (Malaysia).
“Hanya butuh waktu sekitar 20 menit, naik perahu kelotok ke Tawau,” kata seorang ibu, yang kupergoki membawa belanjaan, setelah turun dari perahu.
Selain alasan jarak yang tak begitu jauh, “harganya relatif murah…”
Lebih dari itu, mereka sudah terbiasa menggunakan mata uang Ringgit untuk bertransaksi ekonomi.
“Tentu saja, kami lebih suka menggunakan Ringgit, karena nilainya lebih tinggi..” kata seorang ibu, yang tengah meladeni pembeli di toko kelontong miliknya, tidak jauh dari pelabuhan kecil Sebatik.
‘Kedekatan’ warga Sebatik dengan Malaysia juga terlihat dari cara mereka bertutur lisan yang mirip Bahasa Melayu. “Kita kan hampir tiap hari bisa mengakses siaran televisi Malaysia, dan bertemu orang-orangnya…”
***
DUA hari tinggal di pulau Sebatik (untuk sebuah liputan tentang ‘mental warga perbatasan’), saya pun akhirnya mafhum, tentang keluhan mereka yang selama ini saya dengar dari pemberitaaan media massa, yaitu “kurang diperhatikan oleh pusat”.
Saya mewawancarai Camat Sebatik (saya lupa namanya), dan berharap “agar pemerintah pusat sudah saatnya menoleh kepada mereka”).
Seorang pengusaha, yang antara lain membuka mini market, bercerita dengan masygul, butuh beberapa hari untuk memasok kebutuhan sehari-hari. “Kadang telor sudah busuk sampai sini..”
Seorang penduduk, dengan setengah berbisik, berkata, karena kelangkaan itu, praktek penyelundupan tak jarang terjadi. “Tetapi, saat ini sedang tiarap, setelah pemerintah di Jakarta teriak-teriak soal memerangi korupsi…”
Saya juga mendatangi pos militer di perbatasan pulau itu, tetapi pejabat kepolisian dan militer di sana menolak saya wawancarai — tanpa alasan yang jelas.
(“Pak Affan, mohon maaf… anggap saja Pak Affan tidak pernah ketemu kami….Dan besok, kami harap Pak Affan sudah meninggalkan Sebatik…”).
Saya mengiyakan permintaan para pejabat itu. Beruntung, saya sudah mendapatkan wawancara lengkap dengan warga, pelaku ekonomi, serta pejabat sipil Pulau Sebatik…
Dan seperti dimaui mereka, esok harinya sebuah sepeda motor yang dinaiki seorang polisi sudah menunggu di depan hotel yang saya tinggali.
“Ini Pak Affan kan?” Sebelum dia bertanya lebih lanjut, kujawab ya dan kukatakan “ya, saya akan meninggalkan Sebatik…”
Mengendarai mobil kijang yang kusewa, aku pun meninggalkan polisi dengan sepeda motor tuanya.
Saya memotong jalan, melewati kawasan yang dulunya hutan (dan, kini tinggal tanah yang kosong, dan bekas tebangan pohon di mana-mana) menuju dermaga kecil, untuk selanjutnya menyeberang ke Pulau Nunukan — sebelum besoknya kembali ke Tarakan dan pulang ke ‘dunia nyata’ Pulau Jawa, dengan segepok informasi tentang Pulau Sebatik dan penghuninya… [T]