Sebagai seorang pekerja media saya tentu selalu bergelut dengan peristiwa atau isu yang menjadi perhatian publik. Setelah ramai-ramai urusan pemilihan presiden 2019 kemarin, rutinitas peliputan kemudian secara cepat beralih ke topik Hari Raya Idul Fitri. Sebagaimana di tahun – tahun sebelumnya, urusannya ya itu-itu saja.
Ya soal suasana Ramadhan di Bali yang mayoritas warganya memeluk agama Hindu, menu berbuka, mudik bareng, arus balik sampai soal susahnya mencari pecel lele di saat banyak perantau asal Pulau jawa mudik.
Seperti halnya kaset yang diputar berulang-ulang dari tahun ke tahun, liputan media biasanya diakhir dengan edisi “pamungkas” yaitu gelombang pendatang “baru” yang menyerbu Pulau Dewata. Ini seperti ritual yang ditunggu-tunggu oleh media lokal.
Rasanya kurang afdol kalau tidak mmberitakan razia Satpol PP di pintu-pintu masuk. Entah itu di pelabuhan laut maupun di terminal bus. Namun jarang situasi itu ditemukan di bandara ngurah Rai, Bali. Entah apa sebabnya, atau mungkin saya saja yang tidak mendapat informasi.
Satu per satu tas penumpang diperiksa isinya. Kartu identitas penduduk dicermati. Bahkan sampai berujung pemulangan. Intinya ceritanya ya gitu-gitu aja.
Namun, deretan peristiwa ini sesungguhnya masih menyisakan tanya. Mengapa begitu banyak pendatang yang tergiur datang ke Bali atau kota-kota besar lainnya di Indonesia? Rela meninggalkan kampung halaman untuk mengejar sesuatu yang juga belum pasti? Untuk konteks Bali, beresiko dipulangkan kembali jika tidak mengatongi kartu identitas yang jelas.
Pertanyaan-pertanyaan ini membawa memori saya ke tahun 2001. Saat dimana saya pertama kali menginjakan kaki di Pulau Bali. Pilihan untuk merantau atau tepatnya melanjutkan pendidikan di Bali bukanlah keputusan yang diambil semalam. Ada pertimbangan untung ruginya. Sehingga sampai pada kesimpulan rasa-rasanya enak hidup di Bali..hehehe..
Keputusan untuk ke Bali bermula dari tawaran yang datang saat SMA. Ketika itu sejumlah sekolah negeri di Flores tempat saya berasal membuka jalur khusus PMDK untuk masuk perguruan tinggi Negeri.
Dimana, syaratnya adalah mengirimkan curiculum vitae ke kampus yang dipilih dengan melampirkan nilai akademis. Siswa yang berminat ditawari sejumlah perguruan tinggi negeri, termasuk universitas udayana (UNUD), Bali.
Ketika itu saya memutuskan untuk melamar ke Unud. Petimbangannya tidak semata-mata urusan akademis. Gambaran pulau Bali yang ditangkap melalui media cukup memberi andil. Media televisi selalu menampilkan Bali bagai surga yang mengundang hasrat untuk dikunjungi.
Indahya sunsetdi Kuta, ragam seni yang menakjubkan, ritual ngaben yang mempesona, sampai hal remeh temeh seperti bisa lihat bule jemuran pakai cawat doang masuk dalam daftar hal-hal yang memotivasi saya memutuskan untuk memilih UNUD; maklum saja, saya kan anak desa, jarang-jarang juga liat tu barang hehehe…
Soal pesona Bali ini tak perlu diragukan lagi. Bukankah wisatawan dari berbagai penjuru dunia juga datang untuk merasakan eksotisme Bali. Investor juga berbondong-bondong berinvestasi di Bali. Jangan salah, pendatang “kelas teri” kaya saya ketika itu ya punya selera ga kalah tinggi juga. Ke Bali gitu lho kaya bule-bule. Walaupu urusannya untuk kuliah.
Dengan kata lain, dalam benak saya saat itu, Bali ya benar-benar pulau surga yang menawarkan banyak kebahagian dan keindahan. Sebuah gambaran yang ternyata juga melekat di kepala kawan seangkatan yang memutuskan melanjutkan studi di Bali.
Pokoknya kaya ga ada susahnya la kalau hidup di Bali. Mau santai ada pantai, mau alcohol ada arak seperti yang dilagukan slank, mau dugem ada di Legian, mau liat artis ah itu mah urusan cenik (gampang). Mau kenikmatan apa lagi ayo, pasti ada solusinya..hehe..
