Kalau ingin sehat jasmani-rohani, sering-seringlah nangkil ke Pura Luhur Lempuyang di Kecamatan Abang, Karangasem, Bali. Mendaki ribuan anak tangga dengan ketinggian lebih dari 1000 mdpl, lumayan melatih jantung dan membakar ribuan kalori, serta melatih otot-otot kaki dan paha.
Ini kali kedua saya nangkil ke Lempuyang. Pertama 9 tahun yang lalu bersama teman-teman kantor, dan kali ini bersama semeton sanggah gede. Ini kali pertama bersama istri. Istri saya sempat ragu-ragu. Takut-takut berani, karena kabar medan yang berat telah jauh-jauh hari tertangkap di telinganya. Lama dia berjibaku dengan dirinya. Akhirnya kata itu terlontar: ikut! Dia berhasil mengalahkan rasa takutnya. Seperti orang bijak berkata: “Sesuatu yang susah akan tetap susah kalau dipikirkan saja, tanpa dijalani.”
Beberapa hari sebelum hari H nangkil, istri saya sempat latihan fisik jalan-jalan keliling taman bunga di depan rumah. Memang sih dia rutin jalan-jalan mengelilingi taman bunga, tapi sekarang porsinya ditambah.
Pagi itu, 6 Juni 2019, kami berangkat. Dengan semangat ’45 semua hadir tepat waktu. Tidak ada yang molor. Jam 5 pagi teng sudah berangkat. Memakai bus jumbo lengkap dengan toilet. Sehingga para pemedek merasa lebih nyaman karena bisa pipis di dalam bus, tidak perlu lagi meminta sopir berhenti di sebuah mini market terdekat hanya untuk buang air kecil.
Sepagi itu lalu lintas lancar. Apalagi pas libur lebaran. Pukul 8 pagi sudah mencapai lokasi, di parkiran bus di bawah. Bus tidak boleh naik. Kami harus jalan kaki atau numpang ojek untuk mencapai pura pertama. Kami sepakat naik ojek saja untuk menghemat tenaga, karena perjalanan masih jauh. Motor-motor ojek meraung-raung, tertatih-tatih naik di beberapa tanjakan menuju pura pertama.
Kami sembahyang di Pura Penataran Agung, pura pertama dari 7 pura yang akan kami sembahyangi. Pura yang megah. Ornamen-ornamen pura didominasi warna putih. Dari jabe tengah menuju jeroan pura, ada tiga tangga tinggi dengan gapura yang tinggi-tinggi. Areal pura ini menjadi tempat berfoto bagi wisatawan asing yang ramai berkunjung. Sebuah candi bentar yang menghubungkan jabe sisi dengan jabe tengah ternyata berhadapan langsung dengan gunung Agung di kejauhan sana.
Gunung Agung yang jauh, terasa berada di tengah-tengah candi bentar itu, sehingga menjadi spot favorit bagi wisatawan untuk berfoto. Para wisatawan asing dari berbagai negara terlihat mengantre untuk berfoto di candi bentar itu. Kami yang terburu-buru, tidak sempat masuk ke dalam antrean.
Setelah itu kami jalan kaki menuju pura ke dua, sekitar satu kilometer.
Pura Telaga Mas adalah pura kedua. Sekitar 20 menit sembahyang di pura ini, kami melanjutkan perjalanan. Di sinilah pendakian itu dimulai. Ratusan anak tangga nampak berundak-undak membelah bukit. Tangan saya gatal lagi, otomatis mengambil smartphone, mengabadikan momen itu, saat para pemedek beramai-ramai menaiki anak tangga secara pelan-pelan. Tapi hati-hati! Di kanan ada jurang yang dalam. Terpeleset sedikit, bahaya. Kalau HP jatuh, rasanya tak mungkin mengambil ke bawah. Itu jurang dengan pohon-pohon dan semak belukar yang lebat.
