31 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Geliat Nusa Penida dan Penambal Borok Pariwisata

I Ngurah SuryawanbyI Ngurah Suryawan
June 25, 2019
inOpini
218
SHARES

Saya sadar sekarang, kenapa pariwisata (masih) begitu mempesona bagi sebagian kalangan masyarakat. Salah satunya mungkin karena begitu sumringahnya masyarakat di wilayah yang sebelumnya tak terjamah pariwisata, menyambut “dewa penolong” yang datang menghampiri mereka. Mereka sumringah karena telah ditemukan lokasi pariwisata yang bisa menguntungkannya. Layaknya sang mesias yang menghadirkan perubahan derajat hidup bagi masyarakatnya. Semuanya disambut dengan gegap gempita. Hampir keseluruhan tatanan kehidupan diarahkan untuk mendukung zaman baru; era yang membuat kepala mereka tegak berhadapan dengan orang-orang yang sebelumnya berpandangan sebelah mata dan merendahkan.

Untuk beberapa saat, gegap gempita itu betul-betul terasa nikmatnya. Masyarakat berlomba-lomba untuk mengais rejeki dari kekayaan potensi pariwisata di daerah mereka. Generasi mudanya mendadak memutuskan untuk memilih jurusan pariwisata pada pendidikan sekolah menengah, diploma, maupun pendidikan tinggi. Arah pembangunan desa juga menyesuaikan dengan potensi yang baru ditemukan ini. Program-program pembangunan desa dan pekrimik(perbincangan sehari-hari) di tengah masyarakat tidak lepas dari konteks itu. Bagaimana berlomba-lomba memantaskan diri dan ambil bagian dalam dunia pariwisata. Kontestasi dan gengsi masyarakat tidak terelakkan terjadi. Nusa Penida yang dalam sejarahnya adalah pulau pembuangan para pembangkang Kerajaan Klungkung kini bersalin rupa.

Pertaruhan

Medio Agustus 2018 lalu saya terkagum-kagum melihat perubahan di daerah Nusa Penida, Klungkung. Gugusan kepulauan yang terdiri dari Nusa Penida, Nusa Lembongan, dan Nusa Ceningan ini tersentuh bergantian oleh pariwisata. Nusa Penida (mungkin) menikmatinya terakhir. Salah satunya di Desa Sakti. Saya terkagum menyaksikan begitu subur tumbuhnya home stay dan restaurant yang dikelola oleh masyarakat Sakti sendiri. Sisanya, investor luar Bali dan warga negara asing menanamkan modalnya.

Pembangunan fasilitas pariwisata berlangsung gencar di kawasan Nusa Penida (foto: I Ngurah Suryawan)

Hidup masyarakatnya berubah drastis. Dulu, seingat saya, seorang tetangga di sebelah rumah di Denpasar berasal dari Nusa Gede (nama lain Nusa Penida). Ia sering sekali memberikan buah tangan berupa lengis tanusan(minyak kelapa) dalam air mineral kemasan. Katanya, orang-orang di Nusa Gede kesehariannya mencari buah kelapa yang tumbuh subur kemudian diolah menjadi lengis tanusan. Lenis tanusan inilah yang kemudian dijual di pasar-pasar desa untuk sekadar membeli beras dan kebutuhan dapur. Salah satu desa yang menjadi penghasil lengis tanusan itu adalah Desa Sakti. Tentu itu dulu. Kini, sepintas saya lihat, penghasil lengis tanusan berubah menjadi pengawai bahkan sebagai villa dan restaurant. Mereka berubah orientasi kehidupan. Modal masyarakat lokal mempunyai tanah sangatlah berarti. Jika tidak sanggup berdiri sendiri, mereka biasanya akan bekerjasama dengan orang lain untuk membangun penginapan sederhana.   

Bagi daerah-daerah pesisir, belum lekang dalam ingatan, jika rumput laut pernah mengalami masa kejayaan di tiga gugusan pulau itu (Nusa Penida, Nusa Lembongan, dan Nusa Ceningan). Kisah-kisah sukses petani rumput laut yang berhasil mensarjanakan anaknya bukanlah hal baru. Sebelum menjulang namanya dengan pariwisata seperti sekarang, Pulau Nusa termasyhur dengan petani dan produksi rumput lautnya. Namun kini itu hanya kenangan. Ada keinginan untuk merengkuh kembali kejayaan rumput laut, namun profesi masyarakat sudah kadung ngekoh (sudah malas) untuk berbasah-basahan di laut. Pekerjaan nelayan pun sudah mulai menyurut. Mereka santep(semangat) kalau menjadi pengemudi jukung(perahu) atau boat untuk snorkeling atau diving para wisatawan. Alasannya sederhana, uang cepat dalam genggaman. 


