Gedung Ksirarnawa Art Center, Taman Budaya Denpasar, cukup ramai walau kursi penonton tidak penuh. Beberapa anak-anak dan orang dewasa membaur menjadi penonton pementasan berjudul “Sang Guru” adaptasi naskah monolog karya Hendra Utay yang sebelumnya berjudul “Pidato 7 Menit”. Dipentaskan oleh Komunitas Senja bersama Teater Cahaya dalam rangka Program Penyajian dan Pengembangan Seni UPTD Taman Budaya Art Center Tahun 2019 yang disutradarai Adi Wiguna atau akrab disapa Legu.
Pementasan “Sang Guru” yang berlangsung pada 18 Mei 2019 ini bercerita tentang seorang guru yang memegang teguh mitos pendidikan untuk anak negeri. Suatu kali, guru itu diminta untuk melakukan pidato dalam rangka Hari Pendidikan. Sesungguhnya acara itu berkaitan langsung dengan konferensi pers untuk menyampaikan pada publik mengenai rencana pembangunan di sekolah itu. Guru yang berpegang teguh pada idealismenya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa ini kemudian menyiapkan pidato panjang dengan harapan dapat menginspirasi anak-anak bangsa.
Tiba-tiba setelah isi pidato itu selesai dibuat, bendahara sekolah menghubungi guru itu untuk memberitahunya agar memotong durasi pidato menjadi tujuh menit. Guru itu sakit hati, sebab persiapannya yang serius harus dipotong, seolah-olah apa yang disiapkannya hanya bersifat seremonial, bukan satu hal yang penting. Dia menduga yang akan mengganti pidatonya adalah kepala sekolah, padahal umumnya pidato dari kepala sekolah hanya akan membahas mengenai pembangunan fisik, gedung, kolam, taman dan sebagainya.
Nasib guru honor itu menjadi lebih tragis ketika ia tinggal selama belasan tahun bersama temannya yang sudah berkeluarga. Tetapi secara tiba-tiba juga istri temannya itu hanya ingin tinggal bersama keluarga kecilnya di rumah itu. Konflik batin guru menjadi berlapis.
Pementasan berakhir dengan adegang guru itu ditelepon oleh seorang dari Malaysia yang menawarkannya mengajar di Malaysia. Ia ditawarkan bayaran yang tinggi untuk mengajar, tetapi ia menolak dengan alasan kecintaan dan tekadnya mengembangkan pendidikan di negaranya tercinta, beberpa kali ia ditawarkan dengan gaji yang semakin tinggi, guru itu tetap menolak. Tetapi ketika ditawarkan harga yang sangat tinggi akhirnya dia menerima.
Tubuh guru yang diperankan oleh Putu Eka Widya Putra mengingatkan saya pada guru saya ketika SMA. Guru saya itu kurus seperti tubuh Eka, namun orangnya sangat cuek seolah tak memikirkan dunia pendidikan. Ketika mengajar di kelas pun terkadang matanya enggan memandang siswa, saya curiga jangan-jangan guru saya itu sesungguhnya memiliki kepribadian seperti guru pada pementasan ini yang memikirkan dunia pendidikan begitu serius. Tapi saya ragu.
Tokoh Guru sesungguhnya sempat protes ke sekolahnya, ia sempat dihadang oleh satpam yang diperankan oleh Yomel, kemudian bendahara ikut menghadang sehingga terjadi keributan di antara orang-orang itu. Namun semua berhenti ketika kepala sekolah datang. Kemudian kepala sekolah memastikan dan bertanya pada guru, “apakah durasi pidatonya sudah dipotong menjadi tujuh menit?” Dengan sangat takut seperti ketakutan bawahan kepada atasannya, guru menjawab “sudah”. Keributan hilang.
Ketika seorang tokoh kepala sekolah yang diperankan oleh Indra Empol muncul di panggung, dengan gaya khasnya (Saya menyebutnya khas sebab pada pentas sebelumnya, dia juga membawa bentuk bisnis kecil yang serupa) saya ingat akan proses pada pentas drama musikal Kelompok Sekali Pentas yang sebelumnya—Empol terlibat pada pementasan tersebut.
Pada latihan sebelumnya itu saya menganggap bahwa adanya usaha latihan pengurungan tokoh dalam tubuh aktor melalui pembiasaan. Pada akhirnya, tokoh yang diperankan dan aktor akan saling tawar menawar sehingga siapa yang paling kuat dan siapa yang paling iklas menerima, ia yang akan menonjol dalam tubuh aktor di panggung. Dalam hal ini Empol tampil di atas panggung masih dengan gestur Mantri Polisi, saat berperan dalam pementasan Sukreni sebelumnya.
