Festival Tepi Sawah pada Minggu 7 Juli 2019 di Omah Apik Pejeng, Ubud, Gianyar, seakan diberi nyawa berlebih ketika Ida Ayu Satyani atau Dayu Ani mementaskan teater kecil dengan iringan nyanyian Kidung Pangraksa Jiwa. Getaran nada dari kidung itu seperti mengukuhkan dengan begitu mendalam betapa beragamnya Nusantara tercinta ini.
Dayu Ani memulai pementasannya dengan menghadirkan anak kecil berbalur boreh ke tengah acara. Kidung Pangraksa Jiwa lamat-lamat menyihir ruang. Penonton hening. Kidung itu menceritakan tentang penguatan batin anak dan ibu. Betapa dalam dan menyihir.
Dalam kidung Pangraksa Jiwa itu lamat-lamat terdengar nama-nama nabi seperti Muhammad dan Ibrahim, disebutkan dengan nada yang seakan menyelip di antara dingin malam. Malam itu, Nusantara tercakup mistis di Festival Tepi Sawah.
Dayu Ani menjelaskan, dia mengetahui kidung ini bukan hanya diwariskan di desanya, Desa Budakeling, Karangasem. Kidung itu juga dikenal sebagai kidung Hikayat Nabi dan Rumakso Iwonge di Sunda.
Di Desa Budakeling, kidung ini dinyanyikan sampai pagi saat ada upacara Puput Puser. Tujuannya untuk menguatkan jiwa bayi agar dijauhkan dari marabahaya dan penolak bala.
“Makna itupun sama dengan kidung Hikayat Nabi dan Rumakso Iwonge. Lewat kidung ini, diharapkan anak bisa hidup dengan kasih sayang semesta,” jelasnya.
Makna dari kidung dengan sebelas bait itu pun dituangkan dalam gerak tari dan teater yang dimainkan dengan apik oleh Dayu Ani. Pesan penguatan jiwa ini terlihat saat sosok anak kecil tersebut menari dan menarik kain putih di sekeliling Dayu Ani.
Anak kecil itu diandaikan sebagai jiwa yang datang dan kain putih diandaikan sebagai tali pusar. Aksi itu menggambarkan bagaimana sang ibu lewat tali pusarnya memberi nutrisi dan melindungi anaknya, bahkan sampai dia mandiri.
“Lewat festival ini, saya harap semoga kita bisa hidup saling berdampingan dengan alam nyata, tidak nyata, dan semesta,” harapnya.
Selain Dayu Ani, sesi jamming pada malam terakhir festival itu di stage Uma dimeriahkan oleh Nita Aartsen, Celticroom Bali dan Made Ciaaattt. Dengan iringan piano, violin, dan tepukan gendang, mereka berkolaborasi dengan membawakan lagu Melati Putih. Di pertengahan, Made Ciaaattt menari dengan tempo khas gamelan Bali yang dibunyikan dari bibirnya sendiri.
Pada Malam ada pula sesi jamming bertema Papua. Kacir, salah satu penyanyi di stage Uma menyanyikan beberapa lagu berbahasa Papua. Diantaranya bercerita hal yang sederhana, yaitu menggoda perempuan berbaju polkadot yang terlihat berjalan mondar-mandir.
“Nona kalau tidak punya rumah, mending ke rumah saya saja,” celetuknya dan disambut tawa para penonton. Selanjutnya, lagu yang ia bawakan menceritakan tentang perjalanan ke kampungnya di pelosok Papua yang panjang dan berat.
Terakhir adalah lagu Yamko Rambe Yamko, dimana para penari berbaju tradisional Papua mengajak penonton untuk ikut menari bersama di tengah penampilan.
BACA JUGA:
- Festival Tepi Sawah Dibuka Aneka Workshop Bertema Budaya Indonesia
- Koes Plus Tak Pernah Mati
- Pekak Taro Bercerita, Turis Asing pun Bengong Mendengar
Closing night Festival Tepi Sawah juga dimeriahkan oleh Bonita, Bhismo, Iqua, dan FRC dalam sesi Folklore. Disini, mereka membawakan lagu-lagu tradisional dari penjuru nusantara seperti Kicir-Kicir, Rasa Sayange, dan Ampar-Ampar Pisang.
Balawan, gitaris handal asal Gianyar juga hadir dan sempat mengisi workshop Irama Bali di sore harinya, lalu jamming berkolaborasi dengan Made Ciaaattt di malam harinya. [T]