Boat dan jukung (perahu) parkir di laut untuk fasilitas wisata bahari di Nusa Penida (foto: I Ngurah Suryawan)

Setelah Nusa Lembongan (Jungut Batu dan Tanjung Sanghyang) dan Nusa Ceningan yang lebih dahulu terjamah Pariwisata, kini giliran Nusa Penida. Salah satu contohnya adalah Desa Sakti, yang baru saja menggeliat pada awal tahun 2017. Made Sar, sebut saja begitu, salah satu tokoh penggerak pariwisata berkisah bahwa tidak mereka sangka, banyak orang-orang buledatang ke desa mereka. Mereka datang ke pantai-pantai yang berada di pesisir wilayah desa. Banyak memang pantai-pantai, tapi masyarakat tidak mempedulikannya. Padahal, di kemudian hari, pantai yang tidak mereka hiraukan itu menjadi sumber pendapatan mereka menggeruk dollar.

Tamu yang awalnya belasan orang datang silih berganti. Dengan sukarela, masyarakat mempersilahkan rumah mereka sebagai tempat istirahat dengan “harga ramah”. Beberapa yang tidak kebagian tempat penginapan memilih bermalam di pinggiran pantai. Gugusan pantai-pantai yang indah sebelumnya hanya menjadi klangenan warga akan hidup mereka yang terpencil dari pusat Kota Klungkung bahkan Denpasar. Terbantu oleh teknologi, keindahan pantai-pantai tersebut tersebar di masyarakat global. Pada akhirnya, potensi bahari yang secara alami mereka miliki mejadi sangat berharga. Menyadari potensi itu, masyarakat sekitar melihat peluang untuk memanfaatkan potensi alam tersebut. Maka perlahan-lahan, masyarakat mulai berani berhutang untuk membangunhome stay, villa dan rumah makan sederhana sebagai awalnya.

Bungalow dan home stay berjamuran yang selalu diburu oleh wisatawan (foto: I Ngurah Suryawan)

“Terkenal sube nak Nusa wanen-wanen,” ungkap Made Sar. Orang-orang Nusa (Penida, Lembongan, dan Ceningan) terkenal dengan keberaniannya (meminjam uang untuk membangun fasilitas pariwisata). Mereka bertaruh. Mereka berlomba-lomba membangun villa dan infrastruktur pariwisata lainnya di bongkahan batu yang keras dan tebing-tebing curam. Mereka melihat emas yang akan menghidupi keluarga dan keturunannya. Bermilyar-milyar mereka membutuhkan uang untuk membangun sarana pendukung pariwisata. Mereka berani berhutang puluhan juta per bulan ke bank yang dengan senang hati memberikan pinjaman.

Pertaruhan mereka bukannya tanpa resiko. Ya, resikonya sangat besar dan menanti di depan mata. Pesona pariwisata begitu membius, tanpa pikiran panjang. Saya khawatir, menggeliatnya Nusa Penida menghadirkan begitu banyak resiko di kemudian hari, seperti juga gemerlap pariwisata pada umumnya. Tata ruang desa sontak berubah. Tempat primadona harus terus dipoles agar tampak menarik. Eksploitasi berlebihan akan mendatangkan masalah. Pada masa mendatang, orientasi dan pola pikir masyarakat juga pasti akan berubah. Orang-orang rakus yang mencari keuntungan di tengah kerumunan juga pasti akan tumbuh subur.

Mimpi mensejahterakan masyarakat melalui pariwisata, kini perlahan-lahan menjadi sebagian kenyataan di Nusa Penida. Bagaimana tidak, kini mereka bisa memegang uang puluhan juta per bulan dari usaha home stay, wisata bahari, dan restaurant. Luar biasa. Tapi pariwisata adalah hal yang rentan dan tidak berdiri sendiri. Jaminan keamanan dan situasi dunia sangat mempengaruhi, selain tentunya promosi. Bulan-bulan panen liburan adalah waktu yang dinanti. Jika tidak jeli untuk menyimpan keuntungan melimpah di bulan-bulan tersebut, bisa dipastikan akan kelabakan membayar utang kredit di bulan-bulan sepi. Pertaruhan mereka untuk menyandarkan kehidupan di pariwisata sangatlah besar.

