Bayangkan jika kita kehilangan ingatan. Kita akan melupakan yang semestinya dilupakan. Kita akan melupakan segala hal yang tidak ingin dilupakan. Kita lupa pada dunia, pada keluarga, bahkan pada diri sendiri. Kita lupa cara menulis. Cara bicara. Cara makan. Juga cara mencintai.
Susah juga ya kalau tiba-tiba lupa segalanya. Sebab ada banyak hal yang sudah dilewati akan lenyap begitu saja. Saya membayangkan jika tiba-tiba kehilangan ingatan tentang banyak sekali hal. Saya akan melupakan sebuah Pantai Rahasia di Nusa Ceningan yang berpasir putih, dengan ombak birunya, tempat dimana saya sering memetik bunga pudak dan tertidur setelahnya pada sebuah pondok kayu.
Saya juga akan melupakan pegunungan indah di Nusa Tenggara Timur dengan jalannya yang berkelok sempit diapit jurang tempat kuda-kuda berlarian.
Saya akan melupakan senyumnya di bawah lampu saat duduk di pinggir sebuah telaga buatan sambil menikmati sayur kangkung. Lebih menyakitkan lagi, saya akan melupakan ibu yang telah melahirkan dan ayah yang telah menaungi. Tidak kalah sulit karena juga harus rela melupakan segala jenis pengetahuan yang sudah dipelajari.
Tapi apakah mungkin itu terjadi? Tentu saja mungkin. Konon ada jenis penyakit ketika seseorang melupakan ingatannya. Setelah menelusurinya, saya temukan beberapa istilah untuk menyebut nama penyakit itu. Di antaranya amnesia, demensia, dan Alzheimer. Saya sebenarnya kurang mengerti tentang penyakit ini. Terutama perbedaan di antara ketiganya.
Tetapi menurut sedikit informasi yang saya dapat, ketiganya memiliki persamaan. Penderitanya, melupakan ingatannya. Seperti kata Kim Su Jin dalam film A Moment to Remember, “ada penghapus di ingatanku”.
Seandainya semua masa lalu dilupakan, bagaimana cara membayangkan masa depan? Tentulah akan sangat sulit. Menurut informasi lainnya, masa depan dibayangkan oleh manusia dengan mengkonstruksi yang telah terjadi di masa lalu. Pastilah sulit hidup dengan kondisi seperti itu. Saya juga belum tahu bagaimana cara mengobati penyakit ingatan itu. Biarlah kita menyerahkan pada ahlinya yang memahami dan konsen pada bidangnya.
Membaca jenis-jenis penyakit itu, saya teringat pada geguritan Sucita dan Subuddhi. Apa hubungannya geguritan dengan kehilangan ingatan? Barangkali tidak ada. Tapi dalam geguritan itu, pengarangnya menerangkan bahwa ada suatu cara untuk menguatkan daya ingat.
Cara yang ditawarkan adalah dengan mengkonsumsi daun pegagan [Centella asiatica]. Tumbuhan ini ada banyak namanya sesuai daerah, di Bali disebut piduh. Lombok menyebutnya bebele. Di Jawa ada yang menyebutnya gagan-gagan. Konon daun pegagan ini dihaluskan kemudian dijadikan loloh atau jamu.
Semasa kecil, daun pegagan saya gunakan sebagai penyembuh luka. Tapi tidak “luka hati”. Luka hati hanya bisa diobati dengan “hati”. Bagaimana kalau sakit gigi?
Sakit gigi obatnya adalah dokter gigi. Maksudnya pergi ke dokter gigi, lalu minta diobati. Setelah diobati hati-hati jangan sampai sakit lagi. Hindari makanan atau minuman kariogenik. Kariogenik adalah istilah yang digunakan untuk menyebut makanan dan minuman yang manis dan mudah melekat. Istilah yang bagus juga untuk menyebut “dia” yang manis dan mudah melekat. Asyyikkkk…
Bahaya juga kalau sering-sering makan dan minum kariogenik. Gigi bisa sakit. Bagaimana kalau sering-sering menikmati janji-janji kariogenik? Barangkali di dalam sana, hati kita juga semakin terkikis dan berlubang. Maka jangan salahkan kalau banyak orang yang susah percaya kepada pengumbar janji.