Napas sudah mulai terasa memburu. Saya melirik smartwatch di pergelangan tangan kiri saya, nampak detak jantung mulai naik. Rombongan yang tadi mengular, mulai terputus-putus. Sementara tangga di depan, seperti tak habis-habis. Tangga-tangga yang sepertinya tak berujung. Terbersit dalam pikiran saya, bagaimana membawa batu-batu dan semen untuk membuat tangga sampai ke puncak. Ini kerja yang luar biasa. Bisakah ini menjadi salah satu keajaiban dunia, disejajarkan dengan Candi Borobudur atau Tembok China?
Kalau dihitung, ada ribuan anak tangga. Konon, seperti yang pernah saya baca, katanya ada sekitar 1.700 anak tangga yang membelah belantara itu sampai ke puncak. Ckckckck…saya hanya berdecak kagum pada orang-orang yang telah bergotong royong membangun tangga-tangga itu, yang telah memudahkan perjalanan kami.
Pelan-pelan kaki-kaki kami mendaki anak-anak tangga itu. Kaki-kaki yang mulai letih. Ratusan kalori terbakar. Istri saya sudah mulai merasa kelelahan. Dia memegangi tangan saya. Beberapa kali kami selfie sambil tersenyum, melupakan sejenak rasa lelah itu. Untunglah saya sudah terlatih bersepeda, sehingga lelah itu tak terlalu terasa.
Akhirnya kami sampai di Pura Telaga Sawang. Bisa mesandekan, istirahat sebentar sambil mengatur napas. Ini adalah pura ke tiga. Selesai sembahyang di pura Telaga Sawang, kami bergeser sedikit ke Pura Lempuyang Madya, karena kedua pura ini berdekatan.
Di pura Lempuyang Madya ini banyak pemedek yang melakukan selfie dan foto bersama. Pemandangan begitu indah. Kita sedang berada jauh di ketinggian. Dari gapura Pura Lempuyang Madya, latar belakang hijaunya pohon-pohon di dataran rendah nun jauh di sana. Awan-awan seperti dekat untuk disentuh. Bagaikan berada di negeri awan seperti yang sering diceritakan dalam dongeng.
Selesai sembahyang di Lempuyang Madya, waktu menunjukkan pukul 12.00 tepat. Kami istirahat sebentar sambil makan siang bersama, membuka perbekalan masing-masing. Memangkas berat beban perbekalan yang kami gendong dengan tas di punggung.
Setelah itu melanjutkan perjalanan lagi. Pura Penataran Agung, Pura Telaga Mas, Pura Telaga Sawang, Pura Lempuyang Madya, empat pura sudah kami lalui. Tinggal 3 pura lagi, yaitu Pura Pucak Bibis, Pura Pasar Agung dan yang terakhir berada di puncak: Pura Lempuyang Luhur.
Kami melanjutkan perjalanan dengan penuh semangat. Sekitar 50 orang dalam sebuah rombongan. Tubuh terasa hangat oleh keringat. Karbohidrat yang baru saja masuk ke tubuh, pelan-pelan mulai terkuras kembali. Metabolisme yang baik menjaga keseimbangan tubuh. Beliau, orang-orang suci jaman dulu, mungkin membangun pura Lempuyang Luhur ini dengan tujuan yang baik. Sangat visioner. Ini untuk kesehatan para pemedek.
Mendaki untuk mencapai pura tertinggi ini bagaikan yoga yang menyehatkan jasmani, dan sembahyang di tempat tujuan bagaikan meditasi untuk ketenangan rohani. Yoga dan meditasi yang menyeimbangan jasmani dan rohani. Saat tubuh terasa sehat, pikiran pun jadi cerah.
Dan juga, dengan perjalanan suci menuju Lempuyang Luhur, otomatis kita diajarkan mencintai alam. Jangan buang sampah sembarangan, apalagi sampah plastik. Kasihan kan, kalau Bukit Lempuyang yang indah dan sejuk ini, ditimbuni plastik.
Tanjakan sekarang ternyata lebih curam daripada yang tadi. Tangga-tangga yang bagaikan tak berujung. Kanan-kiri adalah jurang yang disangga pohon-pohon dan semak belukar. Hiking menuju ke puncak. Entah di mana anak tangga terakhir. Masih jauhkah?