Menambal Borok

Selain hal-hal yang bersifat fisik tersebut, tanpa disadari, pariwisata juga memproduksi cara berpikir dan berperilaku masyarakat. Dalam perbincangan yang lebih luas, barang yang bernama pariwisata dengan berbagai pirantinya, mengkonstruksikan politik kebudayaan sebuah diri dan komunitas, baik itu keluarga, desa, bahkan negara. Pada sisi lainnya, dari pariwisata—pembangunismedalam konteks yang lebih luas—menghasilkan kelas sosial baru di tengah masyarakat yaitu golongan kelas menengah, para elit-elit baru. Para OKB (Orang Kaya Baru) atau nak buta tuben kedat(orang buta baru melihat)—sebuah perumpamaan untuk menunjukkan orang yang dulunya miskin mendadak menjadi kaya.

Pura Besakih, salah satu pura terpenting di Bali menjadi salah satu kawasan wisata (foto: I Ngurah Suryawan)

Satu hal lagi yang melekat dan mempunyai relasi khusus dengan pariwisata adalah kata sakti bernama kebudayaan. Boleh saja pengembangan destinasi menyasar berbagai lahan baru semisal ekowisata, wisata bahari, green tourism, yang konon merekognisi lingkungan dan sebagai antithesis dari mass tourism (pariwisata massal). Namun, kata kebudayaan lah juga yang menjadi kata kunci untuk menghidupkan pariwisata. Tidak heran hubungan yang sebenarnya diskursif sekaligus politis antara pariwisata dan kebudayaan disimplifikasi menjadi ideologi “pariwisata budaya”. Hal ini sudah harga mati. Tidak ada pertanyaan atau gugatan terhadap konsep yang masyarakat Bali yakini secara samar-samar ini.

Bali memiliki sejarah panjang hubungan yang tidak selalu harmonis antara pariwisata dan masyarakat seperti dibayangkan oleh pembuat konsep dan praktisi kebijakan Pariwisata Budaya. Jauh sebelumnya, Ngurah Bagus (2011) sudah mencatat bahwa transformasi dari pertanian ke pariwisata menyebabkan perubahan drastis secara fisik, dimana lahan-lahan pertanian disulap menjadi resortdan hotel megah, dan investor masuk melahap bentangan sawah sumber penghidupan petani. Lanskap geografis berubah dan relasi manusia dan situs-situs kebudayaannya juga ikut berubah.

Momen terpenting pariwisata massal adalah pada tahun 1980-an saat diberlakukannya deregulasi kebijakan penerbangan langsung ke Bali. Arus global tersebut kemudian direspon dengan membuka Bali untuk penanaman modal berskala besar di sector pariwisata pada akhir 1980. Pada waktu itulah industri pariwisata bercorak kapitalisme mulai berkembang dan pada akhirnya mencaplok sejumlah besar tanah rakyat Bali. Kondisi ini kemudian didukung dengan kebijakan lokal dengan dikeluarkannya SK Gubernur Bali No. 528/1993 yang menentukan 21 kawasan wisata yang siap dijual untuk meningkatkan PAD. Saat itulah kebijakan tersebut akhirnya tertuang dalam Perda No. 4 Tahun 1996 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Bali. Pasca itulah Bali seperti diguyur air bah investor pariwisata yang melahap tanah-tanah Bali.

Salah satu dampak —kalau tidak dikatakan borok pariwisata yang menyeruak halus bagai jin adalah membentuk identitas diri, cara berpikir, dan perilaku orang Bali. Pada saat itulah bermunculan istilah “jangan melawan arus” saat rezim otoritarian Orde Baru berkuasa melalui pembangunan nasional dan pariwisata budayanya di Bali. Pada saat itu juga orang-orang Bali lekat dengan istilah Koh Ngomong (malas/segan berbicara), Nyangut (mencari selamat), dan Mecik Manggis (pura-pura menghormat sehingga dapat menarik perhatian atasan). Pada titik inilah masyarakat Bali hanya dianggap sebagai massa, bukan rakyat yang berdaulat dan bermartabat untuk memperjuangkan hak dan kepentingannya (Ngurah Bagus, 2011: 614-616; Siegel, 1993).    

Menggeliatnya kawasan Nusa Penida bagi saya seolah menambal borok jejak pariwisata di pulau ini. Ketersingkiran manusia, kerusakan lingkungan, dan “biaya sosial budaya” sebagai “museum pertunjukan pariwisata” membawa pengaruh luar biasa dalam perubahan kehidupan manusia Bali. Berbagai komponen pariwisata, termasuk akademisi ahli pariwisata, mencari peluang-peluang baru untuk memodifikasi dunia pariwisata yang terlanjur menjadi panglima dan dianggap menjadi jantung kehidupan ekonomi masyarakat Bali. Kita pun mengerti bahwa tidak mungkin manusia bisa hidup hanya dengan jantung. 