Saya membayangkan ada pergulatan dalam diri Empol antara tokoh kepala sekolah dan Mantri Polisi yang sudah tertanam. Mungkin, proses penanaman Mantri Polisi lebih panjang dan lebih dalam ketimbang pemagaran tokoh kepala sekolah sehingga tubuh mantri polisi masih terbingkai dan dapat dilihat pada Empol. Namun bagaimana pun juga permain Empol begitu menarik. Seluruh tubuhnya yang hidup cukup memberitahu penonton bahwa panggung ini bukan panggung yang kelima atau yang keenam, tetapi lebih dari itu.
Empol yang cukup kuat di atas panggung sebagai pemeran kepala sekolah sesungguhnya menjadi pisau bermata dua. Ya sebab, kekuatan yang seperti itu, bisa mematikan permainan aktor yang lain, tetapi untungnya pemeran bendahara yaitu Goldyna Rarasari (Ody) cukup kuat mengimbangi Empol sehingga tumpang-tindih itu tidak terlalu terlihat di panggung.
Ody menjadi menarik ketika menampilkan seorang perempuan yang sering berurusan dengan uang. Ya bendahara, seperti halnya beberapa teman saya yang bekerja pada instansi keuangan. Dari cara bicara, gelagat, dan cara menanggapi orang dengan pekerjaan yang lain, ya seperti itulah bendahara yang saya ketahui.
Hal yang perlu dipikirkan dalam hal ini adalah ketika karakter seperti itu dibawa di atas panggung tidak bisa dibawa secara utuh. Maksudnya, panggung memiliki realita yang berbeda dengan kehidupan sehari-hari. Tokoh seperti itu tidak hanya dibawa begitu saja ke atas panggung, tetapi lebih dari itu, karakter harus mengalami penubuhan, penawaran dalam diri, dan yang terpenting adalah kesadaran bendahara sebagai orang yang mempertontonkan sehingga yang muncul adalah bendahara panggung, bukan bendahara pada umumnya.
Menariknya, dalam lakon ini, dimunculkan seorang tokoh dari suatu etnis dengan dialog yang menyerupai suatu etnis tertenu dan tokoh inilah teman dari guru yang tinggal selama belasan tahun itu. Tokoh ini diperankan oleh Bayu. Bayu cukup menarik membawakan tokoh ini. Caranya berdialog dan gerak-gerik yang menarik. Tetapi yang kemudian menjadi pertanyaan adalah di mana setting tempat ini?
Tidak bisa dipungkiri ketika membahas seorang guru yang idealis, setting tempat yang biasa muncul adalah Indonesia, bukan suatu tempat khusus. Tetapi Indonesia yang mana? Itulah yang membuat saya bingung. Memang menarik ketika tokoh seperti ini masuk sehingga tidak ada pendapat di mana tempat cerita ini berlangsung.
Selain itu, hal-hal yang sering muncul ketika seorang guru di bawa ke atas panggung sebagai tema, yang biasa muncul sebagaimana juga muncul dalam pementasan ini adalah guru yang setia pada bangsa—ingin mencerdaskan kehidupan bangsa, heroik, tetapi terkadang seolah luput dari pandangan seorang guru yang malas mengajar, seorang guru yang apatis, yang juga merupakan realita dalam dunia pendidikan, guru yang lebih mementingkan sertifikasi ketimbang perkembangan peserta didik. Tidak jarang guru masa kini yang seperti itu, sehingga benarkah saat ini masih relevan menyebut semua guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa? Mestinya hal seperti ini juga menarik dibawa ke atas panggung.
Pementasan inilah yang mengantarkan saya tiba-tiba berada di Denpasar, dan sungguh saya berharap pementasan ini dibawa keliling ke kampus-kampus yang berlatar pendidikan. Khususnya kampus-kampus yang mencetak guru, untuk setidaknya mengingatkan kembali bahwa idealisme adalah hal yang mungkin bisa disebut tidak dibutuhkan dan tidak dihargai di rumahnya sendiri, di dunia pendidikan sebab yang lebih penting dari itu adalah pendidikan sebagai barang dagangan, sebagai komoditas.
Satu lagi. Guru itu sebelum ke Malaysia adalah seorang yang miskin, punya hutang, hingga ngebon di warung temannya. Ia juga sempat kehilangan orang yang dicintainya. Jadi, lengkap dan berlapislah kesedihan guru miskin itu. [T]