Setelah lama tak bersua di Tatkala, saya menjadi ragu dengan jati diri saya sebagai salah satu donatur di salah satu platform tentang jurnalisme warga terbesar di Bali ini.
Bicara tentang jati diri, kali ini saya membawa sebuah keresahan tentang krisis identitas yang secara pribadi saya alami. Jikalau teman-teman pembaca mengalaminya juga, maka kelak kalian harus bagikan tulisan ini. Mari sebarkan virus penuh keresahan ini agar saya tidak “gila” sendirian. haha. Jadi apa yang dimaksud dengan krisis identitas? Adalah tentang sebuah generalisasi atau kalau boleh dibilang semacam pengkotak-kotak kan atas diri kita yang dilakukan oleh orang lain.
Tulisan ini berangkat dari kegelisahan saya tentang sebuah cap atau label yang orang lain berikan kepada kita. Pernahkah kalian di judge kalau semisal kalian sedang duduk di pojokan sebuah ruangan, sendirian dan sedang asyik mendengarkan lagu galau maka orang akan bilang “wah ni anak patah hati kayaknya”
Atau ketika kalian tamat (wisuda) tidak sesuai dengan waktu seharusnya, maka kalian akan di cap hidupnya akan susah, karir mencari kerja bakal terancam. Sebenarnya masih banyak lagi contoh lain. Tetapi poin yang saya coba sampaikan ke pembaca semua adalah jikalau kalian merasakan menjadi bagian dari contoh-contoh yang saya sebutkan tadi dan kalian sudah merubah diri atau sikap karena paksaan dari orang lain, berarti fix kalian hidup dalam definisi orang lain.
Apa yang dimaksud dari hidup dalam definisi orang lain adalah tiap orang seolah punya SOP (Standar Operasional) nya tersendiri. Mereka seolah punya standar hidup sukses dan bahagia itu seperti apa. Nyatanya, hidup kita ini bhineka, beda-beda serta beragam. Jika saya ibaratkan dalam sebuah tahap pencapaian dari A-C, maka dengan sampai pada tahap A saja sudah cukup membuat saya bahagia dan mungkin bagi beberapa orang justru letak kebahagiaan mereka terletak pada tahap C. Ini tidaklah salah dan amat sangat sah.
Permasalahan yang kini kerap muncul ialah bahwa hal ini belum sepenuhnya dipahami oleh para golongan tua. Saya akan ambil beberapa contoh situasi dimana kita hidup dari definisi orang lain berdasarkan pengalaman pribadi dan beberapa teman;
“Kalau gak PNS, hidupnya bakal sulit apalagi di jaman sekarang”.
Di satu sisi, orang tua ngebet banget saya bisa jadi PNS khususnya guru karena saya mahasiswa kependidikan. Nah, disaat yang sama beberapa dosen di kampus menyarankan saya agar tidak usah menjadi PNS. Katanya PNS itu berat, kami tak akan kuat biar mereka aja. Haha..
Pernah di sebuah kesempatan, saya nongkrong asik di kantin kampus dan bercengkrama dengan salah seorang dosen. Beliau bilang bahwa kalau kita mau sukses, kerja di swasta, kalau kita mau santai, cari PNS.
“Kenapa? Karena kita gak bakal bisa sukses di PNS. PNS itu udah ada standar nya gimana. Jadi mau kita kerja sekeras apapun gak bakal gampang naiknya”.
Kurang lebih itulah poin salah satu pembicaraan yang kami rundingkan saat itu. Saya sangat mengerti akan pesan dan keinginan dari orang tua saya tentang menjadi seorang PNS khususnya guru. Keuntungan dari PNS dibanding pegawai swasta menurut saya hanya ada 1. PNS mendapatkan gaji pensiunan. Saya tidak bilang bahwa gaji pensiunan itu tidak penting. Itu sangat penting. Siapa coba yang hidupnya tidak mau dijamin di masa tua?
Hanya saja, kalau boleh saya kutip kata-kata Soe Hok Gie, seorang demonstrant. Dia bilang bahwa kekayaan terakhir yang dimiliki oleh seorang pemuda adalah idealisme. Nah, idealisme inilah yang orang se-umuran saya atau kami para anak muda masih miliki. Idealisme tentang mencari pekerjaan yang sesuai dengan bakat meskipun bayaran tidak seberapa adalah lumrah di pikiran kami.
Kalau kita bicara tentang pekerjaan di jaman sekarang yang katanya era industri 4.0, maka ada jutaan pekerjaan baru yang pasti tergolong unik di mata para golongan tua. Content creator, EO (Event Organizer), Gamers dan masih banyak lagi. Namun definisi PNS dari golongan tua inilah yang menghambat sebagian besar impian anak mereka. PNS masih menjadi “Kartu AS” dalam menjamin keberlangsungan hidup saat ini. Kalau gak PNS, gak bisa hidup lama.
“Gak lulus atau wisuda tepat waktu, susah cari kerja”.
Mari merenung sejenak, Founder KFC saja baru menemukan skillnya di usia tua. Ibu Susi? Menteri Kelautan kita, tidak lulus SMA namun kini menjadi Menteri yang ditakuti Negara tetangga. Apa yang saya coba ingin sampaikan adalah bahwa setiap orang memiliki timeline nya tersendiri.
Dan ketika saya berkata demikian bukan berarti saya menyuruh para pembaca untuk hidup malas-malasan. Tetaplah bekerja dan belajar. Kita berjalan di zona waktu hidup kita sendiri. Jangan men-generalisasi setiap kegagalan yang kita alami. Beberapa orang tua biasanya akan berfikir demikian. Apalagi kalau mereka kerap membanding-bandingkan anak mereka dengan anak dari teman atau mungkin kerabat yang lain yang mungkin hasil belajar anak orang lain tersebut lebih lancar daripada kita.
Maka jangan dikhawatirkan lagi. Definisi sukses dimata mereka pasti akan melonjak dan semakin parah.
“Nikahlah di usia sekian karena idealnya segitu”.
Menikah ialah masalah kesiapan. Siap mental dan siap finansial khususnya. Terlebih adalah kesiapan komitmen menjalani bahtera rumah tangga berdua. intinya, yang akan menjalankan hidup setelah menikah adalah kita, bukan mereka yang memaksa kita untuk menikah di umur yang mereka tentukan sendiri.
Ya, bukannya kita para anak muda tidak mau menikah. Kita pasti akan menghasilkan keturunan hanya saja jangan dipaksakan dan jangan diberikan label juga.
Nah, semua keresahan itu sempat saya tanyakan ke dosen pembimbing skripsi saya. Sungguh nekat rasanya ketika bimbingan justru hal seperti ini yang saya konsultasikan. Beliau berpesan bahwa ini adalah masa pencarian jati diri.
“Susah itu wajar. Gak ngerti wajar. Dan di masa inilah kita menemukan jati diri kita itu siapa”. Katanya.
Keyword atau kata kunci nya adalah jati diri. Yang berarti berfokus pada kata tanya “siapa?”
Sudah cukup lama rasanya saya, kalian bahkan kita hidup dalam definisi yang dibuat oleh orang lain. Renungan terbesar yang muncul dalam benak saya setelah berdiskusi dengan dosen pembimbing saya tempo hari itu adalah:
“habis wisuda, aku bakal jadi orang yang hidup dari definisi yang aku ciptakan sendiri dan bukan dari definisi sukses milik orang lain yang belum tentu buat aku bahagia. Aku yang bakal kerja! aku yang bakal ngerasain, dan aku yang bakal nerima gajinya! So, Life is a choice. I must decide it!”
Itu saya ungkap saya dalam hati. [T]