Gambaran-gambaran nikmatnya berlibur ke Bali atau hidup di Bali dimateraikan lewat iklan-iklan pariwisata yang berseliweran. Julukan the last paradise, potongan surga, dan jargon-jargon iklan lainnya seakan makin mempertegas bobot Bali sebagai pulau surga.
Singkat cerita demi sampai ke Bali saya menempuh 48 jam darat sekitar 48 jam dari tanah kelahiran saya, Flores. Tiga kali penyebrangan laut dan dua kali ganti bus. Melintasi pulau Sumbawa, Lombok sebelum sampai di Bali. Naik turunkan barang jadi hal biasa dalam perjalanan. Saya pikir itu pengorbanan yang sepadan lademi mencapai tanah surga tadi..
Singkat cerita, sampailah saya di Terminal Ubung, Bali bersama teman seangkatan. Lalu numpang di kos-kosan kerabat sebelum memasuki dunia kampus. Sebagai orang yang baru meniti karir sebagai “perantau” di sinilah saya harus mulai beradaptasi dengan kenyataan.
Jika di kampung makan tiga kali sehari, maka perut harus mulai dibiasakan cukup dua kali sehari. Itupun ga boleh nambah, kalau ga uang kiriman orang tua bisa jebol dalam waktu singkat. Mau ke mana-mana serba duit karena harus naik angkutan umum. Apalagi mau lihat bule berjemur di Kuta. Pastinya lebih habisin ongkos karena jaraknya cukup jauh tempat saya numpang.
Mau lihat orang tarian ternyata ga bisa seenak udel, kalau lagi tidak ada ada acara adat ya mesti bayar juga. Kena razia kipem jadi menu bulanan. Kalau tidak rutin bayar siap-siap mengikuti kuliah umum di banjar. Status saya sebagai pelajar saat itu tentu cukup banyak membantu meringankan beban administrasi di banjar. Berbeda halnya dengan mereka yang bekerja.
Bayang-bayang mengenai nikmatnya surga mulai pupus sebagian meski tidak semuanya. Realitasnya tidak seindah jargon-jargon iklan pariwisata.
Setidaknya mulai menyadari, hidup di manapun ya sama saja. Tidak ada kebahagian yang jatuh dari langit. Mau nikmat ya ada ongkos yang harus dibayar.
Saya jadi berpikir, bisa jadi pergulatan seperti inilah yang dilalui sekian banyak “pendatang” yang coba mengadu nasib di Bali. Ingin mengubah nasib sembari bisa menikmati pulau surga. Pilihan yang awalnya karena bayang-bayang surga tadi.
Di sisi lain, promosi pariwisata ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi menarik minat wisatawan untuk berkunjung. Sedangkan di sisi lain menarik mereka yang ingin mengadu nasib. Sebagai pekerja media saya sedikit banyak sering mendapat “request” untuk memberitakan yang “baik-baik”soal Bali demi kepentingan pariwisata.
Jadi cukup logis bila orang beramai-ramai datang ke tempat yang kondisinya “baik-baik” saja. Bukankah lumrah jika orang ingin hidup di tanah surga? Gawatnya lagi, objek wisata di daerah lain diberi label Bali baru. Adanya di Sumatera, Jawa hingga Indonesia Timur tapi tetap saja diberi label Bali baru. Katanya biar laku dijual.
Hitung-hitung daripada mengunjungi Bali versi imitasi, kenapa tidak sekalian yang ori. Toh aksesnya lebih mudah dengan ongkos yang lebih murah untuk sampai. Saya pikirnya saatnya kita bercerita secara jujur. Bahwa Bali memiliki ragam daya tarik tentu ya. Tapi jangan abai menyampaikan kenyatan. Bahwa investasi besar-besaran di Bali bak menyiram gula di atas lahan sempit. Semut akan datang dari berbagai penjuru.
Karena itu, ada baiknya razia tidak hanya dilakukan di terminal atau pelabuhan. Perlu pengetatan terhadap investasi agar tidak menumpuk hanya di satu tempat. Ibarat kata, gulanya perlu disebar ke mana-mana biar semutnya tidak numpuk di satu tempat.
Sehingga surga bisa ditemukan di mana-mana. Baik itu di Sumatera, Jawa, NTT, hingga Papua. Minim tidak ada lagi yang terjebak dalam baying-bayang indahya pulau Surga.
Ya udah, segitu aja dulu hehehe… [T]