Saya masih ingat sekali, Santikarma (2004) dalam esainya Pentas Antropologi di Indonesia, mengungkapkan bahwa ada relasi yang rumit antara kebudayaan, kekerasan, dan kekuasaan yang coba disederhanakan oleh rezim pariwisata budaya. Antropologi sebagai salah satu ilmu yang mempelajari manusia dan kebudayaan, dalam konteks Bali, bisa diuangkan melalui industri pariwisata. Pada masa colonial orang-orang asing datang ke Bali untuk transaksi rempah-rempah dan budak. Kini, wong sunantara (orang luar, wisatawan) datang membeli komoditas yang dinamakan kebudayaan. Para antropolog, seniman, budayawan, bahkan pelaku bisnis seni dan budaya, bisa menjadi juragannya. Untuk itulah, di Bali, untuk menyambut kedatangan pembawa devisa, berjamurlah sekolah pariwisata maupun perguruan tinggi yang menawarkan “kurikulum kebudayaan” oleh insan-insan akademis. Di sinilah terletak benang kusut antara pengetahuan, takhta, dan uang.      

Fasilitas transportasi yang cepat dari Denpasar menuju Nusa Penida dan Nusa Lembongan sangat mempengaruhi perkembangan pariwisata (foto: I Ngurah Suryawan)

Geliat yang saya lihat di Sakti, Nusa Penida memang pertanda baik, namun saya tidak lepas dari kekhawatiran. Pembangunan yang merusak lingkungan dan hadirnya investasi yang menyingkirkan masyarakat tempatan selalu membayang. Memang bukan kini, tapi kelak. Kini, memang tampak mempesona. Namun kelak, selalu saja ada ironi dari pertaruhan masyarakat Sakti, Nusa Penida, bahkan destinasi sebelumnya yang kini mungkin sudah jenuh dan meninggalkan borok. Entah mengapa saya selalu sinis melihat pesona pariwisata. Saya kok melihatnya bagai candu. Membius tapi sekaligus melumpuhkan [T]

Peguyangan, Juni 2019  

Tags: balidesa wisataNusa LembonganNusa PenidaPariwisatawisata
Previous Post

Festival Tepi Sawah: Performing Arts In Nature

Next Post

Jika PPDB Zonasi, Jangan-jangan Jodoh juga Zonasi?

I Ngurah Suryawan

I Ngurah Suryawan

Antropolog yang menulis Mencari Bali yang Berubah (2018). Dosen di Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat.

Next Post

Jika PPDB Zonasi, Jangan-jangan Jodoh juga Zonasi?

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Tembakau, Kian Dilarang Kian Memukau

by Petrus Imam Prawoto Jati
May 31, 2025
0
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

PARA pembaca yang budiman, tanggal 31 Mei adalah Hari Tanpa Tembakau Sedunia. Tujuan utama dari peringatan ini adalah untuk meningkatkan...

Read more

Melahirkan Guru, Melahirkan Peradaban: Catatan di Masa Kolonial

by Pandu Adithama Wisnuputra
May 30, 2025
0
Mengemas Masa Silam: Tantangan Pembelajaran Sejarah bagi Generasi Muda

Prolog Melalui pendidikan, seseorang berkesempatan untuk mengembangkan kompetensi dirinya. Pendidikan menjadi sarana untuk mendapatkan pengetahuan sekaligus mengasah keterampilan bahkan sikap...

Read more

Menjawab Stigmatisasi Masa Aksi Kurang Baca

by Mansurni Abadi
May 30, 2025
0
Bersama dalam Fitri dan Nyepi: Romansa Toleransi di Tengah Problematika Bangsa

SEBELUM memulai pembahasan lebih jauh, marilah kita sejenak mencurahkan doa sembari mengenang kembali rangkaian kebiadaban yang terjadi pada masa-masa Reformasi,...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025

MEMASUKI tahun ke-10 penyelenggaraannya, Ubud Food Festival (UFF) 2025 kembali hadir dengan semarak yang lebih kaya dari sebelumnya. Perayaan kuliner...

by Dede Putra Wiguna
May 31, 2025
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025
Panggung

Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025

LANGIT Singaraja masih menitikkan gerimis, Selasa 27 Mei 2025, ketika seniman-seniman muda itu mempersiapkan garapan seni untuk ditampilkan pada pembukaan...

by Komang Puja Savitri
May 28, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co