Sedikit gembira, saat fisik Pura Pucak Bibis terlihat dari kejauhan. Kami bersemangat mendaki lagi. Tersisa hanya beberapa anak tangga menuju pura ke lima. Ayo semangat!
Kami sembahyang dengan kusyuk di Pura Pucak Bibis ini. Harum dupa. Suara genta dan mantra memecah keheningan hutan dan bukit itu, mengantar pikiran kami menuju Hyang Widi Wasa, Penguasa Alam Semesta ini.
Kemudian perjalanan dilanjutkan lagi. Menuju pura ke enam, Pasar Agung. Mendaki lagi. Melawan gaya gravitasi lagi. Melawan berat badan yang ditarik bumi. Semakin gemuk kita, semakin susah dan melelahkan. Kami berpapasan dengan pasangan bule, memakai selendang dan kain. Mereka tersenyum ramah menyapa.
Gerakan kaki mereka lincah menuruni anak tangga. Sepertinya sudah sering hiking, sehingga begitu terlatih. Sementara smartwatch saya menunjukkan elevation yang terus bergerak naik.
Kami tiba di Pura Pasar Agung, pura ke enam, dengan perasaan yang semakin lega. Tinggal satu pura lagi, tirtayatra itu sukses. Kaki-kaki terasa pegal. Inilah perjuangan menuju Luhur. Tidak boleh mengeluh. Proses menuju pura paling puncak, harus dinikmati dan direnungkan. Perjalanan suci ini harus kita hayati bersama-sama.
Setelah sembahyang di Pura Pasar Agung, kami melanjutkan perjalanan lagi. Sekarang, walau menanjak, tapi tidak securam tadi. Lebih landai. Di jalan itu, dengan jurang dalam di kanan dan kiri, ada banyak kera. Kami harus hati-hati dengan perbekalan. Apalagi kami membawa daksina linggih, simbolisasi Batara Hyang Guru yang ikut nangkil.
Dari awal perjalanan, kami bergantian membawa daksina linggih itu. Tiap keluarga dari rombongan semeton sanggah gede ini membawa daksina linggih masing-masing. Seseorang dari kami membawa daksina linggih itu, dan beberapa orang harus mengawasi sambil membawa kayu, agar tidak ada kera yang tiba-tiba menyergap.
Kami betul-betul lega. Gapura dan penyengker Pura Luhur Lempuyang sudah kelihatan. Iya, kami sudah berada di puncak. Di kanan kami beberapa bukit kelihatan menjulang tinggi, sama tingginya dengan bukit Lempuyang yang sedang kami pijak. Wow, kelihatan, ternyata kami mendaki setinggi bukit-bukit itu. Pemandangan yang begitu indah. Cuman, kami tidak sempat berfoto di sini karena terlalu banyak kera. Kami harus selalu awas. Daksina linggih ini harus selamat.
Sekitar pukul 13.30 siang kami mencapai Pura Lempuyang Luhur. Istri saya gembira dan tersenyum lega. Beberapa kali dia menarik napas panjang. Kami mesandekan dulu, menunggu anggota rombongan lain yang masih tercecer. Sekitar 30 menit kemudian, saat semua sudah komplit, barulah kami sembahyang. Sembahyang di ketinggian sekitar 1000 meter di atas permukaan laut.
Kemudian, perjalanan menuruni bukit sama susahnya dengan mendaki. Kaki sampai gemetar menuruni ribuan anak tangga itu. Kalau tadi melawan gravitasi, sekarang harus menahan. Sebenarnya ini adalah latihan untuk melatih otot hamstring.
Maka, kalau ingin sehat jasmani dan rohani, sering-seringlah nangkil ke Pura Luhur Lempuyang. Di akhir perjalanan, smartwatch saya menunjukkan 1.584 kalori yang terbakar. Lumayan kan.
Pukul 7 malam kami akhirnya sampai di rumah. Sungguh perjalanan melelahkan, sekaligus menyenangkan. Pengalaman pertama untuk istriku tercinta. [T]