Tapi anehnya, mereka yang sering kemakan janji, kemudian mencoba meyakinkan orang lain juga dengan janji-janji. Awalnya mereka adalah korban dari janji, tapi kemudian mereka berubah menjadi pelaku janji. Bahkan sudah jadi rahasia bersama yang tidak dikatakan di panggung-panggung, tapi kita pahami lewat diskusi-diskusi kecil di warung kopi, kalau janji semacam itu memang perlu diadakan.
Tujuannya, agar mereka yang dahulunya pernah berjanji juga merasakan bagaimana jika diingkari. Saya tidak menemukan istilah lain untuk menyebut kejadian itu selain balas dendam.
Ayolah, jangan pura-pura tidak tahu. Kita ini manusia yang sudah dewasa, dan mengerti apa yang dimaksudkan tanpa harus dijelaskan. Saya juga yakin, semua orang tidak perlu belajar ilmu semiotik untuk mengerti petanda-petanda.
Kita memang terbiasa berpura-pura tidak tahu, terhadap banyak sekali hal yang sesungguhnya sangat kita pahami. Begitu juga sebaliknya, kita biasa pura-pura paham tentang sesuatu yang bahkan tidak kita kenali. Itu sama sekali tidak aneh. Tidak ada yang aneh jika ada manusia pura-pura menguasai ini dan itu. Justru yang aneh adalah jika ada manusia yang pura-pura tidak tahu tentang itu dan ini. Tujuan kedua tindakan pura-pura tadi itu sama saja: keselamatan. Terutama selamat dari rasa malu.
Orang sangat takut pada rasa malu, tapi sangat senang mempermalukan orang. Intinya ada yang tidak beres pada diri manusia dari dalam. Ada banyak cerita-cerita yang bisa kita baca untuk meligitimasi hal ini. Arjuna menghina Karna, Bungkling menghina Pendeta lalu kita ikut-ikutan karena itu mengasyikkan. Menghina orang-orang bodoh juga sudah biasa.
Kurang dihina apalagi tokoh I Belog dalam satua-satua Bali. Tapi kita sendiri kurang bertanya dan membaca, mengapa tokoh-tokoh itu dihina dan mengapa ada yang menghina.
Memikirkannya saja, saya sudah pusing sendiri. Untuk mengobati rasa pusing, saya ingin membaca puisi yang ditulis Mbak Reina Caesilia. Judulnya “Duduk di Bale Bengong Kulihat Bayang Penari di Matamu”.
—
Kita bercakap,
kau dan aku diterpa guguran daun
suara burung berkicau dan tergelak
dalam tawamu yang bijak
aku melihat kemilau pada matamu
arif bersahaja
—
Indah sekali. Puisi ini barangkali ditulis untuk mengenang Prof. IB Mantra. Barangkali juga kata “mu” pada puisi itu berarti Prof. IB. Mantra. Pada tawa Pak Prof, Mbak Reina mendengar suara kicau burung. Pelan-pelan rasa pusing saya lenyap. Agar tambah lenyap itu pusing, mari kita lanjutkan membaca puisi yang terkumpul dalam buku kumpulan puisi berjudul Saron. Begini.
—
[…] dalam gambelan ini
harus tak terlupakan
meski angin membawa jalanan
penuh debu
selalu kukenang suara gending itu mengalun
dari lubang-lubang angin dan jendela, dalam
telinga dalam hati sepanjang jantung berdegup
dan mata memandang hari berpacu dengan waktu […]
—
Suara gending gambelan yang Mbak Reina dengar dalam telinga dan juga hati, juga saya dengar dengan telinga Cangak saya yang mungil ini selama saya hidup, selama jantung masih berdegup. Oh iya, segala yang kita dengar dan lalui akan kita ingat. Seperti ikan mujair nyat-nyat yang kita makan di sebuah warung makan sambil berpacu dengan waktu.
Terimakasih Mbak Reina. Puisi itu membuat saya kehilangan rasa pusing dan mengingat-ingat yang telah lewat. Barangkali memang benar, karya membuat kita diingat. Lalu ingatan pelan-pelan juga dilupakan. Bukan karena demensia, amnesia atau Alzheimer. Tapi memang karena waktu menelan segalanya. [T]
CANGAK YANG LAIN: