Siapa dalam hidup yang ingin sakit, terluka dan berduka? Pasti hampir semua mengatakan tidak ingin. Ya, begitulah manusia. Hanya mau menerima suka dan bahagia tanpa bersahabat dengan luka dan duka.
—
Ilmu kehidupan tidak akan ada habisnya. Seperti samudra yang luas, begitupulalah ilmu kehidupan. Hidup diibaratkan sebagai kita menaiki perahu dan singgah di satu pulau. Jika kita paham esensi, pelajaran dan berubah menjadi yang lebih baik berarti kita bisa berpindah ke pulau lainnya.
Luka dan duka sangat erat dalam kehidupannya. Luka dan duka selalu dihindari. Tidak ingin dianggap ada dan hanya mau bahagia dan bersuka. Padahal kita bisa bersahabat dengan luka dan duka. Apakah saya pernah terluka dan berduka?
Iya pasti. Semua orang pernah terluka dan berduka, yang membedakannya adalah tindakan setelah terluka dan berduka. Berlari atau mengobati luka? Kalau kamu berlari sama artinya dengan kamu lari dari kenyataan. Kamu tidak menerima luka dan duka datang sebagai tamu dan memberikan pelajaran dalam hidup.
Saya menulis ini hanya ingin berbagi bagaimana saya bersahabat dengan rasa sakit, luka dan duka selama 27 tahun saya hidup. Luka dan duka yang menurut saya paling berat adalah keluarga dan diri sendiri. Kalau diri sendiri ya tentu saja saya akan menyebutnya bullying. Bullying terjadi sangat keras dalam hidup saya ketika saya beranjak remaja. Bullying dalam pergaulan.
Pada waktu itu saya menangis, saya terluka, saya berduka dan saya menerima luka itu. Mencoba menerima luka bukan proses yang mudah. Menerima rasa sakit juga tidak gampang. Tetapi pada waktu itu yang saya lakukan adalah saya menangis dan berbicara pada Tuhan saya di dalam kamar setiap malam. Saya percaya Tuhan ada dalam setiap diri kita. Kita hanya perlu mendengarkan hati kita.
Lambat laun, saya menerima luka dan duka itu dan bersahabat. Saya mendapat ilmu kehidupan beragam dari luka dan duka. Kita tidak bisa menghindar dari rasa sakit dan rasa berduka. Yang bisa kita lakukan adalah menerimanya, bersahabat, menghadapinya dan mencari esensi dari luka dan duka yang kita peroleh.
Rasa sakit, luka, dan duka mengajarkan kepada kita bahwa hati adalah esensial yang sebaiknya kita selalu dengar dan pahami, bukan pikiran. Pikiran hanya digunakan untuk mencari strategi dalam hidup bukan hal pertama yang harus kita lakukan.
Dengar dan pelajari lah hidup kita. Dengarkan dan pahami hati kita. Hanya dalam kesendirian kita bisa mendengarkan suara hati kita bukan dalam keramaian. Rasakan dan biarkan suara hati menuntun langkah kita dalam hidup. [T]